Jangan Asal Netral! Bijaklah Sikapi Perang Iran-Israel

Jangan Asal Netral! Bijaklah Sikapi Perang Iran-Israel
Jangan Asal Netral! Bijaklah Sikapi Perang Iran-Israel / Foto REUTERS

Konflik di antara Iran dan penjajah Israel kian memanas setelah rudal milik penjajah menghantam fasilitas nuklir dan menewaskan perwira militer Iran pada Jumat, 13 Juni 2025. Penjajah Israel mengeklaim bahwa serangan tersebut bertujuan untuk menghentikan proyek nuklir yang tengah dikembangkan Iran.

Iran tak menunggu lama untuk membalas serangan tersebut. Ratusan rudal diluncurkan ke wilayah Israel. Sistem pertahanan Iron Dome milik Israel tak mampu menahan seluruh serangan, sehingga sejumlah rudal pun menghantam permukiman penduduk ilegal.

Di dalam waktu kurang dari sepuluh hari, Amerika Serikat (AS) turun tangan mengintervensi konflik tersebut. Tak tanggung-tanggung, jika sebelumnya hanya mendukung Israel dengan dana dan senjata, kini AS turut melancarkan serangan militer langsung.

Setidaknya ada dua indikasi yang menjelaskan keterlibatan AS dalam eskalasi politik ini. Pertama, Israel kian melemah akibat keteguhan perlawanan para pejuang Palestina. Kedua, konflik tersebut sangat strategis bagi Amerika Serikat.

AS memang dikenal dengan standar gandanya, sikap playing victim, dan propaganda politik. Setelah intervensi militer, AS segera mengusulkan gencatan senjata antara Iran dan Israel. Namun, hanya berselang sekitar dua jam, kesepakatan tersebut dilanggar oleh pihak Iran.

Saat Rakyat Iran Bersatu Melawan Israel
Agresi Israel yang didukung Amerika Serikat, sejatinya berniat mengembalikan Iran ke masa monarki. Untuk saat ini, tampaknya usaha itu tak mendapat dukungan dari mayoritas warga Iran. Kini, faktanya, rakyat Iran bersatu melawan Israel. Baik lewat senjata maupun “pena” dan media.

Bagaimana Sikap Kita?

Setidaknya ada empat pilihan sikap dalam merespons konflik Iran–Israel. Pertama, mendukung Iran, baik sepenuhnya maupun sebagian. Kedua, mendukung Israel, baik sepenuhnya maupun sebagian. Ketiga, mendukung kedua belah pihak (dengan harapan konflik segera usai dan keduanya sama-sama dirugikan). Keempat, tidak memihak keduanya (bersikap apatis).

Mari kita mulai dari pilihan keempat. Sikap apatis terhadap isu geopolitik adalah keputusan yang tidak bijak. Perubahan eskalasi politik global bisa berdampak langsung terhadap kondisi dalam negeri. Melek geopolitik menjadi penting dalam menentukan arah kebijakan yang tepat.

Beralih ke pilihan ketiga. Sebagian orang menganggapnya pilihan paling bijak. Namun, bayangkan jika Iran-lah yang paling dirugikan dalam konflik ini, maka Israel akan semakin leluasa melakukan genosida terhadap Palestina. Dapatkah logika ini dibalik? Jika Iran yang unggul, apakah mereka akan melakukan genosida terhadap Palestina? Tidak. Sejak awal, Iran tidak memiliki kepentingan langsung dalam menguasai wilayah Palestina.

Selanjutnya, kita tak perlu menjadi seorang muslim untuk menolak pilihan kedua. Israel telah terbukti melakukan pembantaian, pengkhianatan, dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap bangsa Palestina. Maka, tidak ada alasan untuk mendukung Israel, baik secara penuh maupun sebagian. Titik.

Opsi terakhir: Mendukung Iran secara penuh atau sebagian. Jika ditilik dari sejarah, Iran merupakan bagian dari peradaban besar: Persia. Pada tahun 1979, Revolusi Iran meletus. Raja Mohammad Reza Pahlavi digulingkan, dan kekuasaan berpindah ke tangan Ruhollah Khomeini, ayah dari Ayatullah Ali Khamenei. Jika sebelumnya Dinasti Pahlavi cenderung pro-Barat, maka era Khomeini membawa semangat anti-Barat dan anti-penjajahan.

Intifada Akademik: Saatnya Kampus Berpihak kepada Kemanusiaan
Lebih dari 36.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, terbunuh dalam agresi militer Israel sejak Oktober 2023. Sistem kekerasan itu salah satunya ditopang dana, teknologi, dan legitimasi dari institusi-institusi akademik. Hal itu memicu gelombang Intifada Akademik.

Pada 2011, Iran mengintervensi konflik Suriah dan mendukung rezim Bashar Assad dengan dana dan militer dalam menekan kelompok muslim Sunni. Sejarah mencatat banyak tindakan keras yang dilakukan Syiah terhadap kelompok Sunni.

Pada Oktober 2023, pecah peristiwa Thufan Al-Aqsa. Awalnya, Iran tidak terlibat langsung dalam konflik antara Israel dan Palestina. Namun, pada April 2024, Israel menyerang kedutaan besar Iran di Damaskus, yang menewaskan sejumlah pejabat. Iran pun membalas dengan meluncurkan rudal ke wilayah Israel.

Keterlibatan Iran dalam konflik menimbulkan dampak positif dan negatif dari berbagai sisi. Pada Desember 2024, rezim Bashar Assad runtuh dan digantikan oleh kekuatan oposisi muslim Sunni. Salah satu penyebabnya adalah melemahnya dukungan Iran terhadap Bashar Assad akibat fokus ke konflik melawan Israel.

Lantas, apakah mendukung Iran merupakan pilihan paling tepat? Tidak perlu mendukung negara, akidah, atau sejarahnya. Cukup dukung tindakan mereka dalam menyerang penjajah Israel. Inilah pilihan paling bijak dan strategis yang memberikan maslahat besar untuk saat ini. Salah satu dampak positif yang nyata dari konflik antara Iran dan Israel adalah runtuhnya rezim Bashar Assad.

Lalu, bagaimana jika Iran menang dan menyerang Makkah atau Madinah setelahnya? Atau jika Perang Dunia Ketiga pecah? Itu semua masih asumsi. Namun, satu hal yang pasti dan terbukti adalah: Jika Israel menang, pembantaian terhadap rakyat Palestina akan terus terjadi, dan Masjid Al-Aqsa belum akan kembali ke tangan umat Islam.

Maka, bersikaplah dengan bijak.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.