Gadis bermata jeli itu telah meluluh lantakkan hati sang pemuda. Lalu cinta pun memenuhi kalbu.
"Halangan apa pun akan kuterjang," gumam sang pemuda.
Pemuda Makkah itu lalu mengendap-endap. Menyusup ke dalam rombongan besar yang berangkat ke kota Yatsrib. Ya, sekelompok pengikut Nabi Muhammad ﷺ sedang bertolak dari Makkah atas perintah Nabi dan Rasul mulia itu.
"Di sana, sang pujaan hati bisa kujumpai," pikirnya.
Cinta membara kepada sang gadis membuat dia turut serta dalam rombongan. Sang pemuda tak tahu tentang bara cinta yang tengah membakar hati sahabat-sahabat Nabi Muhammad ﷺ . Sang pemuda tak paham motivasi apa yang menggerakkan rombongan itu untuk meninggalkan kampung halaman mereka. Cintanya kepada sang gadis telah membutakan hati, "menghijab" dirinya dari cinta hakiki.
Bahkan, si pemuda belum mengerti mengapa sang pujaan hati rela meninggalkan dirinya di kota Makkah. Ia sudah tidak perduli dengan semua itu. Ia ingin memersunting sang gadis, meski di tempat yang jauh.
Episode di atas jika ditulis dengan pena-pena jahiliyah barangkali merupakan romantisme cinta di tengah hijrah. Para penulis jahiliyah memang tak pernah mengenal cinta sejati. Bagi mereka, kisah Romeo dan Juliet, Kalilah dan Dimnah, atau sepasang manusia khayali lainnya itulah yang disebut "cinta".
Cinta identik dengan hubungan lelaki dengan perempuan, demikian jahiliyah mengumbar syahwat. Maka kisah novel, roman, film, atau syair puisi dan lagu, semuanya memuja nafsu birahi. Erotisme cinta menghias majalah, koran, buku, tv, maupun bioskop.
Di manakah cinta sejati?
Mana cinta yang bebas dari kerendahan jiwa insani?
Peristiwa hijrah adalah guru umat beriman dalam cinta dan keikhlasan. Di sana ada manusia-manusia yang rela meninggalkan apa-apa yang mereka kasihi: harta, kedudukan, istri atau suami, bahkan tanah air dan bangsa. Semuanya karena cinta sejati, cinta kepada Ilahi.
Mereka bersedia meninggalkan ikatan-ikatan dunia, guna meraih kasih sayang Allah. Mereka membuktikan bahwa cinta kepada Sang Pencipta mesti di atas segalanya, di atas keinginan-keinginan syahwat.

Mereka benar-benar telah melaksanakan ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan mengikuti seruan Allah:
"Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, 'Bunuhlah dirimu atau keluarlah dari negeri-negerimu', niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sungguh, seandainya mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka tentu itu lebih baik bagi mereka dan lebih mengokohkan posisi mereka." (QS 4: 66).
Sahabat-sahabat Nabi Muhammad ﷺ , lelaki maupun perempuan, telah menunjukkan cinta sejati itu. Masing-masing mereka telah membunuh jiwa nasionalisme kebangsaan yang menjadi pangkal kejahiliyahan. Mereka memerangi pemujaan syahwat dan nafsu kebinatangan.
Inilah yang belum dipahami sang pemuda dan para penulis atau penyair jahiliyah. Noda-noda dosa dan maksiat masih membalut mata hati mereka untuk dapat melihat kebenaran. Kebodohan terhadap makna ikhlas dalam pengabdian kepada Allah masih melekat pada jiwa mereka.
Tidakkah hati mereka memahami sabda Rasul yang mulia:
"Sesungguhnya sahnya suatu amal tergantung kepada niat (motivasi), dan sesungguhnya setiap orang akan memeroleh sesuai dengan niatnya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka ia akan sampai pada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ia cari atau perempuan yang hendak ia nikahi maka hijrahnya itu untuk tujuan yang diinginkan".
Artikel ini disadur dari Majalah Sabili No. 14/I, 20 Muharram 1410 H/22 Agustus 1989 M

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!