Islah yang tercapai antara Rais Aam dan Ketua Umum PBNU di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, patut diapresiasi sebagai langkah menyejukkan di tengah kegelisahan warga Nahdliyin. Di saat sebagian umat mulai lelah menyaksikan konflik elite organisasi, pertemuan para kiai sepuh yang menghasilkan kesepakatan islah itu memberi sinyal penting: konflik internal bisa diselesaikan secara tuntas, bermartabat, dan beradab, sesuai tradisi ara ulama.
Namun, di titik inilah pekerjaan besar justru dimulai. Islah tidak boleh berhenti sebagai peristiwa simbolik; sekadar foto bersama, pernyataan pers, dan janji manis persatuan. Lebih dari itu, islah harus diterjemahkan sebagai komitmen serius untuk menutup konflik hingga ke akar-akarnya.
Masalah yang mungkin menjadi pertanyaan banyak warga Nahdliyin justru pada titik ini: Apakah Islah tersebut benar-benar menuntaskan konflik dan perpecahan yang telah terjadi? Faktanya, islah Lirboyo sesungguhnya baru menyepakati satu komitmen bersama dari dua kelompok yang bertikai, yakni menyelenggarakan muktamar sesegera mungkin.
Kesepakatan untuk menggelar muktamar sesegera mungkin tidak cukup menjadi bukti bahwa konflik telah selesai. Umat diam-diam justru khawatir, muktamar malah akan menjadi ajang adu kuat sekaligus sebagai formalisasi pengesahan keterbelahan.

Jika itu yang terjadi, maka persiapan muktamar akan menjadi ajang konsolidasi yang panas di antara dua kubu untuk bisa menang di muktamar nanti. Alih-alih sejuk oleh spirit islah, muktamar sebagai forum tertinggi jam’iyah akan berubah menjadi “adu legitimasi” yang rawan konflik. Jika ini yang terjadi, amat disayangkan. Konflik elite akan menjadi konflik akar rumput yang meluas. Islah substantif sekadar menjadi angan-angan.
Di sinilah kedewasaan pengurus PBNU diuji. Era digital telah mengubah relasi umat dengan organisasi. Umat tidak lagi sekadar sami’na wa atha’na. Mereka membaca, membandingkan, menyimpan arsip, dan mengulik data. Pernyataan hari ini akan dihadapkan dengan pernyataan kemarin. Sikap elite hari ini akan diukur dengan rekam jejak digitalnya. Di dalam konteks ini, NU tidak lagi berhadapan dengan umat yang pasif, melainkan publik kritis yang melek data dan sensitif terhadap inkonsistensi.
Karena itu, setiap langkah PBNU ke depan; termasuk proses menuju muktamar, akan dinilai bukan hanya dari hasil akhirnya, tetapi dari prosesnya: Seberapa inklusif, transparan, dan jujur. "Ingin kembali membesarkan NU ataukah sekadar ingin menang-menangan?" "Benar-benar ingin islah atau sekadar ingin menggunakan forum muktamar sebagai alat legitimasi untuk menang dan mengalahkan?"
Sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah, Nahdlatul Ulama sesungguhnya memiliki modal sosial dan etik yang sangat kuat: tradisi musyawarah, keteladanan kiai, serta kearifan pesantren. Modal ini harus dihadirkan kembali secara nyata, bukan hanya dikutip dalam pidato. Kedewasaan organisasi hari ini bukan diukur dari kemampuan “menang” dalam konflik internal, tetapi dari keberanian untuk mengakhiri konflik tanpa meninggalkan residu dendam dan saling curiga.

Islah Lirboyo seharusnya menjadi titik balik. Bukan jeda sementara. Muktamar ke depan idealnya menjadi ruang penyembuhan kolektif; tempat perbedaan diselesaikan, bukan dikemas; tempat persatuan dibangun, bukan disimulasikan; dan tentu saja muktamar ke depan adalah forum yang amat tepat untuk menatap ulang khittah 1926 secara jernih dan berprinsip pada kepentingan jamiiyah umat dan bangsa.
Jika islah yang sesungguhnya berhasil dicapai, NU tidak hanya menyelamatkan marwah organisasinya, tetapi juga memberi teladan penting bagi umat dan bangsa. Bahwa konflik bisa diselesaikan dengan akal sehat, kebijaksanaan, dan kejujuran. Bahwa ada tarik menarik kepentingan adalah hal manusiawi, namun kepentingan umat dan bangsa semestinya mampu menepikan semua tarik menarik itu.
Sebaliknya, jika muktamar justru menjadi stempel akhir dari konflik yang belum sungguh-sungguh selesai, maka kekecewaan warga Nahdliyin yang kini makin kritis dan sadar data, akan menjadi harga mahal yang harus dibayar. Kita berharap NU mencapai islah seutuhnya, kembali memerankan peran dakwah keumatan membangun umat dan bangsa.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!

