Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, HM Jusuf Kalla, mengatakan, oposisi adalah sebuah kecelakaan bagi partai politik. Sebab, tidak ada partai politik yang didirikan untuk tujuan mau menjadi oposisi. Tetapi, karena partai politik yang bersangkutan tidak menang dalam pemilihan umum, maka ia menjadi oposisi.
“Oposisi bagi partai politik adalah kecelakaan. Oposisi (adalah) suatu bagian daripada sistem, bahwa ada yang mengontrol. Oposisi itu adalah kecelakaan, karena (partai politik itu) tidak menang maka jadi oposisi,” ujar Jusuf Kalla.
Hal itu dikatakan Jusuf Kalla saat hadir sebagai pembicara dalam acara diskusi bertajuk Election Talk #4, yang diselenggarakan FISIP UI di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis 7 maret 2024. Diskusi yang mengangkat tema “Konsolidasi untuk Demokrasi Pasca Pemilu 2024: Oposisi atau Koalisi” itu dimulai pukul 14.00 WIB. Selain Jusuf Kalla, hadir pula sebagai pembicara Hasto Kristiyanto (Sekjen DPP PDI Perjuangan), Irma Suryani (Anggota DPR RI Fraksi Nasdem), Bivitri Susanti (Pakar Hukum Tata Negara), Emir Chairullah (Wartawan dan Dosen Hubungan Internasional FISIP UI), Irwansyah (Dosen Ilmu Politik FISIP UI).
Dekan FISIP UI Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto hadir dalam acara tersebut. Acara diskusi dihadiri pula oleh Zayyid Suthan (Ketua BEM FISIP UI), Muhammad Rihandi (Ketua HMIP FISIP UI).
“Negara yang besar ini, sistem demokrasi-lah yang cocok. Walau pun di beberapa negara tidak mengunakan sistem demokrasi, misalnya di Timur Tengah hampir semua tidak mengunakan sistem demokrasi. Sedangkan Singapura memiliki demokrasi yang berbeda dengan kita,” kata Jusuf Kalla.
Baca juga: Massa Aksi “Tolak Pemilu Curang dan Kejahatan Pemilu” Serukan Makzulkan Jokowi
Jusuf menyebut, dalam sejarah Republik Indonesia, kita menjalankan sistem demokrasi bermacam-macam. Misalnya, Bung Karno menerapkan demokrasi terpimpin, dan di zaman Pak Harto dengan demokrasi Pancasila. Pada intinya, demokrasi yang ada sekarang ini lebih terbuka. Namun, ia menekankan, negara kita ini membutuhkan balance, koreksi, peringatan, yang dilakukan oleh oposisi.
Jusuf Kalla mengatakan, semua partai politik itu ingin punya kewenangan dan kekuasaan. Tak ada yang sejak awal berkeinginan menjadi oposisi.
“Jadi oposisi itu kecelakaan. Jadi, semua (partai politik) itu ingin jadi atau amankan partainya. Maka dia harus ada di pemerintahan. Karena itu, kita menginginkan sistem dari gabungan dari berbagai pengalaman,” katanya.
Yang menarik, Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu lalu menyoroti pelaksanaan Pemilu 2024. Jusuf Kalla menegaskan, pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia, di antara seluruh kontestasi politik Pemilihan Umum sejak tahun 1955.
“Kita baru saja melewati suatu cara pemilu demokratis, yang banyak dibilang bahwa ini harus dikoreksi dan perlu dievaluasi. Sehingga, bagi saya ini adalah pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia semenjak tahun 1955,” tegasnya.
Pria kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942, itu mengatakan, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat untuk rakyat. Ia lantas membeberkan, banyak permasalahan yang terjadi sehingga pemilu 2024 dapat dikatakan menjadi pelaksanaan sistem demokrasi terburuk.
“Pemilu yang kemudian diatur oleh minoritas, artinya orang yang mampu, orang pemerintahan, orang yang punya uang. Masalahnya, apabila sistem ini jadi suatu kebiasaan, maka kita akan kembali ke zaman otoriter. Itu saja masalahnya, sebenarnya,” ucapnya.
Baca juga: Menyoal Dugaan Kecurangan, Pernyataan Penolakan Hasil Pilpres 2024 Mencuat
Menurut dia, kita melihat bahwa berdasarkan berbagai pandangan, kemarahan, dan protes yang dikarenakan banyak kecurangan, menyebabkan munculnya kesimpulan bahwa demokrasi itu tidak berjalan sebagaimana yang kita harapkan.
“Jika demokrasi mahal, maka orang yang menjadi pemimpin adalah orang yang punya uang. Ini yang kita ingin hindari. Gabungan dari semua itu menyebabkan adanya demokrasi yang kita harapkan dan dambakan menjauh, (karena) suara rakyat menjadi terbeli,” ujarnya.
Tentang dugaan kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilu 2024, Jusuf Kalla mengatakan, siapapun pemenangnya akan menjadi pemerintah. Sehingga, banyak cara dilakukan untuk menang. Dana bansos yang besar termasuk di dalamnya.
“Solusi yang terbaik adalah mengklarifikasi. Gunakan hak angket. Jangan kita merusak negara ini dengan (menempuh) cara lain. Harus mengklarifikasi. Kalau salah, katakan salah. Kalau benar, katakan benar. Itu untuk memasuki kembali ke jalan konstitusi. Siapa pun tidak ingin (kekerasan) menjadi penyelesaian seperti tahun ‘98,” tuturnya.
Dugaan kecurangan berlanjut ke proses penghitungan. Pemilu menggunakan hitungan secara manual, memakan waktu lama. Memakai komputer, salah pula. Akhirnya menimbulkan bahaya besar dan banyak petugas yang meninggal dunia.
“Kalau krisis politik saja, maka kita selesaikan dengan politik, bisa. Kalau krisis ekonomi, kita selesaikan dengan ekonomi. Tetapi kalau bergabung, pada waktu yang sama, itulah masalahnya sekarang,” ujarnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!