“Saya pikir mereka (orang Palestina) akan dengan senang hati (meninggalkan Gaza).” Demikianlah pernyataan kontroversial Donald Trump saat menanggapi pertanyaan wartawan terkait rencana relokasi warga Gaza. Ia mengusulkan agar warga Gaza dipindahkan ke Yordania atau Mesir. Usul tersebut dengan tegas ditolak oleh kedua negara tersebut.
Sejak kemunculan dia di panggung politik sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kerap membuat kebijakan yang kontroversial, termasuk yang berkontribusi terhadap gagalnya gencatan senjata antara Hamas dan Israel pada 16 Maret, setelah hampir dua bulan berjalan sejak 19 Januari 2025. Patahnya gencatan senjata itu menambah panjang daftar kegagalan diplomasi dalam proses menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Sekaligus kian menunjukkan persepsi keliru negara-negara Barat terhadap Islam.
Persepsi keliru terhadap Islam di Barat sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Di dalam "Orientalism", Edward Said menjelaskan bagaimana dunia Barat membentuk citra dunia Islam sebagai wilayah yang irasional, fanatik, dan terbelakang. Pemikiran ini telah mengakar sejak era kolonial dan terus direproduksi dalam wacana akademik, media, dan kebijakan luar negeri negara-negara Barat. Akibatnya, segala peristiwa yang melibatkan dunia Islam sering kali dilihat dengan kacamata bias, tanpa memertimbangkan konteks historis dan politik yang lebih kompleks.
Stereotip itu semakin diperkuat oleh pembangunan narasi yang menyesatkan terhadap Islam di media massa Barat. Di dalam "Covering Islam", Said menunjukkan bagaimana pemberitaan mengenai Muslim hampir selalu dikaitkan dengan kekerasan dan ekstremisme. Citra ini tidak hanya menciptakan ketakutan terhadap Islam di masyarakat Barat, tetapi juga menjadi alat politik untuk membenarkan kebijakan-kebijakan represif terhadap negara-negara Muslim. Akibatnya, Palestina tidak hanya dilihat sebagai entitas politik, tetapi juga sebagai bagian dari ancaman Islam terhadap peradaban Barat.
Persepsi keliru ini juga merasuk ke dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Palestina. Di dalam "Perceptions of Palestine", Kathleen Christison mengungkap bagaimana presiden-presiden Amerika Serikat, sejak awal keterlibatan mereka di dalam konflik ini, telah memiliki pandangan yang tidak obyektif terhadap tanah Palestina. Didominasi oleh pengaruh lobi pro-Israel dan narasi yang dibentuk oleh media, mereka melihat Palestina lebih sebagai ancaman daripada sebagai bangsa yang terjajah. Akibatnya, dukungan mereka terhadap Israel tidak hanya bersifat diplomatis, tetapi juga militer dan finansial, yang secara langsung menghambat tercapainya solusi damai yang adil.
Untuk memahami akar konflik ini, kita perlu melihat asal-usul Zionisme dan peristiwa Nakba 1948. Di dalam "The Palestine Nakba", Nur Masalha menjelaskan, Nakba bukan sekadar tragedi sejarah, tetapi bagian dari proyek kolonialisme yang masih berlanjut hingga kini. Gerakan Zionisme yang muncul di akhir abad ke-19 membawa ambisi untuk mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina, yang diwujudkan melalui pengusiran massal dan penghancuran desa-desa Palestina pada 1948. Sejak saat itu, warga Palestina terus mengalami pengusiran, diskriminasi, dan pendudukan yang sistematis.
Trauma yang dialami warga Palestina sejak Nakba 1948 terus berlanjut hingga hari ini. Di dalam "The Continuity of Trauma", Masalha menyoroti bagaimana pengalaman penderitaan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, dan diperparah dengan minimnya perhatian dunia. Berbeda dengan Holocaust yang diakui sebagai tragedi global dengan penghormatan mendalam, penderitaan rakyat Palestina justru sering kali diabaikan atau disalahartikan. Ketidakakuratan persepsi dan kesesatan narasi yang dibangun selama puluhan tahun telah membuat penderitaan ini seolah menjadi bagian dari "realitas politik" yang tidak perlu dipermasalahkan oleh dunia.
Kasus serangan 7 Oktober 2023 lalu menjadi bukti terbaru tentang bagaimana media Barat memainkan peran besar dalam membentuk opini yang menyesatkan. Di dalam jurnal "Examining the Framing", Abid Ali dkk mengungkap tentang bagaimana media Barat dengan cepat membingkai peristiwa tersebut dalam narasi yang memosisikan Palestina sebagai agresor dan Israel sebagai korban, tanpa menggali lebih dalam tentang akar permasalahan yang lebih kompleks. Pembingkaian persepsi ini cukup berperan dalam kian berlarutnya konflik sampai lebih dari 15 bulan, serta membuat pihak-pihak kunci semisal pemerintah Barat sebagai pendukung Israel bertindak secara keliru dan malah memerpanjang konflik.
Semua ini berakar dari sentimen negatif Barat terhadap Islam dan pandangan bahwa dunia Islam adalah ancaman bagi peradaban mereka di masa depan. Samuel Huntington dalam "The Clash of Civilizations" meramalkan bahwa konflik dunia di masa depan akan didominasi oleh pertentangan antar peradaban, di antaranya adalah Islam dan Barat. Meski pun gagasan ini mendapat banyak kritik, "The Clash of Civilizations" tetap menjadi rujukan utama dalam memahami kebijakan luar negeri negara-negara Barat terhadap dunia Muslim, termasuk Palestina. Pandangan ini telah menciptakan justifikasi bagi tindakan represif terhadap Palestina, dengan dalih memertahankan dominasi peradaban Barat atas dunia Islam.

Lantas, bagaimana cara mengubah narasi ini? Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat mengidentifikasi bahwa akar dari semuanya adalah pembangunan narasi yang menyesatkan. Maka, mitos dan mispersepsi yang telah mengakar di belakangnya harus dibongkar. Media dan akademisi harus mulai menyajikan konflik Palestina-Israel dalam bingkai yang lebih seimbang, serta menyoroti akar kolonialisme dan dampak kemanusiaan yang sebenarnya. Upaya dekolonisasi sejarah, sebagaimana yang disampaikan oleh Edward Said, harus menjadi bagian dari gerakan akademik global agar opini publik tidak terus terjebak dalam narasi yang dibuat oleh kepentingan politik tertentu. Meningkatkan literasi sejarah dan politik global di masyarakat juga menjadi langkah penting agar konstruksi opini yang bias dapat dilawan dengan data dan perspektif yang lebih obyektif.
Pada akhirnya, perdamaian di Palestina tidak bisa dicapai hanya dengan negosiasi politik yang berpihak, tetapi juga dengan menghancurkan konstruksi persepsi yang menghalangi pemahaman yang adil atas konflik ini. Tanpa upaya serius dalam mereformasi cara dunia melihat Palestina, solusi yang adil akan tetap menjadi utopia, dan konflik ini akan terus berulang tanpa titik akhir. Wallahu a'lam.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!