Rasanya sudah cukup untuk membahas gagalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia. Meski caci maki terhadap tokoh yang dianggap biang keladi kegagalan tersebut masih saja terjadi di media sosial. Kali ini, saya mengajak pembaca Sabili.id untuk melihat sepak bola dari sisi industri dan kemaslahatan yang diperoleh para penggemar olah raga itu.
Tiada lagi kesangsian, sepak bola adalah permainan yang paling banyak penggemarnya di seluruh dunia. Ia bukan lagi sekadar olah raga. Sepak bola bahkan telah menjadi tontonan yang paling menghibur. Dan karena peminatnya begitu banyak, sepak bola dengan mudah menjelma menjadi sebuah industri besar yang memiliki aspek komersial yang luas.
Bagi para atlit bola, menjadi pesepak bola profesional yang bisa merumput di klub-klub elit dunia adalah mimpi besar. Bukan sekadar nama dan fasilitas, bermain di klub elit dunia sama dengan mendapat pekerjaan yang menjanjikan pendapatan selangit, yang bahkan para ilmuwan dan profesional di bidang lain yang sebelumnya harus kuliah bertahun-tahun pun tak pernah bisa memimpikannya.
Bayangkan, pesepak bola sekelas Mohammed Salah (Liverpool) dikabarkan menerima gaji sebesar 33 juta euro dalam satu tahun. Angka ini jika dirupiahkan, nilainya setara Rp 539 miliar! Jika dihitung pendapatan per bulan, Mohammed Salah berpenghasilan Rp 43 miliar lebih. Itu artinya, dalam satu hari Mohammed Salah akan menerima bayaran lebih dari 1 miliar rupiah.
Fantastis, bukan? Padahal, Mohammed Salah belum termasuk kategori pemain dengan pendapatan terbesar di dunia. Di atas level dia, masih ada Mbappe, Neymar, dan tentu saja Lionel Messi serta Christiano Ronaldo, yang gajinya pasti jauh di atas Mohammed Salah. Majalah Forbes dalam rilis teranyarnya menempatkan Mohammed Salah di peringkat ke-5 pemain dengan gaji termahal di dunia. Sementara Cristiano Ronaldo (Al-Nassr) berada di urutan teratas, dengan gaji sebesar 189 euro, setara dengan 3 triliun rupiah!
Ya, bola telah menjadi industri yang mampu memutar uang miliaran dollar Amerika di setiap musimnya. Bayangkan, untuk turnamen Liga Champion Eropa, UEFA sebagai penyelenggara event harus mengeluarkan uang senilai 38 triliun lebih, untuk sekadar hadiah bagi para klub yang terlibat dalam event tersebut. Lantas berapa gaji official, berapa biaya iklan, berapa nilai hak siar? Tentu akan sangat besar sekali.
Nasib Penonton Sepak Bola
Yang membuat bisnis sepak bola begitu moncer, sesungguhnya hanya satu saja. Yakni adanya penggemar sepak bola sebagai sebuah tontonan. Penggemar bola belum tentu kalangan yang hobi main bola. Ada banyak penonton bola yang bahkan tak pernah bisa menendang bola dengan benar. Tetapi para penonton seperti ini justru kerap menjadi penggemar atau fans bola yang sangat fanatik.
Para penonton fanatik terkotak dalam berbagai pilihan tim favorit mereka masing-masing. Sehingga, dalam mengelola bisnis sepak bola, para pemilik klub bahkan harus dengan ekstra hati-hati memikirkan keberadaan para fans agar semakin loyal.
Fans harus digarap sedemikian rupa. Sebab, disadari, mereka adalah bagian paling penting dari pengembangan bisnis sepak bola. Bayangkan jika pertandingan sepak bola dimainkan tanpa penonton. Sepak bola hanya akan sekadar jadi olah raga dan hobi yang jauh dari gelimang uang dan bisnis. Tak pelak, penonton atau penggemar bola adalah elemen terpenting di balik gemerlapnya bisnis di sekitar sepak bola. Merekalah yang urunan dengan membeli tiket langsung maupun hak siar. Karena penonton ini pula, iklan berbagai produk nempel di setiap sudut lapangan bola, bahkan dalam tayangan tv yang menyiarkan langsung sebuah pertandingan sepak bola.
Atlit bola jelas mendapatkan upah dari keterampilannya mengolah si kulit bundar. Para pemilik klub diuntungkan dengan investasi dan pendapatan yang luar biasa besar dari penjualan tiket, hak siar, jual beli pemain bola, bahkan dari penjualan jersey para pemain top, dan iklan yang dibintangi para pemain tersebut. Lalu apa yang didapat para penggemar fanatik itu?
Pertanyaan itu penting kita ajukan, karena kita, tetangga kita, atau saudara kita, adalah salah satu dari para penggemar fanatik itu. Apa yang telah kita dapat? Mari kita lihat dengan seksama.
Secara materi, sudah pasti para penggemar bola tak kebagian apa pun dari setiap pertandingan yang mereka nikmati. Bahkan harus keluar uang untuk beli tiket atau menonton siaran secara langsung. Penonton tidak dapat hadiah apa pun. Penonton bahkan harus merogoh kembali kantungnya untuk membeli jersey dan pernik lain terkait pemain idolanya.
Secara emosi, para penonton akan mendapatkan rasa bangga dan perasaan bahagia jika klub pujaannya memenangi pertandingan. Namun sebaliknya, jika klub pujaannya kalah, para penonton akan terlibat dalam kesedihan, amarah, dan rasa tidak bahagia. Jadi, kegembiraan psikologis-emosional yang didapatkan oleh para penonton sesungguhnya masih sangat relatif.
Penonton, dengan menjadi penggemar atau fans sebuah klub, akan memiliki sedikit keuntungan dengan rasa bangga “seolah-olah” menjadi bagian dari klub itu secara langsung. Apa yang dibanggakan dalam konteks ini sesungguhnya amat absurd. Konyolnya lagi, ada fans bola yang siap mati untuk membela kehormatan klub yang ia dukung, jika fans dari klub lain menghina klub kebanggaannya.
Jelaslah. Sesungguhnya, para fans sepak bola tidak benar-benar mendapatkan manfaat yang riil dari kegemarannya menonton bola dan memuja klub sepak bola. Semua kebanggaan dan kebahagiaan yang ia rasakan sesungguhnya semu belaka. Kebanggaan semu itu bahkan kerap menjadi kekonyolan yang sia-sia. Sudah berapa banyak penggemar bola yang mati tanpa faedah akibat tawuran sesama pendukung klub sepak bola?
Tak Jauh dari Nasib Bola
Para penonton bola yang fanatik kerap memimpikan diri layaknya seorang pemain bola top, dengan meniru habis semua dandanan hingga gaya rambutnya. Namun mereka juga kerap tak sadar bahwa nasib mereka tak jauh beda dengan bola yang ditendang ke sana ke mari. Diperebutkan, membentur, melambung dalam ketidak-jelasan.
Ya, seperti bola. Bulat penuh tetapi kosong. Hanya berisi angin. Layaknya kepala kita yang penuh angan-angan, melayang dalam gelembung khayal. Bola bahkan tak tahu, ke gawang mana ia harus bersarang. Seperti kita, yang tak memiliki orientasi ke arah gawang kehidupan mana bola nasib ini harus disarangkan. Sampai akhirnya, bola itu kempis atau pecah dan teronggok dalam bak sampah. Tak lagi digunakan. Seperti usia kita yang kempis menuju kerentaan dan habis tanpa guna untuk sekadar memelototi pertandingan sepak bola tanpa ada apa pun yang kita peroleh atau dapatkan.
Bola bahkan seperti dunia. Kesamaan bukan sekadar pada bulatnya. Tetapi pada godaannya, kesenangannya, yang penuh tipu daya. Sehingga kita semua abai pada nikmat waktu dan tujuan essensial dari keberadaan kita di dalamnya. Ya, bola adalah dunia yang penuh pesona dan tipu daya bagi para pengagumnya. Sehingga, kesehatan dan waktu yang dianugerahkan tak termanfaatkan secara bijaksana.
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang” – HR Bukhari no. 6412
Bola adalah salah satu bentuk tipuan itu. Maka, gemarilah bola sekadarnya saja. Mari kita gunakan waktu dan kesehatan sebaik mungkin, agar “bola nasib” kita terarah menuju sarang kehidupan yang sesungguhnya. Jangan sampai pula, kita sebagai muslim bahkan harus bercerai berai karena urusan dukung mendukung klub bola. Sungguh naif dan sia-sia.
Mari belajar dari nasib bola, yang terus terombang-ambing dalam ketidak pastian. Pastikan orientasi hidup dengan berpegang pada tali agama Allah. Di sana ada petunjuk tentang gawang kehidupan yang hakiki, yang layak kita tuju, sebagai tempat untuk menyarangkan gol terindah, yang membawa kita memenangi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!