Indonesia Kini: Seakan Memotong Ranting Kecil Sambil Membiarkan Batang Busuk Tetap Berdiri

Indonesia Kini: Seakan Memotong Ranting Kecil Sambil Membiarkan Batang Busuk Tetap Berdiri
Indonesia Kini: Seakan Memotong Ranting Kecil Sambil Membiarkan Batang Busuk Tetap Berdiri/ Foto Istimewa

Akhir-akhir ini, seluruh Indonesia seakan terbakar oleh pecahnya bisul kemarahan massa yang memuncak. Kejadiannya berlangsung di berbagai titik lokasi di tanah air. Di dalam hitungan hari, demonstrasi menjalar dari Jakarta ke Surabaya, Makassar, Yogyakarta, Bandung, hingga kota-kota lain.

Aksi massal yang berlangsung sejak 25 – 30 Agustus 2025 tidak lagi sekadar unjuk rasa. Demonstrasi pun meluas setelah video tragis yang menunjukkan pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21 tahun), terlindas kendaraan Brimob di tengah bentrokan, memicu kemarahan publik yang masif dan tak terkendali. Kerusuhan menyebar. Fasilitas negara dibakar, gedung perwakilan rakyat dirusak, dan sejumlah demonstran serta warga tak berdosa menjadi korban.

Korban jiwa muncul, gedung DPRD Makassar diterjang api hingga menelan korban nyawa, pendudukan jalan-jalan utama, dan penangkapan massal. Semua itu terjadi dalam beberapa hari terakhir. Situasi ini menjadi catatan hitam baru dalam sejarah negeri kita.

Kini, negara diliputi krisis legitimasi. Parlemen berlaku tanpa malu, kabinet bertindak tanpa rasa tanggung jawab. Sementara rakyat turun ke jalan dengan dada terbuka, menuntut keadilan dan transparansi. Di saat yang sama, para elite justru sibuk memertahankan kursi kekuasaan mereka.

MPUII Keluarkan Pernyataan Sikap, Desak Presiden Ganti Kapolri
MPUII serukan semua komponen masyarakat agar menjaga ketertiban, ketenteraman, dan keamanan umum. MPUII juga mendesak Presiden Prabowo untuk segera melakukan sejumlah hal. Di antaranya adalah mengganti Kapolri karena gagal menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Dari ruang kekuasaan, yang terdengar hanyalah permintaan maaf setengah hati, evaluasi yang menggantung, tetapi tak ada keberanian untuk mengosongkan kursi jabatan. Kekuasaan seakan lebih berharga daripada nyawa dan rasa percaya yang sudah terkoyak.

Amid the storm, Presiden Prabowo Subianto mengundang 16 pimpinan ormas Islam ke kediaman pribadinya di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 30 Agustus 2025. Di dalam dialog selama tiga jam penuh itu, Prabowo menyampaikan kondisi bangsa secara mendalam dan mengajak ormas untuk meredam gejolak sosial.

Mereka pun sepakat, dalam semangat "dari hati ke hati", untuk membantu mengajak masyarakat menjadi lebih tenang dan menjaga persatuan bangsa. Sebuah langkah yang terlihat diplomatis, namun sekaligus menyisakan tanda tanya besar: Mengapa dialog baru dilakukan setelah api amarah telanjur membakar?

Tak berhenti di situ. Prabowo Subianto kemudian bertemu dengan tokoh-tokoh kunci. Di antaranya adalah Presiden ke-5 RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, dan para ketua umum partai politik. Panggung persatuan antar elite telah dipersatukan, namun kesenjangan dengan realitas jalanan tetap menganga. Sementara di ruang megah mereka bicara tentang persatuan, di jalanan rakyat masih bercampur dengan gas air mata, luka, dan teriakan.

Di dalam salah satu kutipan pidato, Presiden Prabowo menyampaikan, “Terhadap petugas yang kemarin melakukan kesalahan atau pun pelanggaran, saat ini kepolisian telah melakukan proses pemeriksaan”. 

Sejumlah Elemen Masyarakat Desak Proses Hukum Transparan atas Tewasnya Driver Ojol dalam Demonstrasi di Jakarta Pusat
Seorang pengemudi (driver) ojek online (ojol) bernama Affan Kurniawan meninggal dunia karena ditabrak dan dilindas oleh rantis (kendaraan taktis) Brimob saat berlangsungnya aksi demonstrasi pada Kamis (28/8/2025) malam.

Pilihan kata “petugas” membentuk citra kelemahan, mereduksi struktur menjadi individu. Negara tampak menafsirkan tindakan kekerasan sebagai penyimpangan dari norma, bukan sebagai akibat kebijakan sistemik. Seakan setiap gas air mata yang diluncurkan dan tembakan yang dilepaskan hanyalah kesalahan individual, bukan hasil desain represif.

Prabowo Subianto mengumumkan pencabutan beberapa kebijakan DPR. Tunjangan besar ditarik, perjalanan ke luar negeri dihentikan. Namun, rakyat membaca bahwa hal itu bukan pengorbanan melainkan pencitraan kosong yang memberi ilusi bahwa elite sedang menanggung beban, padahal akar masalahnya sama, dan rakyat tetap sengsara.

Ada janji “anggota DPR yang membuat pernyataan keliru akan dicabut”. Lihatlah secara seksama pada kalimat itu. Ada standar ganda yang disampaikan oleh Presiden. Petugas yang menembakkan gas air mata, membunuh, memukul, hanya diperiksa. Anggota DPR yang berucap salah dibuang dengan cepat. Sedangkan darah dan nyawa yang tumpah? Mereka diam saja. Tampak bahwa bahasa hukum dipakai untuk melindungi institusi, bukan rakyat. Ironisnya, kematian di tangan negara pun tetap tidak punya suara di meja legislatif.

Bahasa hukum tanpa keadilan hanya menjadi retorika kosong. Janji, penyelidikan, pernyataan — it’s words wrapped around luka rakyat. Tanpa tindakan nyata, tanpa pertanggungjawaban yang tulus. Semuanya hanya menambah luka.

Indonesia hari ini sedang berada di persimpangan tajam. Demon­strasi menjadi refleksi nyeri rakyat; panggung politik terus menari di atas ketidakpercayaan publik. Pertemuan dan pernyataan elite tanpa nyawa yang kembali dan hak yang ditebus hanya seonggok kehampaan. Rakyat menuntut bukan sekadar maaf atau evaluasi, melainkan keadilan sejati, transparansi, dan kehadiran pemimpin yang berani menanggung dampak.

Lagi-lagi negara gagal memahami rakyatnya. Di saat suara dari jalanan sudah begitu lantang, penuh luka dan kehilangan, pemerintah justru menjawab dengan bahasa yang kaku, retorika yang kosong, dan langkah-langkah yang seolah peduli namun jauh dari substansi. Rakyat menuntut keadilan, tetapi yang diberikan hanyalah pencabutan tunjangan DPR, seakan itu bisa menutup luka keluarga korban. Rakyat menuntut pertanggungjawaban aparat, tetapi yang diumumkan hanyalah “pemeriksaan petugas”, seakan tragedi kemanusiaan bisa diselesaikan dengan menyalahkan segelintir individu. Seakan memotong ranting kecil sambil membiarkan batang busuk tetap berdiri.

Semoga narasi ini memicu pertanyaan mendalam: Apa arti legitimasi? Siapa yang benar-benar mewakili suara rakyat? Dan, kapan hukum bertransformasi menjadi keadilan? Dan narasi ini adalah awal dari undangan untuk tak berhenti bertanya.

Allah Swt berfirman dalam An-Nisa ayat 58: 

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرًا 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.