Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tampaknya tidak pernah bosan mengulang drama lama. Alih-alih belajar dari sejarah, Muktamar X yang digelar di Ancol, Jakarta, Sabtu (27/9/2025) justru menjadi panggung sandiwara murahan, di mana dua aktor utamanya, Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto, berebut klaim sebagai ketua umum sah.
Ironisnya, lakon itu bukan cerita baru, melainkan sekadar daur ulang dari babak 2014, ketika kubu Romahurmuziy dan Djan Faridz juga ribut soal kursi ketua. Rupanya, PPP lebih setia kepada tradisi konflik ketimbang amanat umat; lebih tekun memroduksi dualisme ketimbang membangun persatuan. Meski namanya Partai Persatuan!
Tragisnya, umat Islam tak sedih-sedih amat dengan pagelaran perpecahan yang dipertontonkan secara telanjang ini. Banyak yang tertawa, tak sedikit pula yang berujar sinis, “Drama ini menyempurnakan, perolehan suara yang nyungsep pada Pemilu 2024 lalu, memercepat tamatnya kisah PPP”.
Bercermin dari panggung muktamar PPP, umat Islam memang sudah mulai patah arang terhadap partai-partai Islam. Jualan idealismenya terlalu besar, tetapi kedodoran dalam memraktikkan idealisme tersebut justru dalam tata-kelola partainya sendiri.

Perpecahan di Muktamar X PPP hanyalah memertegas potret ketidakdewasaan elite partai Islam (tak hanya PPP). Alih-alih menghadirkan visi besar bagi umat, mereka justru lebih sibuk berkelahi demi posisi dan legitimasi. Politik umat Islam direduksi menjadi politik kursi.
Lihatlah misalnya Partai Amanat Nasional (PAN), yang juga berulang kali dilanda perebutan kepemimpinan antara kubu Amien Rais dan Zulkifli Hasan. PBB (Partai Bulan Bintang) pun gagal menembus ambang batas parlemen karena lebih sibuk mengurus kepentingan elite daripada merawat akar massa. Bahkan PKS, yang selama ini relatif solid, tak luput dari dinamika pecahnya faksi-faksi yang berujung lahirnya Partai Gelora.
Deretan fakta yang menjengkelkan. Semua kata indah, atribut keumatan, kanal aspirasi umat, yang kerap menyembur dari lisan politisi partai-partai Islam ternyata hanya bakul kosong. Sekadar untuk memerangkap suara politik umat. Muncul saban Pemilu, lalu anyep begitu mendapatkan kursi legislatif dan bagi-bagi kue kekuasaan. Kosa kata ke-Islam-an hilang, bahkan dalam adab di internal partai!
Semua seperti terjebak dalam narsisme! Cinta diri yang berlebihan. Perpecahan tidak akan muncul jika kiprah politik yang mereka lakoni bertujuan utama untuk melayani umat dalam menyampaikan aspirasi. Perpecahan yang muncul, jelas mengindikasikan satu hal penting bahwa para politisi muslim itu bersaing keras untuk kepentingan pribadinya, bahkan di internal partai mereka sendiri.

Jelas, motifnya kursi, materi, dan kehomatan pribadi, di atas keutuhan partai. Persatuan umat hanyalah mimpi indah yang dibikin tercabik-cabik oleh para petinggi partai-partai Islam itu sendiri, yang ternyata belum tuntas dengan diri mereka sendiri. Celakanya, umat dan pengikut yang taklid buta menjadi bahan bakar perpecahan itu, hingga menjalar di akar rumput di seantero negeri.
Umat tentu tidak buta. Justru umat semakin cerdas untuk tidak terperosok dalam akar konflik para elite. Mereka bisa melihat partai Islam yang seharusnya menjadi benteng aspirasi justru berulang kali rapuh diterpa ego elite. Di dalam kondisi seperti ini, sangat mungkin pemilih Muslim, terutama generasi muda yang semakin kritis, beralih kepada partai nasionalis-sekuler.
Bukan karena partai-partai itu menawarkan Islam, tetapi karena mereka mampu memberi stabilitas, narasi kebijakan konkret, dan tidak terus-menerus diguncang konflik internal. Fakta bahwa partai-partai nasionalis masih mendominasi pemilu adalah sinyal jelas: Umat sudah mulai bosan dengan partai Islam yang gagal dewasa dalam berpolitik. Bahkan para kader dan relawan yang tadinya bersemangat dan “lillah” kini menjadi “lelah”.
PPP dan partai Islam lainnya harus segera sadar. Jika hanya menjadi arena perebutan kursi elite, mereka akan ditinggalkan. Politik Islam tidak boleh terus dijadikan komoditas bagi segelintir orang yang haus kekuasaan. Ia harus kembali ke ruhnya: Membela kepentingan umat, menegakkan nilai moral, dan memerjuangkan kesejahteraan rakyat.

Jika tidak, sejarah hanya akan mencatat partai-partai Islam sebagai perahu rapuh yang gagal mengelola amanah umat. Dan pada saat itu, umat dengan sendirinya akan mencari saluran politik baru meski harus melalui partai-partai nasionalis yang tidak mengusung simbol Islam, tetapi setidaknya lebih stabil, rasional, dan konsisten dalam mengelola kepentingan publik.
Aku cuma berharap, masih ada kelompok umat yang sabar nyrateni elite partai-partai Islam sembari tetap berharap dan tak putus asa dari rahmat Allah. Senantiasa membisikkan doa, kiranya Allah memberikan hidayah kepada para politisi partai-partai Islam; untuk tetap tegak memerjuangkan nilai-nilai ilahiah, keumatan, dan kebangsaan, sebagai medan dakwah yang harus mereka tunaikan dengan sungguh-sungguh. Serta memandang ini semua sebagai seleksi alamiah, mana partai Islam yang tetap layak didukung.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!