Israel memutuskan untuk menerima gencatan senjata dengan Hizbullah. Keputusan itu mengejutkan banyak pihak. Langkah itu adalah tanda kelemahan strategis, mengingat citra Israel yang selama ini dikenal sangat agresif dan tangguh. Di balik keputusan tersebut, terdapat sejumlah alasan yang memaksa Israel menyerah.
Memisahkan Front Hizbullah dengan Gaza
Salah satu alasan utama adalah upaya Israel untuk memisahkan front Hizbullah dari Gaza. Dengan mengakhiri konflik dengan Hizbullah, Israel dapat mengalihkan fokus sepenuhnya kepada Hamas di Gaza. Namun, strategi itu menunjukkan kelemahan Israel dalam menghadapi perang di dua front sekaligus.
Ketidakmampuan di Medan Darat
Kegagalan Israel di medan darat di Lebanon menggambarkan situasi yang serupa dengan yang mereka alami di Gaza. Meski pun memiliki keunggulan udara, pasukan Israel kesulitan mencapai kemenangan di darat. Kondisi ini menegaskan keterbatasan militer Israel yang selama ini ditutupi dengan serangan udara masif.
Krisis Logistik dan Kekurangan Amunisi
Israel juga menghadapi kekurangan senjata dan amunisi. Selama 15 bulan terakhir, militer Israel menghabiskan stok senjatanya, termasuk dari gudang sekutunya, dalam serangan besar-besaran di Gaza. Jumlah amunisi yang digunakan bahkan setara dengan yang digunakan dalam perang dunia. Hal ini menunjukkan lemahnya perencanaan logistik Israel.
Lumpuhnya Kehidupan dan Ekonomi
Serangan roket yang terus menghujani Israel dari berbagai arah menyebabkan kehidupan di negara tersebut nyaris terhenti. Ekonomi lumpuh dan masyarakat menghadapi ketakutan terus-menerus. Di dalam kondisi ini, moral pasukan penjajah juga runtuh. Ribuan tentara menderita trauma psikologis dan tak mampu melanjutkan pertempuran.
Tekanan Internal dan Konflik Politik
Tekanan dari institusi militer kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menjadi faktor lain di balik gencatan senjata ini. Konflik internal antara Netanyahu dengan badan intelijen Shin Bet dan para pemimpin militer semakin memerburuk situasi. Perang ini menjadi yang terpanjang dan tersulit dalam sejarah Israel, tetapi tetap gagal mencapai tujuan utamanya, termasuk membebaskan warga mereka yang menjadi tawanan.
Ambisi Politik Netanyahu
Di sisi lain, Netanyahu memiliki ambisi politik untuk memerbaiki hubungan dengan negara-negara Arab. Ia berharap dapat memulihkan rencana normalisasi dengan negara-negara yang sebelumnya mendukung perjanjian damai. Netanyahu juga menggantungkan harapan kepada pemerintahan Trump untuk merancang ulang peta Timur Tengah demi memastikan dominasi Israel.
Meski memiliki rencana besar, Israel kini berada di ambang kehancuran. Konflik internal ditambah dengan tekanan eksternal membuat negara itu rapuh. Para analis dan penulis Israel sendiri menyatakan bahwa dukungan internasional, termasuk dari Trump, tidak akan cukup untuk menyelamatkan Israel dari krisis ini.
(Sumber: Ahmedmansour.com)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!