Status Pengungsi Menurut Hukum Internasional

Status Pengungsi Menurut Hukum Internasional
Seorang perempuan Rohingya yang melintasi perbatasan dari Myanmar menggendong putrinya di Palang Khali, Bangladesh / Al Jazeera

Menjelang tutup tahun 2023, ramai pemberitaan demontrasi sejumlah mahasiswa di Aceh yang mengusir pengungsi Rohingya. Pemberitaan itu telah menjadi perhatian luas. Bukan hanya kanal berita dalam negeri, sejumlah pemberitaan asing juga meliput peristiwa tersebut.

Tak pelak, muncul sikap pro dan kontra atas sikap sejumlah mahasiswa Aceh itu. Maka, agar tak terjebak pada tindakan yang kontra produktif, ada baiknya kita sama-sama pahami agak lebih jauh tentang status pengungsi dan hak-hak mereka menurut hukum internasional.

Bangsa-bangsa beradab di dunia sesungguhnya telah mengambil sikap yang jelas terhadap status pengungsi. Masyarakat internasional bersepakat untuk memandang pengungsi sebagai pihak yang perlu mendapatkan perlindungan dan penanganan yang baik atas landasan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Tindakan seseorang untuk mengungsi dari suatu negara atau kawasan karena alasan tertentu telah diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bagian dari hak azasi manusia. Terpaksa pindah karena alasan keamanan dan perlindungan untuk tetap meneruskan kehidupan secara normal, diakui sebagai hak dasar yang melekat dalam diri seseorang.

Secara umum, masyarakat internasional menggolongkan adanya dua jenis pengungsi. Pertama, mereka yang mengungsi dari suatu kawasan/negara karena menghindari ancaman, atau untuk melindungi diri dari bencana atau faktor-faktor alam. Penyebab pengungsian ini lazim disebut sebagai Natural disaster.

Baca juga: Pengungsi Rohingya: Antara Prasangka Buruk, Disinformasi, dan Kabar Bohong

Kedua, mereka yang harus keluar dari negara atau kawasan tempat tinggal aslinya karena tertimpa bencana yang diakibatkan oleh tindakan manusia, berupa konflik, peperangan, persekusi, tekanan politik, dan lain-lain. Istilahnya adalah Man made disaster. Para pengungsi tipe kedua ini harus meninggalkan kampung halaman mereka, karena negara yang seharusnya menjadi pelindung warganya justru menjadi ancaman bagi eksistensi mereka.

Dari dua jenis penyebab pengungsian itu, dapat dilihat perbedaan terkait peran negara masing-masing terhadap para pengungsi. Di dalam kasus natural disaster, negara masih bertanggung jawab penuh untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada para pengungsi tersebut. Sementara pada kasus man made disater, para pengungsi sama sekali tidak mendapatkan perlindungan dari negaranya. Bahkan, justru negara dan kebijakan negara-lah yang membuat mereka terpaksa harus mengungsi.

Pengungsi yang diakibatkan oleh man made disaster inilah yang menjadi perhatian hukum internasional. Mereka berada dalam kondisi lemah, terancam, tidak memiliki tempat tinggal, dan tidak ada negara yang melindunginya. Karenanya, atas dasar kemanusiaan, hukum internasional mengambil tindakan untuk memberikan perlindungan hukum atas hak azasi mereka.

Masalah pengungsi telah menjadi perhatian internasional semenjak Perang Dunia pertama. Peperangan yang melibatkan banyak negara pada saat itu mengakibatkan rakyat sipil harus keluar dari rumahnya untuk mengungsi. Menghindari perang di negaranya dan melintasi batas negara lain untuk mencari tempat aman serta lokasi perlindungan.

Namun, penyikapan terhadap pengungsi di negara tujuan kerap beragam. Tidak semuanya menerima dengan baik. Bahkan banyak yang menolak, sehingga membuat pengungsi terjebak pada krisis kemanusiaan yang serius. Tidak memiliki tempat tinggal dan tidak memiliki jaminan perlindungan atau keamanan.

Hukum Internasional Terkait Pengungsi

Masalah pengungsi akibat perang semakin menjadi perhatian para pemimpin dunia ketika Perang Dunia Kedua berakhir. Negara-negara yang telah merdeka mulai melihat dengan jernih, bahwa pengungsi akibat perang adalah masalah kemanusiaan yang serius dan penting untuk mendapatkan perhatian dan terutama perlindungan internasional. Pada era inilah lahir konvensi tentang pengungsi atau kerap disebut sebagai Konvensi 1951. Dirumuskan di Jenewa pada 25 Juli 1951, baru berlaku tanggal 22 April 1954.

Baca juga: Menohok! Begini Kata Tokoh Aceh Atas Aksi Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya

Konvensi 1951 kemudian menjadi dokumen dasar bagi masyarakat internasional dalam penanganan masalah pengungsi. Saat itu, Konvensi 1951 hanya mengikat negara-negara Eropa. Namun, setelah berbagai kajian dan banyak masukan dari masyarakat internasional, Konvensi 1951 diamandemen pada tahun 1967 untuk berbagai penyempurnaan dan pencabutan batasan pemberlakuannya yang hanya untuk negara-negara Eropa. Sejak itulah, Konvensi 1951 dan Protokol 1967 berlaku secara universal.

Menurut dua dokumen tersebut, pengungsi diakui sebagai individu yang memiliki kekhawatiran yang beralasan atas penganiayaan karena ras, agama, kewarganegaraan, golongan sosial, atau pandangan politik di negara asalnya. Dua dokumen itu pula yang menjadi landasan lahirnya UNHCR (United Nations High Commisioner For Refugees), organisasi sayap PBB yang khusus menangani masalah pengungsian. Tujuannya untuk memastikan penanganan yang baik atas para pengungsi.

Mengutip dari laman unhcr.org, Konvensi 1951 menetapkan hak-hak dasar bagi pengungsi, termasuk hak untuk tidak dikembalikan ke negara yang mengancam keselamatannya (prinsip non-refoulement). Dokumen tersebut menguraikan pula standar minimum dasar tentang perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak atas perumahan, pekerjaan, dan pendidikan ketika mereka menjadi pengungsi, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan yang bermartabat dan mandiri.

Dokumen tersebut juga mendefinisikan kewajiban pengungsi terhadap negara tuan rumah dan menetapkan kategori orang tertentu. Misalnya penjahat perang yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan status pengungsi.

Kasus di Indonesia

Indonesia kerap ketiban masalah karena kedatangan para pengungsi. Sering kali kedatangan pengungsi membuat kita repot untuk menyikapinya. Tak jarang, penyikapan terhadap pengungsi yang datang memunculkan sikap pro dan kontra di tengah masyarakat.

Baca juga: Rohingya, Saudara yang Terbuang

Dari beberapa kasus yang terjadi, Indonesia sesungguhnya bukan negara tujuan utama para pengungsi. Namun, ada sejumlah pengungsi yang terdampar dan menjadikan kawasan Indonesia sebagai sasaran antara.

Pada tahun 2020, UNHCR telah mencatat adanya 13.745 pengungsi dari berbagai negara yang masuk ke wilayah Indonesia. Setelah 3 tahun, jumlah itu pastinya membengkak. Apalagi dengan kedatangan pengungsi Rohingya.

Isu pengungsi di Indonesia memang cukup pelik. Indonesia belum termasuk negara yang meratifikasi Konvensi 1951, sehingga secara hukum dan formal, Indonesia tidak terikat dengan kewajiban-kewajiban internasional sebagaimana tercantum dalam konvensi tersebut. Meski demikian, secara kemanusiaan Indonesia tidak bisa berpangku tangan jika ada pengungsi yang terdampar di perairan kita.

Dengan status RI saat ini, pihak berwenang kita sebenarnya bisa saja menolak kedatangan para pengungsi dan mencegatnya di perbatasan teritori laut Indonesia. Tetapi tanggung jawab kemanusiaan tak bisa lepas manakala ada pengungsi yang mengalami kemalangan dan telah terdampar di kawasan kita.

Karenanya, jika kita tak berkenan dengan kedatangan para pengungsi, maka mestinya yang kita tekan adalah pihak UNHCR. Sebab, merekalah yang bertanggung jawab penuh atas penanganan pengungsi yang masuk ke negara kita. Jangan mengusir para pengungsi, karena mereka dalam perlindungan internasional dan tindakan itu justru merugikan citra kita.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.