Di dalam laporan itu, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) antara lain melaporkan presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep dan Ketua MK Anwar Usman karena dugaan telah melakukan praktik kolusi dan nepotisme. Pelaporan TPDI ke KPK itu adalah buntut dari keputusan Mahkamah Konstitusi minggu lalu yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2007 terkait batas usia minimal Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Usai menyampaikan laporan atau informasi terkait dugaan kolusi dan nepotisme yang melibatkan Ketua MK tersebut kepada KPK, Erick S. Paat menjelaskan alasan pihaknya melaporkan ada dugaan nepotisme itu. Yaitu karena Anwar Usman dalam kedudukan dia sebagai Ketua MK dan Ketua Majelis Hakim yang memutus gugatan itu notabene adalah adik ipar Presiden Jokowi dan paman Gibran.
“Kita mengetahui adanya beberapa gugatan yang sehubungan dengan masalah usia minimal untuk menjadi capres atau cawapres. Di situ kita melihat bahwa kedudukan Ketua MK sekaligus sebagai Ketua Majelis Hakim. Kemudian ada permohonan yang berkaitan, dimana juga presiden di dalam setiap ada permohonan ini presiden dipanggil dan juga DPR, karena ini berkaitan dengan undang-undang, jadi mereka hadir,” jelas Erick.
Erick melanjutkan, di dalam salah satu permohonan atau gugatan ke MK terkait batas usia minimal capres-cawapres itu menyebutkan nama Gibran. Kemudian ada juga gugatan yang dilakukan Ketua PSI terkait hal yang sama. Di dalam hal ini, kita mengetahui bahwa Kaesang adalah Ketua Umum PSI.
“Kaitannya bahwa Presiden (Jokowi) dengan (Hakim) Anwar itu ipar. Kita tahu, Ketua MK menikah dengan adiknya Presiden Jokowi, kemudian Gibran (adalah) anaknya (Jokowi). Berarti hubungannya (Gibran) dengan Ketua MK adalah sebagai paman dan keponakan. Kemudian lagi, PSI, yaitu Kaesang juga keponakan dengan paman. Nah, ini ada aturan sesuai dengan undang-undang kekuasaan kehakiman, jika mempunyai hubungan kekeluargaan itu ketua majelisnya harus mengundurkan diri. Itu tegas. Tetapi kenapa Ketua MK membiarkan dirinya tetap menjadi ketua majelis hakim?” terang Erick.
Baca Juga : TPDI Laporkan Presiden dan Ketua MK ke KPK
Menurut Erick, ini ada kaitannya dengan kedudukan Presiden Jokowi. Sebab, Presiden Jokowi menjadi salah satu pihak yang harus hadir dalam persidangan ini. Maka, ia mempertanyakan, mengapa Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari posisi ketua majelis hakim yang memutus perkara tersebut.
“Sebagai Ketua MK, masak tidak tahu undang-undang daripada kekuasaan kehakiman? Seharusnya dengan tegas dari awal ia katakan, saya (Hakim MK) tidak berhak karena berbenturan dengan kepentingan. Senyatanya kan tidak. Diam-diam saja. Lebih-lebih lagi adalah di sini Presiden Jokowi tidak menyatakan melalui kuasa hukumnya supaya ketua majelis hakim Pak Anwar itu mengundurkan diri karena berbenturan kepentingan,” tegasnya.
Erick pun mengatakan, pihaknya melihat di dalam kondisi tersebut seolah-olah ada unsur kesengajaan yang memang dibiarkan dalam penanganan perkara ini. “Yang kami lihat adalah dugaan kolusi nepotismenya, antara Ketua MK sebagai ketua majelis hakim dengan Presiden Jokowi, dengan keponakannya Gibran, juga dengan keponakannya Kaesang. Bagaimana masyarakat akan percaya dengan kepemimpinan yang akan datang? Kita berbicara tentang pemimpin negara ini, jika nanti yang terpilih Presiden-nya adalah orang yang melanggar hukum, masyarakat tentu akan sulit percaya,” katanya.
Erick pun berharap, laporan yang ia sampaikan akan segera diproses. “KPK diharapkan cepat dalam menangani kasus ini. Karena jika lambat, maka nanti akan terjadi permasalahan lagi (yang lebih kompleks),” tutupnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!