Pemerintah berencana menaikkan tarif ojek daring (ojek online / ojol) sejumlah 8 hingga 15 persen. Menanggapi rencana tersebut, Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menilai, kenaikan tarif ojol belum menjawab persoalan utama dalam ekosistem transportasi digital. Kebijakan itu disebut hanya memberi tambahan penghasilan yang tidak signifikan bagi pengemudi, sebaliknya justru berisiko menambah beban penumpang dan secara otomatis menguntungkan aplikator.
Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar, mengungkap hal itu dalam keterangan tertulisnya yang diterima Redaksi Sabili.id pada Selasa (1/7/2025). Ia menyebut, simulasi IDEAS menunjukkan, dengan asumsi 10 perjalanan per hari masing-masing sejauh 5 kilometer dan tarif dasar Rp 2.500 per kilometer, pengemudi ojol meraih pendapatan kotor kira-kira Rp 125.000 per hari. Namun, dengan adanya potongan 20 persen dari aplikator, penghasilan bersih yang pengemudi bawa pulang menjadi hanya sekitar Rp 100.000 per hari.
Jika pemerintah berencana menaikkan tarif ojol sebesar 8 hingga 15 persen, maka tarif per kilometer akan naik menjadi sekitar Rp 2.700 hingga Rp 2.875. Jika dihitung ulang, dengan jarak tempuh yang sama (50 km), maka pendapatan kotor harian buat pengemudi akan meningkat menjadi Rp 135.000 pada skenario kenaikan 8 persen, dan Rp 143.750 pada skenario kenaikan 15 persen. Setelah dipotong 20 persen oleh aplikator, maka pengemudi akan membawa pulang sekitar Rp 108.000 hingga Rp 115.000 per hari. Artinya, kenaikan pendapatan bersih harian para pengemudi ojol hanya berkisar antara Rp 8.000 hingga Rp 15.000.

"Di dalam kondisi sosial-ekonomi yang semakin sulit, harga kebutuhan pokok naik, biaya hidup di kota besar terus membengkak, tambahan pendapatan sebesar Rp 8.000 - Rp 15.000 per hari dari kenaikan tarif ojol memang terasa tidak signifikan," kata Muhammad Anwar.
Menurut Anwar, bagi pengemudi yang harus menanggung sendiri biaya operasional harian semisal bensin, servis motor, kuota internet, dan makan, tambahan pendapatan sejumlah itu bisa langsung “tergerus”, tanpa dirasakan menjadi peningkatan kesejahteraan yang nyata.
Bukan tak berdampak signifikan bagi pengemudi. Rencana itu dinilai justru membebani konsumen. Anwar menyebut, kebijakan kenaikan tarif itu justru bisa dilihat sebagai pengalihan beban dari aplikator ke konsumen, tanpa menyentuh akar masalah yang menjadi tuntutan pengemudi yang sejak lama meminta penurunan potongan komisi, sistem insentif yang transparan, serta perlindungan kerja layaknya sektor formal.
"Alih-alih mengatur ulang pembagian hasil atau memberlakukan batas maksimal potongan aplikator, pemerintah justru menaikkan tarif, yang pada akhirnya juga menguntungkan aplikator, karena potongan 20 persen mereka tetap dihitung dari tarif yang kini lebih tinggi," ujar Anwar.
Anwar menjelaskan, ketika tarif naik, pengemudi mendapat tambahan, tetapi secara otomatis aplikator pun kecipratan penghasilan tambahan. Misalnya, dari total pendapatan kotor Rp 135.000 (jika tarif naik 8%), aplikator langsung mendapatkan Rp 27.000 (20% potongan), lebih besar dari sebelumnya yang Rp 25.000.

Di sisi lain, kenaikan tarif ojol jelas akan menambah beban penumpang. Terutama mereka yang bergantung pada layanan ini setiap hari untuk mobilitas kerja, sekolah, atau keperluan keluarga. Di tengah kurang memadainya trasportasi publik yang nyaman, mereka cenderung akan tetap memilih ojek daring (ojol) daripada harus berdesak-desakan di transportasi massal yang padat, sering terlambat, atau rutenya tidak fleksibel.
"Ketika tarif naik, masyarakat sebenarnya berada dalam posisi sulit. Mereka terpaksa membayar lebih mahal, karena tidak ada pilihan tranportasi yang lebih baik," kata Anwar.
Jadi, kebijakan kenaikan tarif ojol jelas tak menyentuh akar persoalan utama, yaitu relasi kuasa yang timpang antara aplikator dengan pengemudi. Di dalam struktur kerja platform digital, pengemudi ditempatkan sebagai “mitra” secara formal, namun dalam praktiknya mereka tidak memiliki posisi tawar yang memadai untuk menentukan skema kerja, insentif, hingga potongan pendapatan.
"Potongan hingga 20% atau lebih, yang selama ini menjadi tuntutan utama pengemudi untuk diturunkan, justru tak tersentuh dalam regulasi ini. Seharusnya pemerintah fokus kepada persoalan tersebut dan memerbaiki relasi kuasa yang timpang antara aplikator dan pengemudi," pungkas Anwar.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!