Pendidikan tinggi semakin mahal. UKT (Uang Kuliah Tunggal) naik membumbung tinggi, membuat mahasiswa meradang. Sontak wakil mahasiswa dari 10 perguruan tinggi ternama di Indonesia sowan ke Gedung Wakil Rakyat di Senayan. Tentu dalam rangka mengadu kepada Anggota DPR, perihal UKT yang menggundahkan hati mereka.
Wakil-wakil mahasiswa itu senang, Anggota DPR menyambut kedatangan mereka dengan baik. Microphone bersuara jernih disediakan, dan telinga Anggota Dewan yang Terhormat pun dibuka lebar untuk mendengar dengan jelas keluh kesah mahasiswa.
Sejak itulah isu UKT yang memang menyentuh saraf dasar kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia kian menjadi viral dan menyedot perhatian publik. Tak pelak, UKT yang menjadi top news di seluruh media mainstream di tanah air dalam dua minggu terakhir membuat petinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI kelabakan.
Kebiasaan yang selalu terjadi dalam manajemen kebijakan publik ala pemadam kebakaran. Saat api telah membumbung tinggi, segala macam ember dan air comberan pun dikerahkan. Demi memadamkan api. Sayangnya, ketergopohan kerap kali bersaudara dengan kecerobohan. Itu pula yang terjadi dalam upaya pemadaman kemelut UKT.
Adalah Sekdirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Tjitjik Srie Tjahjandarie. Beliau mungkin termasuk pejabat di jalur depan yang harus tergopoh-gopoh memadamkan api UKT yang tengah membara. Sayangnya, statement yang ia keluarkan dalam ketergopohan itu justru membuat api UKT yang tengah membara menjadi semakin berkobar-kobar.
Tjitjik terkesan melakukan pembenaran bahwa kebijakan kenaikan UKT sudah sesuai ketentuan. Ia lantas memberikan pernyataan, “Pendidikan tinggi adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya, tidak seluruh lulusan SLTA / SMK wajib masuk perguruan tinggi. Itu pilihan, bukan wajib.”
Baca juga: Sebanyak 15,5 Juta Remaja Indonesia Usia 10-17 Tahun Alami Masalah Mental Health
Sontak saja pernyataan Sekdirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi ini mengguncang kesadaran publik. Akhirnya, bukan hanya mahasiswa yang gerah dengan kebijakan UKT. Pengamat pendidikan, politisi, dan rohaniwan pun terperangah. Terusik oleh pernyataan Tjitjik yang memiliki sejumlah ambigu dan mengandung makna bahwa pendidikan tinggi hanya menjadi pilihan bagi mereka yang sanggup dengan konsekuensi pembiayaannya, para pihak itu pun terpancing urun rembuk. Kebakaran UKT jadi semakin besar. Masyarakat berang, anggota dewan meradang.
Berbenturan dengan Kebijakan Dasar
Pernyataan tersebut memang tak semestinya dikeluarkan dengan argumen kesalahan dalam pilihan diksi atau plintiran media massa. Selain tak tepat konteks, jawaban tersebut jelas berbenturan dengan sejumlah kebijakan dasar negara kita dalam bidang pendidikan.
Pertama, bahwa pendidikan adalah hak semua warga bangsa, dan negara adalah pihak yang oleh undang-undang disebut sebagai pemegang kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembukaan UUD 1945 menyebut bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan kita bernegara. Karenanya, membenturkan kenaikan UKT dengan wajib belajar dan pendidikan tinggi sebagai pilihan, tentu melenceng jauh dari doktrin mencerdaskan kehidupan bangsa dan hak warga bangsa untuk cerdas.
Kedua, telah lama bangsa Indonesia berjuang untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Salah satu indikator IPM adalah pengetahuan. Asumsinya, semakin tinggi kualitas pendidikan akan turut mendongkrak kenaikan IPM kita. Saat ini, IPM Indonesia baru berada di peringkat 112 dunia. Masih jauh dari kategori bermutu.
Ketiga, visi Indonesia Emas 2045. Bagaimana mungkin kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045 jika pendidikan tinggi tak terjangkau oleh mayoritas rakyatnya? Indonesia Emas adalah sebuah gagasan ideal bagi Indonesia untuk menjadi negara berdaulat, maju, adil, dan makmur pada 2045, saat Peringatan HUT ke-100 Republik Indonesia dilangsungkan.
Indonesia Emas Berujung Lemas
Siapa pun yang waras pasti bersepakat bahwa pendidikan adalah jalan utama untuk mencapai Indonesia Emas. Kualitas pendidikan kita yang masih rendah hari ini tengah mengkhawatirkan banyak pihak. Di satu sisi, kita memiliki keuntungan karena bonus demografi. Pada sisi lain, terselip keraguan, akankah bonus demokrasi yang kita miliki bisa kita manfaatkan? Akan jadi berkah atau malah jadi musibah?
Baca juga: Menggugat Study Tour
Bonus demografi akan menjadi berkah manakala bonus itu bisa dioptimalkan potensinya dengan pendidikan yang baik. Pencapaian visi Indonesia Emas akan mudah digapai dengan bonus demografi yang kita miliki serta dapat kita optimalkan melalui pendidikan.
Sebaliknya, jika kita gagal mendidiknya, maka kecemasanlah yang akan kita panen. Ya. Kecemasan tentang banyak hal. Terbayang keterpurukan ekonomi, kerentanan sosial, dan meningginya angka kriminalitas akibat melimpahnya usia produktif namun tidak terdidik dan tidak terampil. Mereka tak laku di pasar kerja, kalah bersaing dengan SDM negara lain, dan seterusnya. Indonesia akan panen musibah, naudzubillah.
Jangan sampai visinya Indonsia Emas, tetapi realisasinya Indonesia Lemas! Gara-gara UKT tak ramah kantong rakyat.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!