Bulan Ramadhan selalu menjadi momen latihan kita untuk menjadi hamba-hamba yang lebih bertaqwa, memersembahkan sujud serendahnya, serta mengiba ridho dan ampunan-Nya. Bukan saja menjadi lambung yang paling lapar, tetapi menjadi empati yang diasah benar, sehingga kesalehan pribadi menjadi kesalehan kolektif yang disebar.Namun, akhir-akhir ini, kita sedih melihat berita tentang demonstrasi yang terjadi di berbagai wilayah yang menyisakan tindakan represif yang melukai fisik dan mental rakyat. Yang disayangkan, hal ini terjadi bertepatan dengan bulan Ramadhan.
Protes, kritik, dan demontrasi masyarakat, tentunya tidak serta merta terjadi. Banyak sekali akumulasi kekecewaan masyarakat selama ini terhadap kinerja pemerintah, terutama 10 tahun terakhir. Maka, amat disayangkan jika berkali-kali respon yang diberikan terhadap ekspresi trust issue yang ada ternyata sama.
Kekecewaaan puluhan tahun itu membuahkan berbagai tagar. Diawali dengan Tagar #IndonesiaDarurat dilanjutkan Tagar #IndonesiaGelap yang segera diikuti dengan aksi mahasiswa yang digelar sejak Senin (17/2/2025) oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dari berbagai kampus di Indonesia, mereka menuntut pertanggung jawaban atas berbagai kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Aksi demonstrasi dilangsungkan antara lain di Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Lampung, Samarinda, Banjarmasin.

Terminologi “Indonesia Gelap” dipilih untuk memaknai ketakutan warga Indonesia terhadap nasib dan masa depan bangsa. Hal itu dituturkan Koordinator BEM Seluruh Indonesia, Satria Naufal, seperti dikutip tempo.co.
“Bagi kami, Indonesia Gelap sudah cukup mewakilkan ketakutan, kekhawatiran, serta kesejahteraan warga,” kata Naufal seperti dikutip tempo.co.
Kemampuan 'IQRO' dalam Konteks Kepemimpinan
Tentu kita telah mengetahui, ayat pertama dalam wahyu yang turun adalah tentang kemampuan membaca. Membaca yang dimaksud di sini tentu bukan hanya membaca secara literal, tetapi lebih luas dari itu. Di dalam Surat Al Alaq ayat 1, Allah Swt berfirman, "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan". Di dalam membaca apa pun, kita diminta untuk melibatkan Allah di dalamnya.
Mengatas namakan yang kita baca dengan nama-Nya. Ini memberikan konsekuensi kepada kita bahwa ilmu apa pun dari hasil membaca adalah ilmu Allah. Maka, dalam konteks kepemimpinan, untuk menetapkan banyak kebijakan, sangat dibutuhkan kemampuan membaca. Pembaca terbaik adalah pembaca yang melibatkan semua indera. Tidak hanya mata tetapi juga pikiran dan batinnya.
Kita mengenal seorang khalifah yang sering berkeliling setiap malam untuk memastikan rakyatnya tidur nyenyak dan sejahtera. Dia adalah Umar bin Khattab. Ia berkeliling demi ingin membaca situasi fisik dan mental rakyatnya. Ada banyak kisah yang menceritakan tentang bagaimana Umar berkeliling di malam hari, semisal kisah tentang ibu yang memasak batu untuk anak-anaknya yang lapar, atau kisah tentang perempuan yang sedang mendendang syair rindu di tengah malam. Juga kisah yang mengharu biru tentang percakapan ibu dan anak penjual susu.
Kisah-kisah Umar bin Khattab itu menjadi teladan tentang kepemimpinan yang baik. Juga menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus peduli dan turun tangan langsung untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya.
Kemampuan Mendengar Suara dengan Jernih
Setelah membaca situasi negerinya dengan berkeliling, Umar bin Khattab menyempatkan untuk berbincang dan mendengarkan keluh kesah rakyat. Kemampuan mendengar dengan baik ini didapatkan setelah ia mampu membaca situasi secara umum. Kemampuan mendengar membuat pemimpin lebih detail dalam menggali apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Dan konsistensi membaca dan mendengarkan ini akan mengasah empatinya lagi dan lagi.
Di dalam konteks komunikasi, kita tidak ingin pemimpin kita terjangkit "tone deaf". Tone deaf secara harfiah berarti "tuli nada" atau ketidak mampuan untuk membedakan nada.

Istilah "tone deaf" ini ada di dunia musik. Tetapi dalam konteks sosial, tone deaf digunakan dalam arti kurang peka atau tidak sensitif terhadap perasaan, konteks sosial, atau emosi orang lain. Sehingga, sering kali seseorang yang dinilai tone deaf itu membuat pernyataan atau tindakan yang tidak tepat dan dapat menyinggung orang lain.
Seseorang yang dianggap "tone deaf" mungkin membuat komentar atau tindakan yang tidak sensitif, tak sesuai dengan konteks, atau tidak memertimbangkan perasaan orang lain. Dan hari-hari belakangan ini, masyarakat menemukan banyak fakta di lapangan tentang pejabat pemerintah yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau memberikan respon dengan sesuatu yang terasa tidak peka sosial. Misalnya dalam kasus kelangkaan elpiji 3 kg, teror di kantor media TEMPO, dan masih banyak lainnya.
Kemampuan mendengar tentu bukan "kemampuan kaleng-kaleng". Sebab, jika tidak dilatih, diasah, dan diterapkan terus menerus, kemampuan ini akan terus berkurang.
Kepekaan itu butuh proses. Oleh karenanya, dalam Islam kita mengenal puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Puasa Ramadhan adalah kawah pembelajaran agar kita mampu peka dalam segala hal.
Ke depan, jika gaya komunikasi negara tidak mengalami perbaikan, maka trust issue yang terjadi di masyarakat akan menjadi bola salju yang terus menggelinding dan membesar. Pendekatan tangan besi di negera demokrasi bukanlah hal tepat yang bisa dilakukan. Penempatan personel militer di jabatan-jabatan sipil juga akan terus memantik kecurigaan di masyarakat akan kemungkinan diterapkannya pola kepemimpinan otoriter.
Negara ini milik seluruh tumpah darah Indonesia. Bukan segelintir orang. Apalagi segolongan kepentingan. Maka, masyarakat tentu ingin ada partisipasi publik dalam setiap pengambilan keputusan penting.

Kita tidak membutuhkan ide-ide yang terlihat spektakuler tetapi rapuh. Pun ide-ide yang tolok ukurnya adalah negara lain. Ide yang rapuh akan menghasilkan kerja-kerja yang mubazir, bahkan merugikan rakyat. Maka jangan heran jika akademisi, profesional, tokoh, juga masyarakat umum sering meminta program-program tertentu untuk ditinjau ulang. Selain mereka merasa program-program itu tidak tepat, mereka juga merasa tidak dilibatkan dan dimintai pendapat terkait keahliannya. Apalagi, masyarakat kini mulai kritis untuk menilai siapa sosok yang duduk di kursi pemerintahan, apakah ia seorang akademisi dan profesional atau orang-orang titipan partai semata.
Jika ide-ide membangun bangsa telah jadi produk pemikiran panjang oleh berbagai elemen bangsa, maka yang dilakukan selanjutnya adalah membangun narasi. Mengomunikasikan ide-ide yang sudah dieksekusi kepada masyarakat dan meminta kerja sama masyarakat di lapangan. Agar ide-ide tadi menjadi kerja-kerja bersama dan masyarakat bisa bahu membahu membantu pemerintah di tingkat paling bawah.
Tak ada yang lebih indah bagi seorang pemimpin, kecuali kepercayaan penuh dan dukungan masyarakat kepadanya. Trust issue bukanlah momok menakutkan jika semua proses kebaikan dilakukan.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!