Kebijakan Kontroversial dan Kegelisahan di Ujung Jabatan

Kebijakan Kontroversial dan Kegelisahan di Ujung Jabatan
Presiden Joko Widodo melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking PLN HUB di Kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN). / Rusman (BPMI Setpres)

Soal naiknya besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) belum lagi reda menyulut protes. Tetapi kini publik kembali tersentak dengan kebisingan akibat munculnya sejumlah PP yang mengandung kontroversi. Langkah Presiden Joko Widodo di ujung masa jabatannya memunculkan sejumlah tanya.

Dimulai dari geger naiknya UKT, mahasiswa protes, masyarakat jengah, dan anggota dewan marah-marah. Mendikbudristek, Nadiem Makarim, akhirnya menunda implementasi kebijakan kenaikan UKT tahun ini.

Sejenak situasi mereda. Tetapi tak lama. Tanggal 20 Mei 2024, Presiden Joko Widodo menetapkan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 20 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Di dalam revisi ini, Tapera ditangkap oleh masyarakat sebagai “tabungan tetapi wajib”!

Tak hanya berlaku untuk kalangan PNS dan pegawai BUMN, PP Tapera juga menyasar karyawan swasta lainnya dengan pendapatan di bawah UMR semisal tukang Ojol! Maka, bagi kelompok ini, Tapera dapat bermakna: tak peka perasaan rakyat. Masyarakat luas pun kembali terlibat dalam kekagetan masal, kesal, serta tak habis mengerti dengan arah kebijakan pemerintah.

Ketidak jelasan penggunaan dana, tidak adanya jaminan pasti dapat rumah, memberatkan karyawan yang upahnya belum mencapai UMR, tak ada jaminan keamanan dana (banyak kasus dana tabungan yang dikorupsi), hingga kaburnya konsep tentang apakah Tapera itu iuran atau tabungan. Antara lain aspek-aspek itulah yang dianggap paling bermasalah dari PP Tapera hasil revisi.

Di saat Tapera masih ramai jadi polemik, terbit pula PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kontroversinya mencuat dari Pasal 83 A yang memberikan izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (Ormas).

Baca juga: Drama Pembunuhan Vina Sukses Tenggelamkan Kisah Korupsi Timah Rp 271 Triliun!

Memang tak memunculkan kehebohan besar layaknya PP Tapera. Tetapi PP Nomor 25 Tahun 2024 menjadi diskursus panas di kalangan intelektual, praktisi pertambangan, pengamat kebijakan publik, politisi, hingga pimpinan Ormas. Media mainstream bahkan tak henti mewartakan dan membuat diskusi publik terkait PP tersebut.

Konsekuensi dari PP Nomor 25 Tahun 2024 ternyata berbuntut pada kebijakan lain yang tak kalah kontroversial; Kontrak Freeport diperpanjang hingga 2061! PP Nomor 25 Tahun 2024 menjadi payung hukum bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menanda tangani perpanjangan kontrak Freeport hingga ketersediaan cadangan bahan tambangnya habis!

Memang betul, saham pemerintah di Freeport naik menjadi 61% dari awalnya 51%. Namun, banyak pihak menilai kebijakan perpanjangan kontrak Freeport hingga ketersediaan cadangannya habis itu sebagai berlebihan.

Sebelumnya, masih di sekitar awal bulan Mei juga, dunia pers dan penyiaran sempat pula dibikin ketar-ketir. Pasalnya, DPR tengah menggodok revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ada sejumlah pasal usulan revisi yang ditengarai oleh insan pers sebagai berpotensi mengekang kemerdekaan pers.

Yang paling parah, di dalam draf usulan itu ada pasal yang melarang penayangan karya jurnalistik investigasi. Tentu saja banyak pihak yang meradang. Bukan hanya insan pers, mahasiswa dan pegiat HAM pun lantang menyuarakan penolakan atas sejumlah revisi dalam draf tersebut.

Usai Pemilu dan Jelang Akhir Kekuasaan

Banyak pihak bertanya-tanya. Banyak pihak berspekulasi. Apa sesungguhnya motif di balik kebijakan-kebijakan kontroversial yang diambil menjelang lengsernya Presiden Joko Widodo?

Baca juga: Wajar Tanpa Pengecualian yang Beraroma Ketidakwajaran

Dari sisi waktu, kebijakan itu diambil tak lama setelah hajatan Pemilu 2024 usai dan masyarakat sedang menantikan pelantikan Presiden RI yang baru. Apakah ada hubungannya?

Pemilu 2024 memang menghabiskan banyak dana. Bahkan, dana Bansos yang mengucur deras pada fase tersebut dinilai banyak kalangan sebagai sangat besar. Tentu kucuran dana Bansos itu di luar anggaran pembiayaan resmi Pemilu. Lantas apakah langkah-langkah kontroversial tersebut dalam rangka memulihkan keuangan negara yang barangkali goyah akibat jor-joran di saat gelaran Pemilu?

Kita tahu, kenaikan UKT, Tapera, dan perpanjangan izin Freeport bisa mengumpulkan banyak dana dengan cara instan. Untuk mencegah keusilan media terkait isu tersebut, apakah paket pengendalian pers melalui revisi UU Penyiaran disiapkan untuk itu?

Pada sisi lain, IKN sebagai proyek yang diharapkan menjadi ikon kekuasaan Jokowi dalam jangka panjang terancam mangkrak. Sulitnya mencari investor dan conflict of interest dari banyak pihak yang sudah menebar budi sedari awal project, hingga target yang terlalu tinggi dengan keterbatasan waktu dan anggaran, serta mundurnya Ketua dan Wakil Ketua Otoritas IKN sekaligus, sungguh menggelisahkan kekuasaan.

Mudah diduga, tanpa sumber dana yang jelas Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih akan bersikap rasional. Pastinya ia lebih memilih menuntaskan janji politiknya sendiri; makan siang gratis, daripada berkomitmen untuk merampungkan IKN. Makan siang gratis dan merampungkan IKN sama-sama butuh dana jumbo. Darimana dananya, saat investor tak kunjung tergoda?

Jika IKN mangkrak karena keterbatasan anggaran, banyak hal yang bakal dipertanyakan oleh publik. Pastinya pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi bola liar, mantul ke mana-mana dan merusak tatanan yang telah ada.

Baca juga: Tumbal Pencalonan Gibran: Akankah Sebanding?

Risikonya akan sangat besar bagi Jokowi. Wajar jika ada sejumlah kegelisahan saat membayangkan masa kekuasaannya yang tinggal menghitung hari. Sementara target-target kuncian belum lagi rampung. Tak banyak yang bisa diharapkan dari sang anak. Sebab, ia tahu persis posisi Gibran sebagai Wapres rentan “di-Ma’roef Amin-kan”. Malah, persoalan ini justru menjadi bab lain, yang barangkali turut menggelisahkan hatinya.

Jika IKN, Kereta Cepat, dan proyek strategis lain yang digagasnya disorot publik, bukan mustahil sang putra yang akan paling banyak mendapatkan tekanan publik pada saatnya nanti. Karenanya, Jokowi butuh banyak dana untuk memastikan program-programnya tuntas tanpa celah yang mengundang tanya. Tetapi, haruskah dana iuran rakyat dimainkan?

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.