Kapak untuk Namrud dan Berhala di Hati Kita
Masih dalam semangat Idul Adha, ada pantasnya kita simak ulang kisah epik Nabi Ibrahim menghancurkan berhala kaumnya.
Ibrahim diakui sebagai bapak monoteisme oleh agama-agama samawi. Bagi umat Islam, Ibrahim AS adalah simbol sikap anti kemusyrikan. Ia adalah pribadi yang hanif-lurus dan hanya tunduk patuh kepada ketentuan Allah ﷻ.
Menenteng kapak, Ibrahim AS menuju pusat kemusyrikan bangsanya. Sesampai di pelataran kuil terbesar yang tengah sepi, Ibrahim AS masuk ke kuil tersebut dengan satu niat yang telah bulat. Yaitu menghancurkan berhala-berhala yang menjadi sesembahan kaumnya!
Sungguh dahsyat! Energi tauhid bersinergi dengan energi Ibrahim muda yang memiliki visi perubahan sosial. Pembantaian atas ilah kaum tersebut pun tak terelakkan. Sesembahan yang memenuhi kuil pemujaan di pusat kerajaan dibuat porak poranda, kemudian hancur dalam tebasan kapak Ibrahim. Berhala yang disembah dan dipuja itu tak berdaya dalam cincangan kapak. Mungkin inilah kisah pembantaian Tuhan terbesar dalam sejarah!
Ibrahim sungguh bernyali. Ibrahim sungguh visioner. Ibrahim sungguh pribadi yang hanif. Tindakan Ibrahim benar-benar subversi menentang langsung kekuasaan tepat di jantung sang rezim. Jika Tuhan dari rezim tersebut mampu ia tumbangkan, maka kekuasaan yang diikat oleh spiritualitas paganis itu dengan sendirinya akan mudah dirobohkan. Ya, dengan tindakannya itu Ibrahim sekaligus telah mengalahkan logika kekuasaan dan legitimasi yang diambil dari tuhan-tuhan palsu.
Ibrahim tak kuasa memberi hidayah kepada kaum dan penguasanya. Tetapi Ibrahim berhasil menunjukkan betapa bodoh kaum tersebut dan betapa lemahnya sesembahan mereka. Rezim bodoh yang kalah logika memang tinggal menyisakan kekuasaannya. Ibrahim diberangus. Layaknya lembar-lembar dokumen kebenaran yang dapat merobohkan kekuasaan lalim, Ibrahim pun dibakar.
Namun, pribadi yang telah menyerahkan diri kepada Tuhan yang otentik Allah ﷻ serta berjuang meninggikan kalimatnya; mencegah kemunkaran dan menyeru kepada kemakrufan, sesungguhnya dalam garansi dan perlindungan Allah secara langsung. Ibrahim pun gagal diarang-abukan.
Baca juga: Kebijakan Kontroversial dan Kegelisahan di Ujung Jabatan
“Qulna ya naru kụni bardaw wa salaman 'ala ibrahim”. “Kami berfirman: ‘Hai api, menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim’.” – QS. Al-Anbiya:69
Api yang memiliki karakter panas membakar menjadi dingin, tunduk kepada seruan Allah sesembahan Ibrahim AS. Drama kekuasaan yang terpampang nyata di depan sang rezim dan seluruh rakyat negeri itu. Betapa berkuasanya Allah sesembahan Ibrahim yang mampu menyelamatkan dia dari kobaran api!
Apakah sang rezim bisa selamat dari api yang telah ia kobarkan sendiri, seandainya ia yang dicemplungkan ke atas kobaran api tersebut? Watak rezim yang jahil selalu sama dari waktu ke waktu; tak pernah mampu menjinakkan makar yang ia buat sendiri, bahkan kerap takut jika makar tersebut justru menjadi ancaman tak terduga atas kekuasaannya sendiri.
Namrud sang tiran tahu persis, bahwa ia tak mungkin meminta pertolongan kepada sesembahan-sesembahan kenegaraan yang telah ia gagas, ia lembagakan, dan ia bangun citra sakralitasnya untuk tujuan pembodohan dan loyalitas buta dari para pendukungnya. Namrud tahu dengan sebenarnya semua sesembahan itu adalah tipu daya demi kelanggengan kekuasaan.
Saat ia lihat Ibrahim mampu mentas dari kobaran api yang sangat besar itu, sesungguh Namrud insyaf sepenuhnya bahwa ia berhadapan dengan mukjizat dan kebenaran Allah ﷻ. Tetapi masalah para tiran yang jahil lagi-lagi selalu sama. Jika ikut dan tunduk menjadi pengikut Ibrahim, maka ia harus kehilangan kekuasaan dan segala priviliges yang telah lama ia nikmati. Penguasa zalim tak pernah ingin kehilangan kekuasaan dan semua kenikmatan yang ditimbulkannya.
Kisah Ibrahim dan Namrud akan selalu hadir dalam segala zaman. Ibrahim baru dan Namrud baru, isu pertentangannya selalu sama. Aktornya dan setting sosialnya saja yang berubah.
Kita bukan Ibrahim, pribadi agung dengan amanah yang juga besar. Kita hanyalah pribadi dhaif yang mencoba meniti millah-nya Ibrahim, untuk mengunduh keselamatan dunia dan akhirat. Kita tidak dihadapkan pada Namrud, sekadar berharap bisa selalu istiqomah dan memiliki nyali untuk berada pada barisan yang menentang Namrud di segala tempat dan zaman.
Baca juga: Drama Pembunuhan Vina Sukses Tenggelamkan Kisah Korupsi Timah Rp 271 Triliun!
Mungkin kita perlu mencoba menjadi Ibrahim untuk diri kita sendiri. Tepatnya meneladaninya. Perlu kita jinjing kapak kebenaran, sembari tak henti melongok ke kuil hati kita masing-masing, barangkali telah berkembang biak benih-benih berhala pada dinding-dinding hatiku dan hatimu.
Perhatikan dengan seksama, ada berhala ujub, ada berhala hedonisme. “Lihatlah yang paling besar itu, ada berhala materialisme yang telah lama bertahta di altar hatiku dan hatimu!”
Tidakkah kau rasakan bagaimana akar berhala materialisme telah menjerat kita dalam pamrih-pamrih sosial, ekonomi, dan politik? Menyerimpet jalan ikhlas kita, hingga kita tergelincir dalam dosa, bahkan di jalan ibadah kita!
Ayunkan Kapak Tauhid warisan Ibrahim AS. Hancurkan berhala materialisme di hati kita masing-masing. Bismillah.