Indonesia lahir dari semangat melawan penjajahan. Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dengan gamblang tertulis, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Kalimat tersebut adalah rangkaian kata bersejarah yang menjadi sumpah moral bangsa ini. Menjadi janji luhur yang menegaskan bahwa Indonesia tidak akan pernah berdiri di sisi penindas. Puluhan tahun berlalu, dan janji itu seakan terdengar seperti gema yang sayup, nyaris tenggelam oleh bisingnya kepentingan ekonomi global dan diplomasi basa-basi yang membungkus kemunafikan dengan label kerja sama internasional.
Di tengah genosida brutal terhadap rakyat Palestina yang dilakukan oleh penjajah Israel, muncul pertanyaan besar, mengapa Indonesia — negeri yang begitu keras menolak penjajahan — masih menjalin berbagai bentuk kerja sama dengan entitas dan perusahaan yang berakar atau berjejaring dengan penjajah Israel? Sungguh, sebagai bangsa yang lahir dari rahim perjuangan, kami tak akan rela sejengkal pun menjadi bagian dari tangan-tangan biadab pembunuh rakyat Palestina yang mulia.
Sejumlah riset menunjukkan, hubungan ekonomi dan teknologi antara Indonesia dan perusahaan-perusahaan Israel memang tidak terang-terangan, tetapi nyata adanya. Salah satunya adalah kerja sama BUMN dalam program Food Estate nasional seluas 425.000 hektare yang melibatkan Agrinoze, perusahaan teknologi agrikultur asal Israel. Sebuah ironi yang begitu mencolok, di saat bangsa Palestina kehilangan tanah karena dirampas, Indonesia justru membuka tanahnya untuk perusahaan dari tangan penjajah. Kita mengutuk perampasan tanah di Palestina, tetapi di waktu bersamaan, kita mengundang penjajah yang sama untuk mengelola lahan subur kita sendiri.

Ironi lain muncul di sektor energi. Proyek energi panas bumi di Gunung Salak — yang dikelola Star Energy Geothermal Salak — ternyata juga bekerja sama dengan Ormat Technologies, perusahaan asal Israel yang disebut sebagai pionir dalam teknologi geothermal. Kerja sama ini bahkan menjadi bagian dari kebijakan energi hijau nasional. Namun, di balik embel-embel transisi energi, proyek ini menimbulkan dampak lingkungan serius: emisi gas beracun, konflik lahan, dan hilangnya sumber penghidupan masyarakat sekitar. Maka muncul pertanyaan getir — bagaimana mungkin negeri yang menolak penjajahan justru memberi ruang bagi perusahaan dari negara penjajah untuk menginjak-injak tanahnya sendiri?
Tak berhenti di situ. Aliran modal global pun memerlihatkan arah yang mengkhawatirkan. BlackRock, salah satu manajer investasi terbesar di dunia yang memiliki portofolio di perusahaan senjata semisal Lockheed Martin dan Elbit Systems, pemasok sistem persenjataan bagi militer Israel, kini juga menanamkan modal di berbagai perusahaan strategis Indonesia. BlackRock tercatat memiliki saham di BUMN besar semisal PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dan perusahaan tambang nasional seperti PT Aneka Tambang (ANTM). Bahkan, BlackRock disebut sedang menjajaki kerja sama hilirisasi mineral dan energi baru terbarukan bersama BPI Danantara, anak perusahaan holding BUMN. Dunia mungkin memujinya sebagai langkah “smart investment” dan “green transition”, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa sebagian keuntungan dari tambang dan energi Indonesia tidak akan berbalik menjadi peluru yang menembus tubuh anak-anak di Gaza?
Pertanyaannya, apakah kita sadar bahwa sebagian arus investasi yang masuk ke negeri ini mungkin terhubung dengan entitas yang mendanai mesin perang penjajah? Bahwa di balik “investasi hijau” atau “hilirisasi energi”, ada potensi aliran keuntungan yang bisa kembali mengisi kantong korporasi global yang berjejaring dengan industri senjata penjajah Israel?
Belum lagi sektor nikel, sumber daya strategis yang tengah menjadi rebutan dunia. Indonesia memang tengah membangun kebanggaan baru lewat hilirisasi nikel, namun di sisi lain, nikel juga menjadi bahan penting untuk pembuatan senjata, kendaraan tempur, dan infrastruktur militer. Banyak perusahaan global yang membeli nikel dari Indonesia pada akhirnya menjadi pemasok bahan mentah bagi industri militer Barat yang bersenjata untuk penjajah Israel. Artinya, tanpa disadari, sumber daya alam negeri ini ikut masuk dalam rantai ekonomi yang menopang kekuatan penjajah. Jadi, mungkin benar, kita tidak menodongkan senjata ke rakyat Palestina, tetapi kita menjual logamnya.

Jika benar kemerdekaan ialah hak segala bangsa, maka sikap setengah hati terhadap Palestina adalah pengkhianatan terhadap ruh kemerdekaan kita sendiri. Saatnya Indonesia tidak hanya bersuara keras di forum internasional, tetapi juga berani membersihkan jejak investasi dan kerja sama yang menodai amanat luhur UUD 1945. Sebab, pada akhirnya, tidak ada artinya menolak penjajahan di panggung dunia, jika tangan kita masih menggenggam kontrak dan memiliki hubungan mesra dengan para penjajah.
Ada yang mungkin berkata, Indonesia terlalu kecil untuk menandingi raksasa keuangan dunia. Namun, sejarah membantahnya. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan pendukung setia perjuangan kemerdekaan Palestina, Indonesia memiliki modal moral yang tak dimiliki banyak bangsa. Menyia-nyiakannya demi suntikan modal jangka pendek adalah kesalahan yang terlalu mahal untuk ditebus.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!

