Di tengah derasnya arus berita yang penuh keluhan dan keputusasaan, selalu ada cerita yang jadi pengecualian. Inilah sebuah kisah tentang anak muda Muslim Indonesia yang menolak diam, memilih menghadirkan solusi alih-alih sekadar mengeluh. Dari sekolah, pesantren, hingga komunitas kecil di pelosok, lahirlah berbagai inovasi untuk memberi manfaat.
Salah satu kisah yang paling banyak diperbincangkan datang dari sebuah sekolah Islam di Bogor. Sekelompok siswi SMA Islam Terpadu Al-Kahfi menciptakan OleraCare, produk pantyliner inovatif yang mampu mendeteksi tingkat keasaman (pH) dan indikasi kesehatan area kewanitaan. Hebatnya, alat ini dibuat menggunakan bahan alami dari ekstrak kubis ungu — pigmen antosianin yang dapat berubah warna sesuai kadar keasaman.
Ide itu lahir dari kepedulian sederhana karena banyak perempuan muda enggan membicarakan masalah kesehatan reproduksi. Tim siswi itu kemudian ingin menghadirkan alat yang bisa membantu tanpa membuat canggung. Dari laboratorium kecil sekolah, uji warna dilakukan, hasil dicatat, hingga akhirnya terciptalah produk yang diakui di ajang inovasi internasional.
Salah satu anggota tim mengatakan, “Kami ingin perempuan bisa mengenali tubuhnya sendiri dengan cara yang mudah dan halal.”
Kalimat sederhana itu merangkum semangat inovasi tersebut: Menjadikan sains sebagai jalan dakwah, bukan sekadar proyek sekolah.

Kisah OleraCare hanyalah satu dari banyak contoh tentang bagaimana semangat Muslim muda bergerak tanpa menunggu perintah. Di banyak tempat, terutama di pesantren, semangat serupa mulai tumbuh dengan wajah yang berbeda, yaitu digitalisasi.
Dulu, pesantren sering dianggap lamban menghadapi perubahan teknologi. Kini, justru dari balik tembok pesantren lahir gerakan “santri digital” — generasi yang akrab dengan coding, robotik, dan aplikasi daring. Banyak pondok pesantren telah memiliki sistem administrasi berbasis web, platform e-learning, bahkan kelas teknologi dasar untuk santri.
Pesantren Tebuireng, misalnya, sudah lama mengembangkan sistem data santri digital. Di Jawa Barat, sejumlah pesantren bekerja sama dengan Telkom dan Kementerian Agama untuk menciptakan “Pesantren Go Digital”, sebuah ekosistem yang memungkinkan pengelolaan kurikulum, keuangan, hingga komunikasi wali santri secara daring.
Di tengah dunia yang serba cepat, digitalisasi membantu pesantren tetap relevan dan efisien tanpa kehilangan ruh keilmuannya. Inovasi yang tumbuh di lingkungan pesantren membuktikan bahwa Islam dan teknologi bukan dua kutub yang berlawanan. Ketika niatnya benar, teknologi justru menjadi alat dakwah dan pemberdayaan.
Pemuda Muslim Indonesia mulai menemukan jalannya sendiri untuk berkontribusi. Mereka tidak menunggu perubahan datang dari luar, tetapi membangunnya dari dalam komunitasnya sendiri. Tentu, tantangan masih banyak. Dukungan pendanaan dan bimbingan teknis masih terbatas, akses internet belum merata, dan validasi ilmiah untuk produk kesehatan atau teknologi masih perlu diperkuat. Namun, pola yang muncul sudah sangat menjanjikan: Ide-ide kecil yang lahir dari empati dan semangat untuk memberi manfaat, pelan tetapi pasti, mulai menggerakkan perubahan sosial di akar rumput.

Generasi ini bukan hanya penerus, tetapi juga pembuka jalan. Dari tangan-tangan muda itu, inovasi tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang jauh, mahal, atau asing. Inovasi menjadi wujud cinta — kepada Allah, kepada ilmu, dan kepada sesama manusia.
Dan mungkin, di tengah kabar buruk yang setiap hari berseliweran di media massa, justru dari tangan-tangan muda yang beriman inilah masa depan Indonesia tumbuh. Pelan, tetapi pasti, dan penuh harapan.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!