Historiografi Ulama/Santri Pro Komunisme: Sebuah Kajian Politik Islam

Historiografi Ulama/Santri Pro Komunisme: Sebuah Kajian Politik Islam
Historiografi Ulama/Santri Pro Komunisme: Sebuah Kajian Politik Islam/foto:pxhere.com

Fenomena tokoh-tokoh komunis Indonesia yang justru berasal dari keluarga ulama, santri atau lulusan sekolah pendidikan Al Qur’an, sering dipahami secara simplistis: Seolah mereka murtad dari ajaran agama. Padahal, faktanya lebih kompleks dan ideologis. Mereka tak meninggalkan Islam karena membencinya, tetapi karena tidak menemukan Islam hadir sebagai kekuatan perjuangan sosial, ekonomi, dan politik bernegara, atau bentuk kekecewaan terhadap praktik keagamaan yang dianggap tak menjawab realitas sosial dan politik serta praktik bernegara.

Pada masa kolonial dan awal abad ke-20, Islam lebih sering diajarkan sebagai ritual dan akhlak pribadi. Bukan sebagai sistem perjuangan. Di ruang kosong inilah ideologi kiri, khususnya sosialisme dan komunisme, mendapat tempat. Mereka datang dengan bahasa yang konkret: Soal penindasan, kapitalisme, kemiskinan, dan revolusi sosial.

Islam Ditinggalkan Bukan karena Ajarannya, tetapi karena Ketidakhadiran Politiknya

Banyak anak ulama dan lulusan pesantren yang hafal Al Qur’an, tetapi tidak melihat ulama bicara tentang struktur negara dan ekonomi, tidak menemukan keberanian politik dalam dakwah, serta tidak diperkenalkan kepada Islam sebagai sistem kekuasaan dan keadilan.

Islam dipahami sebagai amal individu, bukan gerakan sosial. Sementara komunisme menawarkan sejumlah hal, yaitu analisis penderitaan rakyat, program perjuangan kelas, organisasi massa, dan semangat anti-penjajahan. Karena itu, mereka melihat logika perjuangan lebih hidup di "ideologi kiri" dibandingkan di mimbar-mimbar keagamaan.

Dai Digital: Kekuatan Baru Politik Islam di Indonesia
Dai digital kini menjadi aktor yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik dan arah politik umat Islam di Indonesia. Peran dai digital membawa dampak positif yang tidak bisa diabaikan. Namun, dampak negatifnya juga cukup serius.

Taklid, Formalisme, dan Absennya Visi Gerakan

Realitas umat saat itu memerkuat kekecewaan:

1. Taklid tanpa pemikiran: Banyak pengikut ulama yang hanya menerima tanpa mengritisi, tanpa visi politik. 2. Ulama a-politis: Sebagian ulama menolak bicara tentang negara, kekuasaan, atau ekonomi, karena hal-hal tersebut dianggap "urusan dunia". 3. Dakwah tanpa struktur kekuasaan : Islam berhenti pada syiar, tetapi tak menyentuh strategi membangun negara.

Di titik inilah, Islam tampak tak siap menjadi ideologi perjuangan, meski pun Al Qur’an sarat dengan ayat keadilan sosial, pembelaan terhadap mustadh’afin, dan perintah melawan kezaliman.

Tjokroaminoto Membaca Masalah Ini Lebih Awal

H.O.S. Tjokroaminoto, guru besar dari Soekarno, Musso, Alimin, Tan Malaka, dan SM. Kartosuwiryo, melihat bahaya besar jika Islam menjauh dari politik. Ia mengingatkan, “Barang siapa hendak membangun negara tanpa politik, sama saja ingin membuat tubuh tanpa kepala”. Pernyataan ini adalah kritik langsung terhadap:

√ Ulama yang hanya mengurus ibadah tanpa strategi kekuasaan, √ Umat yang hanya sibuk mengaji tanpa menyusun perlawanan, √ Gerakan Islam yang tak menguasai negara, ekonomi, dan organisasi.

Tjokroaminoto sadar, jika Islam tak memimpin arah perjuangan, ideologi lain akan mengisinya. Itulah yang terjadi saat sebagian santri dan anak ulama hijrah ke komunisme. Mereka mencari “kepala perjuangan”, karena tubuh umat Islam saat itu hanya berisi massa, bukan kepemimpinan politik.

Fiqh Mustadafin: Frame-Work Gerakan Politik Ulama - Tokoh Umat
Sistem ekonomi ribawi adalah bentuk nyata kapitalisme global. Sedangkan di sekelilingnya ada pesantren dan banyak penduduk yang miskin secara struktural. Keadilan sosial pun menjadi barang mewah yang hanya ada di tulisan dan buku-buku di sekolahan.

Tokoh Komunis dari Latar Belakang Islam: Paradoks yang Bisa Dijelaskan

Sejumlah nama besar komunis berasal dari kultur Islam:

1. Haji Misbach (santri Solo), yang awalnya membela Islam melawan kapitalisme, lalu bergabung ke dalam PKI karena melihat Islam tak diorganisasikan secara revolusioner. 2. Tan Malaka, anak keluarga religius yang kecewa Islam tak tampil sebagai kekuatan politik pembebas. 3. Semaun, Darsono, Musso, Alimin, banyak yang pernah mengenyam pendidikan Islam. Begitu pula DN Aidit, anak ulama, santri mengaji, yang menjadi tokoh revolusioner 1965.

Mereka bukan berpindah karena Islam kurang ajaran, tetapi karena umat gagal menerjemahkan ajaran Islam sebagai ide pembebasan.

Politik sebagai Jalan Iman, Bukan Pengkhianatan

Tjokroaminoto "tidak melihat politik sebagai kekotoran" tetapi sebagai instrumen dakwah dan pembebasan. Bersama Sarekat Islam, ia membangun Islam sebagai kekuatan massa; sebagai kekuatan ekonomi; dan sebagai pelaku yang bertanggungjawab dalam perebutan kekuasaan kolonial. Bagi Tjokroaminoto, agama tanpa politik adalah tubuh tanpa kepala — hidup tetapi lumpuh.

Jalan Keluar: Islam Harus Menjadi Ideologi Perjuangan

Agar umat tak kehilangan generasi kritis ke ideologi lain, maka Islam harus:

✅ menampilkan diri sebagai gerakan pembebasan sosial; ✅ melahirkan ulama yang berpikir negara, bukan hanya ibadah; ✅ mengorganisasi umat dengan strategi kekuasaan; ✅ menghidupkan ayat-ayat keadilan dan perjuangan secara praksis.

Karena itu, betapa relevannya peringatan Cokroaminoto: "Barang siapa ingin mendirikan negara tanpa politik, sama saja ingin membuat tubuh tanpa kepala.”

Jika Islam tak punya kepala politik, maka tubuhnya akan dipimpin oleh ideologi lain.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.