Pada 25 Desember 1979, Uni Soviet memutuskan untuk mencampuri urusan Afghanistan, dengan dalih mendukung pemerintahan komunis pro-Soviet yang saat itu mulai kehilangan kendali. Mereka mengorganisasikan operasi militer besar-besaran yang melibatkan sekitar 280 pesawat angkut dan tiga divisi militer dengan total 25.500 tentara. Sesuatu yang awalnya disiapkan sebagai intervensi cepat, justru berubah menjadi perang panjang yang menghancurkan.
Kedatangan pasukan Soviet disambut perlawanan sengit dari Mujahidin dan kelompok gerilyawan lokal yang menolak campur tangan asing. Mereka memanfaatkan medan Afghanistan yang keras — dari pegunungan terjal hingga gua-gua sempit yang sulit dijangkau – untuk melancarkan perang gerilya. Strategi gerilya yang cerdik dan pengetahuan lokal yang mendalam membuat Mujahidin unggul di medan perang, sementara Soviet yang terbiasa dengan perang konvensional di dataran Eropa kesulitan beradaptasi.
Faktor alam itu membuat pasukan Uni Soviet kesulitan untuk menguasai secara keseluruhan wilayah Afghanistan, dikarenakan sulitnya medan dan jalan transportasi yang ditempuh untuk mengalirkan pasokan logistik dan mobilitas pergerakan tentaranya secara besar-besaran.
Uni soviet pernah mencoba mengirimkan logistik dan tentaranya ke wilayah-wilayah pegunungan yang belum mereka kuasai dengan tujuan menguasai dan menghancurkan pasukan pejuang Afghanistan melalui jalur darat. Namun, yang mereka alami adalah hal yang sebaliknya. Mereka malah jadi korban serangan dadakan yang dilancarkan dari celah-celah perbukitan dan dataran tinggi.
Setelah satu dekade perang brutal yang mengorbankan sekitar 15.000 tentara Soviet, pada 1988 Uni Soviet akhirnya menandatangani Perjanjian Jenewa yang mengatur penarikan pasukan secara bertahap. Pada Februari 1989, seluruh pasukan Soviet ditarik dari Afghanistan, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang kemudian diisi oleh kelompok-kelompok pejuang, termasuk Taliban. Kekalahan itu tidak hanya memalukan, tetapi juga menjadi salah satu faktor utama yang memercepat keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991.
Kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh Uni Soviet membuka jalan bagi munculnya Taliban pada tahun 1990-an. Berawal dari jaringan madrasah di Pakistan, Taliban tumbuh menjadi kekuatan besar yang menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan. Taliban berhasil menguasai Kabul pada tahun 1996 dan mendirikan pemerintahan hingga digulingkan oleh invasi Amerika Serikat pada tahun 2001.
Namun, kemenangan Amerika Serikat ini hanya ilusi. Taliban tak pernah benar-benar musnah. Mereka mundur ke pedesaan, mengorganisasi ulang kekuatan, dan memulai perang gerilya. Seperti pendahulunya, Amerika Serikat juga terjebak dalam perang panjang yang melelahkan. Setelah 20 tahun, Amerika Serikat akhirnya menarik seluruh pasukannya dari Afghanistan pada tahun 2021.
Bagi Amerika Serikat, ini adalah kekalahan yang mencoreng reputasi global mereka. Perang selama 20 tahun, yang menghabiskan lebih dari 2,3 triliun dolar dan merenggut lebih dari 2.400 nyawa tentara, berakhir tanpa hasil nyata.
Afghanistan memiliki sejarah panjang dalam melawan penjajahan. Inggris mengalami kekalahan pada tahun 1839–1842 dan 1919, Uni Soviet pada tahun 1989, serta Amerika Serikat pada tahun 2021. Hidup di tengah alam yang keras menjadikan penduduk Afghanistan memiliki semangat perjuangan yang tak tergoyahkan. Mereka memahami bahwa perang bukan sekadar soal senjata, tetapi juga tentang ketahanan, kesabaran, dan pemanfaatan medan.
Afghanistan menjadi pengingat bahwa kekuatan militer terbesar sekali pun bisa tumbang di hadapan perlawanan kecil yang gigih. Negeri ini bukan sekadar sebuah negara; ia adalah kuburan bagi para raja-raja—tempat di mana ambisi besar datang untuk mati.
Kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh kekuatan-kekuatan besar dunia di Afghanistan menunjukkan betapa kuatnya semangat perjuangan rakyatnya. Mereka tidak hanya melawan senjata dan teknologi modern, tetapi juga melawan ideologi dan kekuasaan asing yang mencoba mencabut kedaulatan mereka. Dengan sejarah panjang yang dipenuhi perjuangan dan pengorbanan, negeri ini menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain yang memerjuangkan kedaulatan dan kemerdekaan.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!