Awal tahun 1991 menjadi semangat baru bagi Mahfuzoh untuk berangkat ke sekolah. Kala itu ia masuk di semester genap, setelah liburan akhir semester dan tahun baru. Seperti biasa, ia berangkat lebih pagi, karena jarak dari rumah menuju sekolahnya di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bekasi cukup jauh.
Mahfuzoh menatap lagi ke cermin. Seragam sekolahnya kali ini berbeda. Roknya panjang dan kepala sudah berbalut jilbab sampai menutupi dada.
“Bismillah,” ucapnya pelan.
Penuh keyakinan dan percaya diri, ia melangkah menuju sekolah. Melewati gerbang sekolah, Mahfuzoh terus masuk ke kelasnya. Hanya dia sendiri yang mengenakan seragam berjilbab Ketika itu. Decak kagum bercampur heran teman-teman sekelas menyambut kedatangannya. Bahkan seisi sekolah memandang heran terhadap seragam yang dikenakan Mahfuzoh.
Peristiwa itu masih melekat kuat di ingatan Ika Karlina, salah satu pelaku sejarah siswi pejuang jilbab di sekolah itu. Ia berkisah, semula situasinya aman–aman saja. Maka, selang beberapa hari kemudian terhitung ada 18 siswi yang lantas mengenakan seragam berjilbab. Sebut saja dari angkatan 1991 ada Anna Rozaliyanti, Kanti Sasanti, Witri Esti, Herlina Rura AS, Ganti Endang P, Annisa, Sri Lestari, dan Lulu Lely Soraya.
“Dari angkatan 1992 ada Ai Kurniasari (alm), Nurviani, Utami Tri Wahyuni, Mahfuzoh, Dian Wardiana, Endang P, Neni Sholihat, Isniyati S, dan Sri Mulyani. Belakangan satu-persatu siswi lain juga ikut berjilbab,” tutur Ika Karlina.
Namun, tak lama berselang, pihak sekolah menjadi kaget bercampur panik melihat realitas siswi-siswi didik mereka mengenakan jilbab. Padahal, soal prestasi para siswi berjilbab di atas tak perlu diragukan lagi. Mereka adalah para juara kelas. Bahkan ada yang masuk peringkat juara umum.
Baca Juga : Memperjuangkan Hak Muslimah Lewat Peringatan Hari Solidaritas Hijab Internasional
Pihak sekolah bertanya-tanya, apa gerangan yang dilakukan para siswi selama masa liburan lalu? Timbul pro-kontra di kalangan guru. Kepala sekolah dan beberapa orang guru berpedoman pada Undang-undang Pendidikan Nasional, yang melarang siswi berjilbab, namun tanpa penjelasan yang tepat tentang pasal dan ayat yang dilanggar. Yang pasti, para siswi berjilbab lantas tak diperkenankan mengikuti pelajaran. Sementara guru-guru yang pro jilbab, hanya bisa sebatas menyemangati. Mereka tidak bisa berbuat lebih jauh dan tetap memberi ruang untuk belajar. Belakangan, entah karena tekanan dari mana, beberapa guru yang semula pro itu justru berbalik dan ikut melarang.
Selama satu semester, para pejuang jilbab itu harus bolak-balik dipanggil masuk ke ruang Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Berdebat dengan guru BP. Sedikit membuahkan hasil, ada guru BP yang bersimpati. Alih-alih memarahi, ia malah men-support para siswi.
Ika berkisah, saat itu teman-teman sudah mencoba berdialog, bahkan berdebat, soal jilbab.
“Kami berpedoman hukum yang paling tinggi, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Pasal 29 Ayat (2) menyebut, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan kepercayaannya,” tutur Ika yang kini aktivitas kesehariannya adalah mengajar privat matematika dan IPA.
Namun, pihak sekolah tidak menggubris. Mereka tetap melarang. Yang terjadi berikutnya, siswi-siswi berjilbab itu sedikit terpecah. Ada yang tidak ingin mengambil risiko dan memilih berkompromi. Berangkat dari rumah mereka mengenakan jilbab, sampai di kelas jilbab dibuka, selesai sekolah jilbab dipakai kembali. Namun, ada yang tetap konsisten tidak membuka jilbab, apa pun risikonya.
Benar saja. Semua siswi-siswi “nakal” yang tidak mau membuka jilbab dilarang masuk kelas untuk mengikuti seluruh pelajaran. Akhirnya, Masjid An Naba menjadi tempat pelarian. Tak ada kegiatan lain yang dapat dilakukan selain shalat dan membaca Al Qur’an. Sempat para siswi berjilbab ini disatukan oleh pihak sekolah dalam satu kelas, padahal mereka dari beragam jurusan.
Kata Ika, kondisi tersebut berlangsung selama beberapa minggu. “Berikutnya, kakak kelas terutama ikhwan angkatan ’90 yang waktu itu kelas 3, berinisiatif mengajari kami. Terutama untuk pelajaran eksakta, seperti matematika, fisika dan kimia,” kenangnya.
Qodarullah temen-temen siswa kelas 1 ketika itu masuk siang, sedangkan kelas 2 dan 3 masuk pagi. Maka, kakak-kakak kelas dapat mengajari mereka pelajaran yang dikhawatirkan akan tertinggal. Supaya lebih terkonsentrasi, mereka belajar di perpustakaan dengan dibimbing oleh ikhwan kelas 3. Ikhwan yang paling berperan ketika itu terutama adalah LM Budiman.
Rupanya masih ada pula guru yang berbaik hati. Ia bersedia mengajar di luar jam pelajaran. “Jika ada ulangan di kelas, kami mengejar guru sambil mengemis agar bisa mengikuti ulangan susulan. Namun, tidak semua guru mau memberi ulangan susulan. Hanya guru yang bersimpati kepada kami saja,” papar Ika Karlina, dengan mata berkaca-kaca mengingat masa lalu yang mengesankan.
Satu semester lamanya kondisi tersebut berlangsung. Teman-teman aktivis Kerohanian Islam dan Pengurus Masjid An Naba SMAN 1 Bekasi sangat mendukung tekad untuk tetap berjilbab di sekolah. Mereka selalu menguatkan agar tekad para siswi itu tidak tergoyahkan. Terutama ketika berada di momen berkumpul di majelis ta'lim.
Baca Juga : Ketika Memakai Jilbab pun Sulit
Ternyata tantangan tidak hanya datang dari sekolah. Sebab, ternyata tidak semua orang tua mendukung anaknya mengenakan jilbab ke sekolah. Ada yang pindah sekolah karena tidak kuat mempertaruhkan nilai raport merah di hadapan orang tua. Bahkan, ada yang sampai dimarahi oleh orang tuanya. Sedangkan mereka adalah para siswi gemilang di sekolahnya.
“Ujian yang paling berat adalah ketika orang tua tidak mendukung kami. Akhirnya beberapa siswi mundur, melepas kembali jilbabnya,” kenang Ika.
Hanya 18 siswi pejuang jilbab di atas itulah yang bertahan. Walaupun ada di antaranya yang harus berhadapan dengan orang tua yang memberikan ancaman dan melakukan pemukulan. Mereka tetap bertahan. Merekalah Para Srikandi Pejuang Jilbab.
Untuk menghibur diri di tempat ta’lim, tepatnya di rumah orang tua Kanda Djunaedi yang dekat dengan sekolah, mereka saling bertukar cerita mengenai ujian dan tantangan di rumah dan saling menguatkan satu sama lain. Di sana, dengan dimentori Kanda Bambang Pribadi, mereka merasa beban menjadi lebih ringan. Terasa sekali ikatan ukhuwah di antara mereka.
Para pejuang jilbab SMAN 1 Bekasi itu terus bergerak di tengah suasana penuh tekanan fisik dan mental yang begitu dahsyat di sekolah dan di rumah. Demi tegaknya jilbab bagi wanita Indonesia, terutama pelajar, para Srikandi Pejuang Jilbab ini, bersama teman-teman ikhwannya ditambah ratusan santri dari Pondok Pesantren At Taqwa Bekasi, memperoleh kesempatan untuk berbaur bersama ratusan pelajar Jakarta, dengan nyali besar dan berani, melakukan unjuk rasa di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (DEPDIKBUD RI) di Senayan, dan Kantor Mahkamah Agung (MA) RI yang gedungnya persis bersebelahan dengan Istana Kepresidenan RI.
Tidak macam-macam tuntutan para pelajar waktu itu. Hanya minta dibebaskan memakai jilbab di sekolah. Itu saja.
Hari-hari penuh penantian dan harapan tentang hasil dari unjuk rasa pelajar terasa begitu lama. Ketika masih dalam suasana krisis belajar saat itu, para Srikandi itu tiba-tiba sayup-sayup mendengar, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional telah direvisi. Intinya, seluruh siswi boleh mengenakan Jilbab di sekolah dan rok bagi siswi berjilbab disesuaikan, memanjang sampai mata kaki.
Meledaklah kegembiraan siswi-siswi muslim di seluruh Indonesia ketika itu. Mereka bersujud syukur kepada Allah sang pemilik hati-hati yang dipenuhi kebahagiaan. Di Bekasi, Ormas Pemuda dan Pelajar Islam se-Bekasi (waktu itu masih Kabupaten Bekasi, red) pun meluapkan kebahagiaannya dengan mengadakan sujud syukur di Gelanggang Olah Raga Patriot Candrabhaga, Bekasi.
Baca Juga : Abdi Rahmat, M.Si (Sosiolog UNJ): “Banyak Muslimah Berhijab Sebatas untuk Identitas Sosial”
Nah, kini rasanya perlu diketahui, siapa yang telah menggojlog para Srikandi Pejuang Jilbab SMA 1 Bekasi ini, sampai berani berhadapan dengan guru yang menentang mereka dan sabar menghadapi ujian dari para orang tua yang melarang bahkan memukul agar anak-anak melepas jilbab. Usut punya usut, rupanya mereka adalah para peserta Leadership Basic Training (LBT) yang diselenggarakan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII), saat libur panjang Akhir Semester 1991 dan Tahun Baru 1992, yang diadakan di daerah Pancoran dan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Ika Karlina sendiri adalah peserta LBT di Pancoran. Dari penuturan dia, kakak kelasnya di SMAN 1 Bekasi, sepengetahuannya diajak mengikuti Pesantren Kilat waktu itu.
“Saya bertanya-tanya, ‘Kok Pesantren Kilat ketat amat?’ Sampai ada panitia yang bilang, ‘Kalau mau jajan dari sekarang, karena nanti kalau kegiatan sudah berlangsung, dilarang’,” tutur Ika.
Tetapi justru dari LBT inilah, Ika dan teman-teman merasa ada kekuatan mental yang luar biasa dalam menjalankan ajaran Islam, terutama dalam menghadapi kasus Jilbab ini, seperti uraian di atas. Ke-18 orang Srikandi Pejuang Jilbab itu kini sudah menjalani kehidupan sendiri dengan profesi masing-masing. Ada yang jadi Guru, Dosen, Pegawai Negeri, aktif di partai politik, dan lain-lain. Semoga mental mereka tetap berada di jalan dakwah Islam.
Insya Allah apa yang mereka perjuangkan semasa di SMA dulu, menjadi amal jariyah yang tidak putus sampai hari kiamat kelak, seiring merebaknya kesadaran muslimah kini untuk mengenakan jilbab. Betapa tidak? Ini adalah titik tolak munculnya kesadaran berjilbab di kalangan wanita muslim di era ‘90-an. Sebelumnya, Jilbab adalah sesuatu yang dihindari, bahkan dipandang sebelah mata, untuk dikenakan.
Kini kesadaraan akan wajibnya berjilbab sudah meluas. Mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), sampai Perkuliahan, kian banyak muslimah yang merasa belum lengkap menuju sekolah atau kampus tanpa mengenakan Jilbab. Dan di tanggal 4 September yang merupakan Hari Solidaritas Hijab Internasional, baguslah untuk mengingatkan kembali akan kewajiban menutup aurat. Iya, kan, Srikandi?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!