Gubernur Aceh: Tidak Ada yang Bisa Menolong Kita Selain Rahmat Allah

Gubernur Aceh: Tidak Ada yang Bisa Menolong Kita Selain Rahmat Allah
Gubernur Aceh: Tidak Ada yang Bisa Menolong Kita Selain Rahmat Allah/foto:yt.narasi, mata najwa

Penanganan dampak bencana alam di Sumatera masih berlangsung. Memang, tak ada yang benar-benar siap menghadapi bencana, apalagi sebesar ini. Hujan turun berhari-hari tanpa jeda, sungai-sungai meluap, dan tanah yang sudah terlalu lama digarap tanpa ampun pun akhirnya menyerah. Air membawa kayu, batu, dan lumpur seperti gelombang yang tak mengenal arah. Desa-desa di Sumatera luluh lantak seketika. Rumah-rumah hilang hanya dalam hitungan menit. Ternak yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan juga ikut terseret derasnya banjir bandang. Orang-orang berlari tanpa sempat menoleh, pilihannya hanya antara hidup dan mati.

Bagi sebagian saksi hidup, peristiwa ini seperti membuka luka lama. Banyak yang menyebut bahwa apa yang terjadi hari ini terasa seperti tsunami kedua bagi Aceh. Ingatan terlempar ke dahsyatnya air laut yang mendatangkan luka serupa, menghadirkan pula ketakutan yang kembali mengendap di dada, serta suara teriakan minta tolong yang menggema di antara puing-puing, dan tubuh-tubuh yang ditemukan dalam keadaan tak lagi bernyawa. Banyak warga Aceh yang berkata bahwa mereka tak pernah membayangkan akan kembali merasakan hari ketika tanah seperti menelan kehidupan di atasnya.

Bahkan, rangkaian data menampilkan sesuatu yang mengerikan. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai 8 Desember 2025, sekitar 904.100 warga Aceh tercatat masih mengungsi akibat banjir dan longsor. Sebanyak 389 orang telah meninggal dunia hasil temuan 23 jenazah baru oleh tim SAR dalam satu hari saja. Ribuan lainnya terluka. Selain itu, banyak rumah hancur, desa-desa rusak, fasilitas umum lumpuh, dan jalur penghubung terputus, membuat sebagian korban nyaris tak tersentuh bantuan karena terisolasi akibat akses terputus. 

Kabupaten-kabupaten semisal Aceh Utara, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur, termasuk daerah yang paling parah. Aceh Utara sendiri menyumbang ratusan ribu pengungsi dari angka total pengungsi di Aceh. Situasinya semakin mencekam ketika malam datang. Listrik padam, komunikasi terputus, jalan rusak yang menjadi pembatas antara kehidupan dan kematian, sekadar sisa kayu, lumpur, dan doa. Di banyak titik, tim penyelamat tak bisa masuk karena akses jalan yang terhapus.

Peringatan dari Sumatera: Saatnya Introspeksi
Secara eksplisit, di dalam Al Qur’an Surat Ar-Rum ayat 41, Allah Azza Wa Jalla telah peringatkan kita bahwa kerusakan yang ada di bumi hari ini, baik di darat, di laut, maupun di udara, disebabkan oleh perbuatan manusia yang merusak.

Bantuan makanan, air bersih, selimut, obat — lumpuh oleh kondisi medan dan kehancuran infrastruktur. Orang-orang terdampar, menunggu tanpa tahu kapan bantuan datang. Anak-anak menangis kelaparan, ibu-ibu menggandeng tangan bayi di tenda darurat, lansia tergeletak lelah, dan setiap rumah tangga kini dihantui rasa kehilangan dan ketidakpastian.

Di dalam situasi itu, hanya satu hal yang bangkit yaitu rasa kemanusiaan. Warga jaga warga. Mereka menggali puing dengan tangan telanjang. Mereka mengevakuasi korban memakai pintu kayu sebagai tandu. Mereka berbagi nasi seadanya, air seadanya, selimut seadanya, agar tetangga tidak kelaparan. Agar anak-anak tidak menangis karena lapar. Agar setidaknya rasa kemanusiaan tetap hidup meski dunia di sekitar telah hancur.

Tim SAR, relawan lokal, dan komunitas, berdiri bersama menembus lumpur dan reruntuhan, mendata hilang-mengenal, mencari jenazah, memberi obat, memberi pelukan, memberi harapan. Di banyak titik, bantuan resmi belum datang, logistik terhambat, tetapi solidaritas warga menjadi jembatan kehidupan.

Di tengah kelelahan itu, sang pemimpin daerah, Muzakir Manaf — Gubernur Aceh — menyampaikan pesan bahwa di saat keadaan paling rapuh, di saat sistem dan struktur runtuh, mereka masih punya harapan. “Kita hanya bisa berserah diri kepada Allah. Kalau kita bergantung kepada manusia, kita akan kecewa. (Tetapi) kalau kita berserah kepada Allah, kita akan terima segalanya dengan lapang dada. Tidak ada yang bisa menolong kita selain rahmat Allah,” katanya.

Menyalahkan Cuaca Ektrem, Mengabaikan Fakta Deforestasi
Bencana alam banjir dan tanah longsor di Sumatera telah merenggut 604 jiwa meninggal dunia. Sejumlah 283 orang di Sumatera Utara, 165 di Sumatera Barat, dan 156 jiwa di Aceh. Ratusan warga lain dinyatakan hilang. Tetapi musibah itu belum terlalu besar untuk dinyatakan sebagai bencana nasional.

Banjir bandang dan longsor ini adalah peringatan keras bahwa manusia dan alam sedang di persimpangan. Bahwa pembangunan tanpa hati, tanpa mitigasi, tanpa kesadaran ekologis, akan selalu dibayar mahal. Bahwa Aceh yang sudah pernah terluka oleh tsunami — kini berdiri di ujung harapan dan tangis, menunggu tangan-tangan yang siap membantu lewat aksi nyata.

Kalau kita menutup mata sekarang, kita menutup hati terhadap penderitaan jutaan manusia. Kalau kita diam, kita membiarkan solidaritas pupus. Kita melihat nyawa, tangis, harapan, dan kemanusiaan yang berjuang mati-matian untuk bertahan. Aceh benar-benar butuh kita sekarang sebagai penanggung jawab bersama. Ketika malam datang, lumpur masih mengendap, rumah belum berdiri, anak-anak terbaring lelah — doa, tangan saling menggenggam, dan rasa bahwa kita masih punya satu sama lain, mungkin itulah kekuatan paling tulus yang tersisa.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.