BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) memperbarui data rekapitulasi dampak bencana banjir dan longsor di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. BNPB mengungkapkan, pada Sabtu, 6 Desember 2025, pukul 14.00 WIB, korban meninggal dunia tembus 883 jiwa. Selain korban jiwa, banjir berkepanjangan mengakibatkan perekonomian lumpuh dan ratusan desa hilang.
Banjir bandang yang menimpa Pulau Andalas itu juga membawa gelondongan kayu raksasa yang entah mengapa bentuknya rapi seperti baru dipotong. Kementerian Kehutanan mengatakan bahwa itu kayu lapuk. Tetapi publik tentu tetap menganggap pernyataan itu sebuah lelucon, karena kayu-kayu tersebut terlihat terpotong secara presisi dan simetris.
Kerugian material yang dialami Provinsi Aceh akibat bencana banjir bandang dan tanah longsor tidak sebanding dengan pendapatan yang didapat dari sektor pertambangan dan kelapa sawit. Berdasarkan taksiran Center of Economic and Law Studies (Celios), kerugian material Aceh sekitar 2,04 triliun Rupiah. Padahal, kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor tambang hingga 31 Agustus 2025 cuma 929 miliar Rupiah, dan sumbangan Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan Sawit Aceh hanya 12 miliar Rupiah, sementara dari sektor mineral dan batubara (minerba) 56,3 miliar Rupiah pada 2025.
Kerugian ekonomi secara nasional yang timbul akibat bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menurut Celios, mencapai 68,6 triliun Rupiah. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan penerimaan Penjualan Hasil Tambang (PHT) nasional per Oktober 2025 yang hanya 16,6 triliun Rupiah. Celios memperhitungkan 5 jenis kerugian, yakni kerugian rumah masing-masing 30 juta Rupiah per unit; kerugian jembatan masing-masing biaya pembangunan kembali 1 miliar Rupiah. Lalu, kerugian pendapatan keluarga yang dihitung rata-rata harian tiap provinsi dikali 20 hari kerja; kerugian sawah dengan kehilangan Rp 6.500 per kilogram gabah dengan asumsi 7 ton gabah per hektare, dan perbaikan jalan 100 juta Rupiah per 1.000 meter.

Bencana Sumatera memperlihatkan betapa ekonomi Indonesia rentan bukan hanya karena cuaca ekstrem, tetapi karena kegagalan tata kelola. Kerugian nasional 68,6 triliun Rupiah yang jauh melampaui penerimaan sektor tambang dan sawit yang selama ini diagung-agungkan, membuktikan bahwa model pembangunan berbasis eksploitasi alam tidak pernah menutup biaya sosial dan ekologis yang ditimbulkannya. Namun, bukannya berfokus pada pemulihan dan perlindungan masyarakat, "energi" pemerintah justru terseret polemik: pejabat saling salah bicara, kepala daerah menyerah, dan malah ada yang pergi umroh, sementara keputusan penetapan bencana nasional ditunda dengan dalih “persepsi”.
Di tengah ribuan korban dan lumpuhnya infrastruktur, negara terlihat lebih sigap membicarakan efisiensi subsidi, cadangan devisa, dan UMP, daripada menyelamatkan penghidupan warga. Ini bukan semata kegagalan respons bencana. Ini adalah cermin bahwa arah ekonomi kita masih lebih berpihak kepada stabilitas angka makro ketimbang keselamatan manusia dan lingkungan tempat mereka bergantung.
Menhut yang oleh publik namanya disindir untuk segera mundur menyebut telah mencabut 18 PBPH pada Februari 2025 lalu dan akan kembali mencabut 20 izin perusahaan berkinerja buruk, dengan total lahan sekitar 750.000 hektare, termasuk di tiga provinsi yang terdampak banjir dan longsor.
Namun, kerusakan ekosistem alam tidak bisa hanya diselesaikan dengan mencabut izin perusahaan berkinerja buruk, karena pada akhirnya semua sudah terlambat, banjir kini telah menelan ratusan jiwa. Jiwa yang tak tahu tentang berapa rupiah yang diterima korporasi yang menghilangkan nyawanya dan nyawa keluarganya. Bahkan menghilangkan kenangan desa kelahirannya.

Menurut Greenpeace, sebagian besar deforestasi terjadi bukan hanya di hutan sekunder, tetapi juga di hutan primer — artinya hutan yang belum banyak tersentuh kegiatan manusia pun ikut berkurang. Di dalam analisis terhadap industri kelapa sawit dan rantai pasoknya, Greenpeace menyatakan bahwa banyak perusahaan besar yang masih terkait dengan deforestasi dan perusakan hutan hujan, meski pun ada klaim bahwa mereka mematuhi kebijakan “no deforestation”.
Organisasi lingkungan WALHI juga memperingatkan bahwa ambisi “transisi energi” di Indonesia — jika dilakukan melalui skema konversi kawasan hutan atau lahan alam menjadi area industri, sawit, tambang, perkebunan, dan energi — justru berdampak kepada deforestasi skala besar.
Menurut publikasi WALHI tanggal 8 November 2025, ada sekitar 26,68 juta hektare kawasan berhutan di Indonesia berada di bawah tekanan izin industri ekstraktif (pertambangan, perkebunan, konsesi lahan), yaitu hampir ¼ dari total tutupan hutan Indonesia. Jika eksposur ini dibuka, bisa melepaskan lebih dari 9 miliar ton CO₂e ke atmosfer.
WALHI mengritik apa yang mereka sebut “greenwashing” yaitu korporasi atau pemerintah yang mengklaim rehabilitasi/restorasi hutan, tetapi pada praktiknya tetap memberi izin konversi hutan atau tidak mengembalikan fungsi ekologis lahan rusak.
Klaim “penurunan angka deforestasi” dari data resmi pemerintah sering dipertanyakan, karena menurut Greenpeace & WALHI, data tersebut terkadang tidak menghitung penggundulan di luar kawasan sekunder atau tidak memperhitungkan konversi hutan alam menjadi perkebunan/industri.

Para aktivis lingkungan sering mengingatkan melalui data, laporan, dan riset. Mereka mencoba menafsirkan sinyal-sinyal bumi: sungai yang tercemar, hutan yang hilang, udara yang terkontaminasi. Setiap angka, setiap grafik, setiap analisis adalah bentuk kesetiaan mereka terhadap kebenaran alam dan upaya untuk tidak menutup mata terhadap akibat dari gerak kita sebagai khalifah.
Alih-alih berterimakasih kepada masyarakat juga organisasi lingkungan yang berupaya mengingatkan dengan publikasi ilmiah dan ikhtiar menjaga bumi, yang ada justru sering terjadi kriminalisasi terhadap para aktivis dan masyarakat yang mengritik kerusakan alam. Tentu saja ini dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan.
Padahal, yang para aktivis lingkungan itu lakukan adalah menahan kesalahan yang mungkin akan menimpa kita. Mereka berani memikul beban moral yang seharusnya menjadi tanggung jawab kolektif. Kriminalisasi mereka bukan sekadar pelanggaran hukum terhadap manusia, tetapi juga pengingkaran terhadap hukum alam itu sendiri.
Alam adalah saksi yang paling jujur, pihak yang tidak bisa ditipu oleh angka, data, atau teori manusia. Ia tidak menilai niat, tidak peduli kepentingan, dan tak memihak siapa pun. Alam hanya merespons gerak manusia. Setiap langkah, setiap keputusan, setiap pilihan. Dengan cara yang sesuai hukum alam yang tak terbantahkan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!


