Undangan Universitas Indonesia (UI) kepada Peter Berkowitz, seorang akademikus asal Amerika Serikat yang dikenal luas berpandangan pro-Zionis, untuk memberikan orasi ilmiah, menuai polemik tajam. Kehadiran Berkowitz di kampus tertua dan ternama di Indonesia itu dipandang banyak kalangan bukan hanya sebagai kekeliruan, tetapi juga sebuah kemunduran moral dan akademik yang mencederai prinsip kemanusiaan yang sejak awal menjadi pijakan bangsa ini.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Al-Azhar Indonesia, Pizaro Ghozali Idrus, Ph.D, dengan tegas menyatakan keheranannya atas langkah UI tersebut. Kepada sabili.id yang mewawancarainya, Pizaro menyatakan, Berkowitz sama sekali bukan figur yang obyektif dalam dunia akademis.
“Pertanyaannya, apa yang sebenarnya mau dipetik dari orasi ilmiahnya Peter Berkowitz di UI? Dia sendiri sebagai akademisi tidak obyektif, tidak adil, sangat bias dalam ilmu pengetahuan. Dia kerap menyematkan label antisemit kepada orang-orang yang mengritik Israel. Itu tuduhan yang sangat tidak masuk akal. Dan kalau mau bicara politik Barat, mengapa bukan Ilan Pappé, Norman Finkelstein, atau Noam Chomsky yang justru kritis dan jauh lebih kredibel?” kata Pizaro.
Di sisi lain, ia juga mengajak PBNU untuk kembali becermin pada sejarah ulama pendahulu. “KH Hasyim Asy’ari tegas menolak penjajahan dan mendukung Palestina. Lalu mengapa sekarang justru memberi panggung kepada pendukung genosida?” tegasnya.

Lebih jauh ia menekankan, undangan terhadap Berkowitz kontraproduktif dengan situasi global. “Kini masyarakat Barat, bahkan non-Muslim, semakin lantang membela Palestina lewat boikot dan demonstrasi besar. Ironisnya, justru di Indonesia, negeri yang berdiri di atas semangat anti-penjajahan, tokoh pro-Zionis diberi panggung,” pungkasnya.
Nada keberatan serupa pun disampaikan Dr. Jeje Zaenudin, Ketua Umum PP Persatuan Islam (Persis). Di dalam wawancara dengan sabili.id, ia menyebut sikap UI itu sangat disayangkan. “Masyarakat wajar mengecam dan menghujat. Ketidaksensitifan UI menunjukkan masih adanya pandangan yang menempatkan ilmu sebagai bebas nilai. Padahal, ilmu adalah sarana pengabdian tertinggi kepada Sang Pemilik Ilmu,” katanya.
Menurut Ustadz Jeje, langkah ini semakin tidak pantas karena terjadi di tengah tragedi kemanusiaan di Gaza. “Puluhan ribu orang tewas, ratusan ribu cacat permanen, jutaan terusir dari rumahnya. Dan di saat seperti ini, kampus kita malah memberi panggung untuk mencari pembenaran kejahatan Israel. Itu sesuatu yang menyakitkan,” tuturnya.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Prof. Sudarnoto Abdul Hakim, MA, juga mengritik keras. Ia menyebut keputusan UI mengundang Berkowitz menunjukkan menipisnya sensitivitas moral dan kritisisme para pemimpin perguruan tinggi. “Kampus tidak boleh hanya menjadi tempat transfer of knowledge, tetapi juga harus mendidik karakter, memerkuat kepedulian kemanusiaan. Mengundang pembela Zionis adalah preseden buruk yang mencederai rasa kemanusiaan dan kontraproduktif bagi perjuangan bangsa membela Palestina,” tegasnya.

Sudarnoto mengingatkan bahwa Zionis Israel sudah lama menanti kesempatan menyebarkan pengaruhnya ke Indonesia. “Kita tidak boleh silau dengan reputasi akademik seseorang yang ternyata pro-Zionis. UI memang sudah meminta maaf, tetapi itu tidak cukup. Peristiwa ini tidak boleh terulang, bukan hanya di UI, tetapi juga di kampus dan organisasi mana pun di Indonesia. Teguhkan Pancasila, bela Palestina, hapuskan penjajahan,” tegasnya, menutup pembicaraan.
Kini, masyarakat pun patut bertanya: Apakah UI benar-benar kecolongan dalam kasus ini? Atau ada kelengahan serius dalam menyaring narasumber? Apa yang sebenarnya terjadi dengan NU dan UI, sampai-sampai memberi panggung kepada seorang tokoh pro-Zionis yang intoleran, radikal, bahkan ekstremis, di tengah bangsa Indonesia yang sejak awal berdiri justru menolak segala bentuk penjajahan?

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!