Indonesia Negeri Milik Bersama

Indonesia Negeri Milik Bersama
Indonesia Negeri Milik Bersama / Photo by Harry Kessell on Unsplash

Perahu negeriku, perahu bangsaku
Jangan retak dindingmu
Semangat rakyatku, derap kaki tekadmu
Jangan terantuk batu
Tanah pertiwi anugerah Ilahi
Jangan ambil sendiri
Tanah pertiwi anugerah Ilahi
Jangan makan sendiri
Aku heran, aku heran
Satu kenyang seribu kelaparan
Aku heran, aku heran
Keserakahan diagungkan

Anda pernah mendengar penggalan lirik lagu di atas? Generasi Alpha dan Generasi Z mungkin asing dengan lagu tersebut. Namun, bagi generasi ’90-an (Generasi Y/milenial), apalagi bagi para aktivis yang akrab dengan pergulatan dinamika politik dan sosial di zaman itu, tentu lirik lagu di atas sangat akrab terdengar di telinga. “Perahu Retak”, itulah judul lagu tersebut. Liriknya ditulis oleh budayawan, Emha Ainun Najib (Cak Nun), dan dimusikalisasi oleh penyanyi berdarah Ambon kelahiran Surabaya, Franky Sahilatua, pada tahun 1995.

Lagu “Perahu Retak” yang oleh para pengamat disebut sebagai “titik didih 1990-an” adalah sebuah sarkasme yang menggambarkan keadaan Indonesia menjelang kejatuhan rezim Orde Baru. Di mana ketimpangan sosial – terutama Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) – kian merajalela pada saat itu, terutama di lingkaran penguasa Orde Baru dan kroninya.

Perahu Retak adalah sebuah metafora tentang bagaimana sebuah negara besar bernama Indonesia yang digambarkan bagaikan bahtera besar pengangkut jutaan penumpang (rakyat) dari ribuan suku bangsa Nusantara yang awalnya kokoh, namun mulai mengalami keretakan di beberapa sisi dindingnya. Dan seperti yang tertera dalam liriknya, hal itu terjadi akibat ulah segelintir manusia culas yang ingin “memakan sendiri” kekayaan negeri ini di atas jerit kelaparan jutaan rakyat lainnya.

Pesan di dalam lagu Perahu Retak sengaja penulis angkat kembali dalam tulisan ini kala memotret keadaan Indonesia saat ini. Di mana kondisi ketimpangan sosial dan kesewenang-wenangan yang dirasakan oleh rakyat di periode akhir sebelum kejatuhan rezim Orde Baru juga sedang dirasakan rakyat Indonesia saat ini.

Seperti diketahui, pasca keberhasilan reformasi menumbangkan Orde Baru yang dianggap sebagai rezim KKN terbesar oleh para pengritiknya, senyatanya keadaan Indonesia setelah itu juga masih tidak bisa lepas dari lingkaran setan korupsi. Bahkan dapat dikatakan kian parah dan lebih merata. Bahkan, Menko Polhukam Mahfud MD dalam Channel YouTube Narasi Newsroom, Kamis (10/6/2021) mengatakan, di era sekarang korupsi terjadi sudah lebih luas dibanding zaman orde baru.

Buzzer: Sebagai Instrumen Kekuasaan?
Di Indonesia, buzzer membawa ancaman serius bagi demokrasi. Mereka merusak ruang publik yang sehat, mengganggu proses deliberasi yang seharusnya didasarkan pada fakta dan argumen rasional, serta menciptakan polarisasi di masyarakat.

“Mengapa demikian? Sebab di zaman Pak Harto, KKN banyak luar biasa, tapi ingat, nggak, dulu? Nggak ada korupsi yang dilakukan DPR? Hakim? Nggak berani. Gubernur? Pemda? Bupati? Nggak berani. Korupsinya adalah korupsi terkoordinir,” ujarnya. “Sekarang, lihat ke DPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Gubernur, kepala daerah, hingga DPRD, semua korupsi sendiri-sendiri,” tambah dia.

Bahkan, boleh dikatakan, keadaan Indonesia sekarang jika dilihat dari beberapa sisi mungkin lebih parah jika dibandingkan dengan zaman Orde Baru. Jika di masa Orde Baru yang berkuasa hanya dinasti Cendana dan kroninya, kini hampir di setiap daerah di Republik ini mulai menggejala fenomena dinasti politik yang diwariskan untuk tetap menguasai daerah tersebut.

Dan hal ini kian merata sampai di pemerintahan pusat. Terbukti dengan suksesnya dinasti politik Keluarga Solo menduduki kursi-kursi penting di Republik ini, mulai dari Presiden, Walikota, Wakil Presiden terpilih, dan ketua umum sebuah partai yang ujug-ujug dikasih secara cuma-cuma. Dan suksesi politik dinasti inilah akhirnya yang membuat geger rakyat. Apalagi setelah keputusan MK dianulir secara sepihak dan mufakat oleh mayoritas anggota DPR dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, yang kemudian dianggap oleh rakyat sebagai jalan mulus melanggengkan langkah politik putra mahkota “Raja Jawa Baru”, sembari di saat yang sama menjegal peluang pihak lain yang selama ini memilih jalur oposisi. Dari sinilah kemudian tagar Peringatan Darurat berlatar belakang lambang Garuda Pancasila berwarna biru menjadi trending topic di berbagai kanal media sosial di tanah air.

Ironisnya, ketika jutaan rakyat mengutuk pemufakatan jahat para elite politik di Gedung DPR yang secara gamblang membegal keputusan MK dengan berbagai demo besar (pada 22 Agustus 2024), di Kantor DPR Pusat hingga sampai di daerah-daerah, putra mahkota Presiden dan istrinya malah pamer (Flexing) dolan ke negeri Paman Sam dengan pesawat jet pribadi sembari membagi foto stroller seharga 30 juta dan sepotong roti seharga 400.000 di akun media sosialnya.

Tentu tindakan tersebut dicap sebagai perbuatan nir-empati yang mencederai perasaan rakyat Indonesia. Sebab, di saat yang sama masih banyak rakyat Indonesia yang harus berjuang mati-matian hanya demi menyambung nafas hidupnya. Dan, di saat yang sama pula, banyak generasi muda yang harus berjuang keras hanya demi bisa menduduki posisi impian mereka di berbagai jenis pekerjaan, baik di pabrik, Perusahaan, maupun kantor institusi, dengan risiko penolakan, penjegalan, dan pengacuhan, karena tidak kenal orang dalam. Mereka berjuang bukan mengharapkan pemberian dari bapak-bapak mereka seperti yang didapatkan oleh beberapa anak penguasa di negeri ini.

Sampah Plastik dan Masa Depan Anak-Cucu Kita
Namun, peraturan-peraturan itu tidak ada artinya jika kita tidak melaksanakannya dan tanpa adanya penegakan hukum bagi para pelanggar.

Dari ketidak-pekaan anak dan menantu Presiden itulah, akhirnya istilah Tone Deaf menggema di jagad Maya. Tone Deaf yang bermakna buta nada itu kini melebar bukan hanya di bidang musik namun juga ke ranah sosial dan politik. Selain dalam konteks harfiah, kamus Cambridge mendeskripsikan tone deaf sebagai seseorang yang tidak memahami bagaimana perasaan orang lainnya tentang sesuatu, atau apa yang dibutuhkan dalam situasi tertentu.

Mengutip The Week, tone deaf memiliki makna metaforis terkait dengan perilaku sosial. Di Dalam istilah modern, tone deaf bermakna tidak berperasaan, ceroboh, bahkan kejam, terhadap sesama makhluk hidup, yang biasanya disematkan kepada golongan yang berada di lingkaran kekuasaan, baik di pemerintahan, perusahaan, dan lembaga sejenisnya.

Walau pun digunakan sebagai istilah modern, konsep tone deaf ternyata sudah ada sejak abad ke-18 di Perancis. Melalui kutipan “let them eat cake (biarkan mereka makan kue)” yang dikaitkan dengan ratu Perancis selama Revolusi Perancis, Marie-Antoinette. Dilansir dari ensiklopedia Britannica, diceritakan bahwa kutipan tersebut adalah respons sang ratu ketika diberitahu bahwa rakyatnya yang kelaparan tidak memiliki roti. Karena kue lebih mahal daripada roti, anekdot ini telah dikutip sebagai contoh ketidakpedulian Marie-Antoinette terhadap kondisi dan kehidupan sehari-hari rakyat biasa. Meski pun kalimat tersebut masih dipertanyakan, apakah benar-benar diucapkan oleh sang ratu yang akhirnya dipenggal oleh pisau Guillotine tersebut. Dan ironisnya, tingkah laku Marie Antoinette itu mirip yang dilakukan oleh menantu sang presiden tersebut. Setidaknya demikian menurut pendapat mayoritas warganet negara +62.

Menutup tulisan ini, pesan keras dari lagu Perahu Retak di atas adalah menyentil para manusia serakah yang hendak “memakan” dan “mengambil” kekayaan tanah Pertiwi untuk golongan mereka sendiri pada masa syair tersebut ditulis. Dan pesan lagu tersebut nyatanya benar-benar melintasi zaman. Sebab, di zaman ini pun upaya “memakan” dan “mengambil” Tanah Pertiwi yang dilakukan oleh para dinasti politik, keluarga penguasa, dan para investor, kian parah terjadi. Dan mirisnya, menyeret pula beberapa ormas keagamaan ke dalam lingkaran itu, lewat obral izin bagi-bagi tambang melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal, konstitusi negeri ini dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah jelas menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Bukan dikelola penguasa untuk memakmurkan keluarga, kroninya, dan golongan tertentu saja.

Ingat, Bung Karno pernah menjanjikan dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa, “...tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Dan dalam kaitan itu, Bung Hatta memberi definisi “kemakmuran rakyat”. Ialah apabila rakyat terlepas dari kemiskinan yang menyiksa dan bahaya kemiskinan yang mengancam.

Beban Ganda Kelas Menengah Berstatus “Sandwich Generation”
Pemerintah memiliki peran penting dalam mendukung kelas menengah dan generasi sandwich, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi yang berat. Ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah.

Lantas melesetkah “ramalan” Presiden Pertama tersebut, demi melihat keadaan rakyat Indonesia yang kini masih banyak berada di kubangan kemiskinan (pemiskinan?). Jika Bung Karno benar, apakah artinya Indonesia belum (benar-benar) merdeka? Lalu pertanyaannya, mengapa kemiskinan terstruktur masih tetap waris-mewaris dalam kehidupan rakyat Indonesia? 

Salah satu penyebabnya adalah karena kekayaan Indonesia yang melimpah itu dimakan sendiri oleh mereka yang punya kuasa politik dan ekonomi. Seperti pesan syair Perahu Retak di atas kepada para penguasa, seharusnya “Tanah Pertiwi Anugerah Ilahi ini jangan (kau) makan sendiri”. Sebab, negeri ini negeri milik rakyat Bersama, bukan negara milik penguasa dan keluarganya.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.