Bertepatan dengan peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2024, Lembaga Riset Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) dan Great Edunesia Dompet Dhuafa merilis temuan terbaru berdasarkan hasil riset mereka terkait kesejahteraan guru honorer di Indonesia. Hal itu diungkap dalam keterangan tertulis IDEAS kepada Redaksi Sabili.id pada Senin (25/11/2024).
Lewat keterangan tertulis itu, Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS, Agung Pardini, menegaskan, negara belum sepenuhnya hadir untuk memberikan kesejahteraan yang layak bagi para guru honorer. Sedangkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah mengatur tentang hak penghasilan yang layak bagi guru.
“Dari 3,7 juta guru di Indonesia, sebanyak 2,06 juta atau 56 persen merupakan guru honorer atau tidak tetap. Sebagian besar dari mereka masih menerima upah yang jauh dari layak. Bahkan di beberapa daerah masih banyak yang (menerima upah) di bawah Rp 500.000, terutama di tingkat SD dan MI,” ungkap Agung Pardini dalam keterangan tertulisnya.
Agung menjelaskan, sumber gaji bagi Guru Honorer sampai saat ini masih ditopang oleh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Berdasarkan regulasi yang ada, alokasi gaji Guru Honorer dari dari dana BOS maksimal 50 persen untuk sekolah di bawah Kemendikbud dan 60 persen untuk sekolah di bawah Kemenag.
“Simulasi IDEAS mengungkapkan rata-rata gaji guru honorer yang ditopang dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya berkisar antara Rp 780.000 hingga Rp 3,3 juta, tergantung jenjang pendidikan,” kata Agung.
Pada tingkat nasional, guru honorer SD rata-rata menerima gaji 1,2 juta Rupiah. Sedangkan guru honorer SMP mendapatkan 1,9 juta Rupiah. Di jenjang pendidikan menengah, guru honorer SMA rata-rata digaji 2,7 juta Rupiah dan guru SMK 3,3 juta Rupiah.
“Namun, kondisi guru madrasah jauh lebih memrihatinkan, dengan gaji rata-rata hanya Rp 780.000 untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI), Rp 785.000 untuk Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Rp 984.000 untuk Madrasah Aliyah (MA),” tutur Agung.
Agung menyebut, rasio guru dan murid yang kecil, terutama di daerah-daerah tertentu, menjadi salah satu penyebab alokasi dana BOS tidak mencukupi untuk memberikan gaji yang layak bagi para guru honorer. “Bahkan jika porsi dana BOS dinaikkan lebih dari 60%, tetap saja tidak akan cukup untuk mencapai kesejahteraan yang layak,” ungkapnya.
Hasil simulasi lain juga menunjukkan disparitas gaji antar wilayah. Di jenjang SD, dari 494 kabupaten/kota yang dianalisis, sebanyak 220 kabupaten/kota masih memiliki gaji guru honorer di rentang Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000. Kondisi lebih buruk terlihat di MI, di mana 328 dari 492 kabupaten/kota memiliki estimasi gaji dalam rentang yang sama.
Pada jenjang SMP dan MTs, terdapat masing-masing 110 kabupaten/kota (dari 486 kabupaten/kota) dan 320 kabupaten/kota (dari 483 kabupaten/kota) dengan gaji guru honorer yang juga di bawah 1 juta Rupiah. Sementara itu, situasi sedikit lebih baik ditemukan di jenjang pendidikan menengah atas. Sebanyak 156 kabupaten/kota dari 483 kabupaten/kota pada jenjang SMA memiliki rata-rata gaji guru honorer di atas 3 juta Rupiah. Jenjang SMK bahkan lebih baik, dengan 162 kabupaten/kota dari 463 kabupaten/kota memiliki estimasi gaji di atas 3 juta Rupiah.
“Namun, di MA, mayoritas gaji guru honorer tetap berada di rentang Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000, yakni sebanyak 239 kabupaten/kota dari 464 kabupaten/kota yang dianalisis,” tutur Agung.
Agung menegaskan, perlu langkah konkret dan inovatif untuk mengatasi permasalahan kesejahteraan guru honorer yang hingga kini masih jauh dari kata layak. Menurut dia, pemerintah harus mengadopsi kebijakan yang luar biasa (extraordinary) untuk memastikan guru honorer mendapatkan penghasilan yang mencukupi dan status kerja yang jelas.
“Pengangkatan guru honorer menjadi ASN melalui skema PPPK memang menggembirakan, tetapi masih parsial. Skema ini hanya menjangkau sekolah negeri dan memiliki kontrak kerja terbatas antara 1 hingga 5 tahun, sehingga tidak menjadi solusi jangka panjang,” kata Agung.
IDEAS merekomendasikan replikasi kebijakan DKI Jakarta yang mengangkat seluruh guru honorer menjadi Guru Kontrak Kerja Individu (KKI) sebagai langkah jangka pendek. “Kebijakan ini memberikan kepastian status dan penghasilan yang lebih baik, dan dapat diadopsi oleh pemerintah daerah lainnya,” tambah Agung.
Terkait kesejahteraan guru honorer, Sekretaris Great Edunesia, Mulyadi Saputra, berpendapat, negara harus mengambil peran besar dalam memastikan kesejahteraan guru honorer sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). “Undang-Undang Sisdiknas dengan jelas menyatakan bahwa negara menjamin kesejahteraan guru. Ini adalah komitmen yang harus diwujudkan, bukan sekadar janji,” ujar Mulyadi di tengah suasana memeringati Hari Guru Nasional 2024 di Jakarta.
Mulyadi juga menyoroti pentingnya kolaborasi berbagai pemangku kepentingan dalam mengatasi persoalan ini. “Permasalahan kesejahteraan guru honorer tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja. Dibutuhkan kolaborasi yang melibatkan pemerintah pusat, daerah, sekolah, yayasan pendidikan, serta lembaga filantropi,” tegasnya.
Menurut Mulyadi, peran lembaga filantropi dalam dunia pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia menyebut, lembaga-lembaga ini dapat menjadi katalisator dalam mendukung program-program peningkatan kesejahteraan guru honorer, baik melalui pemberian insentif tambahan maupun melalui pelatihan yang meningkatkan kompetensi mereka.
“Lembaga filantropi dapat berkontribusi pada aspek yang lebih inovatif, seperti membangun ekosistem pendidikan yang berkelanjutan. Ini bisa menjadi solusi jangka panjang yang mendukung peran guru sebagai pendidik sekaligus motor penggerak perubahan,” tutup Mulyadi.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!