Efek Ilusi Kebenaran dan Logika Algoritma Digital: Badai yang Mengikis Kepercayaan pada Jurnalisme

Efek Ilusi Kebenaran dan Logika Algoritma Digital: Badai yang Mengikis Kepercayaan pada Jurnalisme
Efek Ilusi Kebenaran dan Logika Algoritma Digital: Badai yang Mengikis Kepercayaan pada Jurnalisme/foto:iStock

Di zaman ini, kebenaran seperti ombak yang terpecah sebelum sampai ke pantai. Ia datang berlapis-lapis dan bercampur dengan kebisingan yang menyebut dirinya informasi. Setiap jari yang menekan layar adalah corong baru bagi kata-kata. Dan dunia - yang dulu mencari makna - kini hanya mencari perhatian.

Kita hidup di masa di mana suara tak lagi membutuhkan keheningan untuk didengar. Setiap orang bisa menjadi pewarta, walau tak semua memahami arti berita. Di antara derasnya arus digital, kabar palsu menari bersama fakta dan kita pun sering tak tahu lagi mana yang menuntun, mana yang menyesatkan. Jangankan soal ijazah yang berupa dokumen fisik, bahkan kematian pun bisa dikaburkan jejaknya di negeri ini. Ajaib, tetapi memang faktanya ini adalah negeri serba ada.

Misinformasi dan disinformasi kini menjadi wabah baru. Misinformasi lahir dari ketidaktahuan, disinformasi dari niat buruk. Misinformasi dan disinformasi sama-sama beracun. Kebohongan bukan lagi tentang kesalahan informasi, tetapi ia adalah senjata politik dan ekonomi yang ampuh.

Namun yang paling berbahaya bukan hanya berita palsu itu sendiri, melainkan cara otak manusia memercayainya. Di sinilah bekerja fenomena yang disebut illusory truth effect (efek ilusi kebenaran). Ketika sebuah pernyataan diulang berkali-kali, otak kita mulai menganggapnya benar, hanya karena terasa akrab. Kebenaran digantikan oleh keakraban.

Sesungguhnya fenomena itu bukan hal baru. Sejak 1970-an, para psikolog telah membuktikan bahwa pengulangan mampu mengalahkan rasionalitas. Kini, algoritma media sosial memperkuat efek itu berkali lipat. Konten yang paling sering muncul di layar kita bukan yang paling benar, tetapi yang paling sering dibagikan. Familiaritas menjadi standar baru bagi kebenaran.

SPI Angkatan XIV Hadirkan Materi Jurnalistik, Bukan Hanya Ilmu Keagamaan
Pertemuan Keempat Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Angkatan ke-14 pada Rabu (28/8/2024) menghadirkan Pemimpin Redaksi Kabar Berita Semesta, Erwyn Kurniawan, S.IP sebagai pembicara.

Di dalam sistem digital, pengulangan adalah mata uang utama. Semakin sering sesuatu muncul di linimasa, semakin besar peluang ia dipercaya. Di sinilah algoritma dan psikologi manusia bertemu, membentuk lingkaran gema yang sulit dipatahkan.

Bagi penguasa, efek ini adalah alat kendali yang halus. Di dalam politik, narasi yang diulang tanpa henti bisa mengubah persepsi publik lebih cepat daripada fakta yang dibuktikan. Kesalahan tampak seperti keberhasilan, dan kebijakan yang merugikan tampak seperti keniscayaan. Ketika hanya satu versi realitas yang disuarakan, publik kehilangan kemampuan membandingkan. Di situlah kebenaran mati pelan-pelan, bukan karena dibungkam tetapi karena diabaikan.

Banyak fakta di lapangan yang memperkuat adanya illusory truth effect (efek ilusi kebenaran). Kehadiran buzzer yang membanjir memperkuat fakta bahwa ada "tangan besar" di baliknya. Buzzer politik atau komersial bekerja dengan mengulang narasi tertentu di media sosial menggunakan banyak akun, tagar, dan komentar seragam. Tujuannya bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi menciptakan persepsi bahwa mayoritas orang percaya hal itu.

Akibatnya, publik bisa terkecoh: Bukan karena kontennya benar, tetapi karena frekuensi dan keramaiannya tinggi. Riset beberapa lembaga semisal CIPG, SAFEnet, dan Digital Forensic Labs menunjukkan bahwa jaringan buzzer terorganisasi di beberapa isu politik besar. Narasi sering dimodifikasi agar terlihat "organik" seolah-olah muncul dari rakyat biasa. Banyak akun palsu (bot) dan akun bayaran (paid influencer) bekerja untuk mendorong trending topic tertentu. Hal ini menciptakan ruang publik semu, di mana opini dominan di media sosial tidak selalu mencerminkan realitas masyarakat.

Tom Nichols dalam bukunya "The Death of Expertise" menulis tentang matinya otoritas pengetahuan di tengah banjir opini. Orang tak lagi percaya kepada ahli, melainkan terhadap pendapat yang viral. Kita lebih mencari pembenaran ketimbang kebenaran. Inilah bias konfirmasi yang memperparah kekacauan: Kita hanya mau mendengar apa yang ingin kita dengar.

Perang Psikologis, Ketika Media Pejuang Palestina Kalahkan Propaganda Penjajah Israel
Penelitian Pusat Studi Al Jazeera mengungkap bagaimana perlawanan Palestina berhasil mengelola perang psikologis yang mampu menyaingi narasi Israel. Pejuang Palestina dikenal sebagai kelompok yang paling berpengalaman dalam propaganda dan perang psikologis.

Efek ilusi kebenaran dan bias konfirmasi adalah dua sisi dari koin yang sama. Efek ilusi tentang pengulangan pernyataan yang akhirnya dianggap benar. Bias konfirmasi memperkuatnya dengan menggoda seseorang untuk hanya memilih informasi yang menegaskan atau memperkuat keyakinan atau nilai-nilai mereka, dan sulit untuk dihilangkan apabila mereka sudah meyakini hal tersebut. Bias konfirmasi pertama kali diungkapkan oleh psikolog Inggris Peter Wason.

Keduanya (efek ilusi kebenaran dan bias konfirmasi) tumbuh subur di masyarakat dengan literasi rendah dan ruang publik yang gaduh. Kebohongan jadi terasa benar, kebenaran terasa membosankan. Di dalam suasana seperti itu, jurnalisme diuji: Apakah ia masih sanggup menjadi benteng terakhir nalar publik?

Penelitian Reuters Institute bersama University of Oxford menunjukkan kepercayaan publik terhadap media di Indonesia meningkat pada 2025. Hasil ini menjadi angin segar di tengah "gersangnya" kondisi industri pers. Berbagai langkah dibutuhkan demi menjaga kepercayaan tersebut. Di dalam Digital News Report yang diterbitkan 17 Juni 2025, kepercayaan publik kepada media di Indonesia naik tipis dari 35 persen pada 2024 menjadi 36 persen tahun ini. Data terkait konsumsi berita itu diambil dari survei terhadap 2.028 responden pada Januari-Februari 2025.

Jurnalisme sejati lahir dari semangat verifikasi. Ia berdiri di atas tiga pilar: Akurasi, independensi, dan tanggung jawab sosial. Tetapi di tengah logika algoritma yang menjadikan klik lebih berharga dari konteks, prinsip-prinsip itu mudah tergeser. Berita sensasional lebih cepat viral ketimbang laporan mendalam yang faktual. Media pun kadang tergoda mengejar atensi, bukan kebenaran.

Padahal, jurnalis bukan sekadar pencatat peristiwa. Ia adalah penafsir realitas. Tugasnya bukan hanya memberi tahu apa yang terjadi, tetapi juga membantu publik memahami mengapa sesuatu terjadi dan siapa yang diuntungkan. Di dalam dunia yang dikuasai pengulangan, jurnalisme harus menghadirkan kejernihan.

Media sebagai Alat Konflik Intelektual antara Imarah Islam dan Barat
Media dalam sistem barat tidaklah netral. Ia adalah alat yang lembut dan terkadang kotor yang digunakan untuk menyebarkan kebohongan dan menyesatkan orang, dengan tujuan merusak dasar-dasar Islam dan mendistorsi penerapan hukum Islam.

Namun, perlawanan terhadap misinformasi tak bisa dilakukan media sendirian. Dibutuhkan kerja bersama antara redaksi, akademisi, lembaga pemeriksa fakta, pemerintah, dan masyarakat sipil. Inisiatif seperti CekFakta.com membuktikan bahwa kolaborasi lintas media mampu menjadi benteng terhadap arus kebohongan.

Tetapi di luar itu, publik juga harus ikut berperan. Setiap pengguna media sosial kini memegang peran jurnalis kecil. Setiap jempol bisa menyalakan api atau memadamkannya. Maka, literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan moral. Kita perlu membiasakan diri bertanya: Siapa sumbernya, apa buktinya, dan apa motif di baliknya?

Di dalam era ketika kebohongan bisa viral dalam hitungan detik, kebenaran memang sering datang terlambat. Tetapi tugas jurnalisme bukan untuk menjadi yang tercepat, melainkan yang paling dapat dipercaya. Ia bukan pelari sprinter, melainkan pelari maraton yang menjaga napas nalar publik tetap teratur.

Di dunia yang penuh gema (echo chamber), pengulangan adalah bentuk kekuasaan. Namun, jurnalisme harus punya kekuatan yang tak bisa ditiru algoritma: Empati, konteks, dan niat untuk mendidik. Ketika kebohongan berulang tanpa henti, biarlah kebenaran pun diulang dengan sabar, dengan tekun, dengan nurani. Mengakhiri segala rutinitas kebisingan.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.