Tawakal, menurut Imam Al-Ghazali, adalah ibadah hati yang paling utama. Menurut Ibnul Qayyim, tawakal bahkan merupakan separuh dari agama, dan separuh sisanya inabah atau kembali kepada Allah. Ibnul Qayyim menyimpulkan hal tersebut dari firman Allah,
"..Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali" – QS Hud: 88.
Selain merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya, para ulama mendudukkan tawakal secara istimewa karena tawakal termasuk sikap fundamental dalam diri seseorang. Tanpa tawakal, tidak ada kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup. Manusia akan cenderung menghadapi berbagai problematika kehidupan secara emosional, mudah frustasi, dan akhirnya putus asa. Keputusasaan dan frustasi adalah pintu berbagai perbuatan dosa, bahkan bisa menjurus pada sikap syirik.
Memiliki sikap tawakal memang tidak mudah. Setidaknya ada empat keadaan yang menjadi kendala sikap tawakal:
Pertama, kurangnya keyakinan terhadap kemahakuasaan Allah swt. DR. Yusuf Qardhawi memberi ilustrasi sederhana tapi mengena tentang hal ini. Karena percaya pada kekuasaan pemerintah, seorang pegawai negeri yang digaji setiap bulan akan tenang hatinya. Tapi ketika situasi pemerintahan kacau, pasti kepercayaan pegawai negeri itu juga akan menipis, bahkan bisa jadi lenyap. Yusuf Qardhawi mengaitkan kondisi ini dengan sikap tawakal. Orang yang sudah diberi janji oleh Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Kaya, menurutnya, tidak akan goyah kepercayaannya pada Allah dalam keadaan apapun.
Baca Juga : Belajar Tawakal dari Burung
Artinya, tawakal hanya ada melalui kesadaran dan keyakinan yang utuh terhadap kemahakuasaan Allah swt. Dalam salah satu hadits qudsi Allah swt berfirman,
"Wahai hamba-hamba Ku, andaikata orang yang pertama dan terakhir di antara kalian, manusia dan jin di antara kalian, berkumpul di satu dataran tinggi, lalu mereka meminta kepada-Ku dan masing-masing Ku kabulkan permintaannya, maka yang demikian itu tidak mengurangi milik-Ku kecuali bagai setetes air yang jatuh dari ujung jari yang dicelupkan ke samudera." – HR Muslim
Keyakinan yang kuat terhadap kemahakuasaan Allah, akan membuat sandaran apapun selain-Nya menjadi tidak berarti. Sikap seperti inilah yang diyakini seorang istri ulama ketika ia ditinggal mati suaminya. Ketika ditanya, "Dari mana engkau dan anak-anakmu bisa makan sepeninggal suamimu?" Dia menjawab dengan penuh keyakinan, "Semenjak aku mengenal suamiku, aku senantiasa melihatnya makan dan tidak melihatnya sebagai pemberi rezeki. Orang yang bisa makan pasti akan mati, sedang yang memberi rezeki tidak akan mati."
Al-Allamah Zaruq dalam kitab At-Tanwir Bertutur, "Jika engkau merasa perkasa karena Allah, maka keperkasaan mu akan abadi. Dan jika engkau merasa perkasa karena selain Allah, maka keperkasaanmu tiada abadi. Sebab yang engkau andalkan itu tiada perkasa."
Kedua, sikap sombong. Orang yang takjub pada diri sendiri, tertipu oleh kekuatan, kemampuan, kedudukan, kehormatan, dan para pendukungnya akan sulit mencapai sikap tawakal. Hal ini wajar, karena ia akan lebih menyandarkan segala sesuatu pada kapasitas dan kemampuan pribadi seraya mengabaikan pihak lain. Akibatnya ia tidak merasa membutuhkan Allah dan tidak mau bersandar kepada-Nya. Sikap sombong, termasuk salah satu perkara yang merusak, sebagaimana disebut dalam sebuah hadits hasan berikut: "Ada tiga perkara yang merusak: kikir yang ditaati, nafsu yang diikuti, dan ketakjuban seseorang kepada diri sendiri."
Allah swt berfirman,
"Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah ia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya, dan dia berkata, "Aduhai sekiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Rabbku." Dan, tidak ada bagi dia seorang pun yang akan menolong-nya selain Allah, dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah yang Haq. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan" – QS Al-Kahfi: 42-44.
Karena itu, sikap mengenal diri sendiri, menyadari kelemahan, keterbatasan ilmu, dan kehendak adalah modal utama untuk meraih tawakal. Allah menciptakan manusia dalam keadaan lemah, dikeluarkan dari perut ibunya tanpa mengetahui apa-apa, lalu diberi sarana pendengaran yang memungkinkan menjadi khalifah di bumi. Namun demikian, ilmunya tetap sebatas ilmu manusia, kemampuannya sebatas kemampuan manusia. Atau sebagai makhluk Allah. ia diciptakan dari tidak ada dan akhirnya akan menemui kematian. Kesadaran tentang hal ini akan menjadi pendorong terbesar bagi seorang hamba untuk bergantung pada Allah. Benarlah ungkapan salafushalih, "Barangsiapa yang mengetahui dirinya, tentu ia mengenal Rabbnya."
Baca Juga : Ketika Ketulusan Dibayar Kontan
Ketiga, condong kepada makhluk. Yakni mengandalkan kapasitas dan kemampuan makhluk dalam memenuhi berbagai macam kebutuhan. Firman Allah,
"Sesungguhnya berhala-berhala yang kalian seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah), yang serupa juga dengan kalian” – QS Al A’raf : 194.
"..Sesungguhnya yang kalian sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepada kalian. Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah.." – QS Al-Ankabut: 17.
Ibnu Athaillah mengatakan, "Jika engkau ingin memiliki keperkasaan yang tidak sirna, maka janganlah engkau bersandar kepada keperkasaan yang bisa sirna."
Keempat, mencintai dunia dan terpedaya olehnya. Janganlah kita tenggelam dan terpedaya oleh fatamorgana dunia, mengekor di belakang kenikmatannya, dan bergantung pada hiasan dan ambisi dunia, sebagaimana firman-Nya,
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingininya, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang- binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik." – QS Ali Imran: 14.
Karena itu Rasulullah saw berdo'a:
"Ya Allah, janganlah Engkau jadikan cobaan kami dalam agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia sebagai hasrat kami yang paling besar dan menjadi tujuan pengetahuan kami." – HR Tirmidzi dan Hakim
Hamba dunia tidak mungkin memurnikan 'ubudiyah (penghambaan) kita kepada Allah. Sebab Allah tidak menjadikan seseorang memiliki dua hati dalam jiwanya. Dan mereka yang tidak memurnikan 'ubudiyah kepada Allah tidak akan mengenal tawakal kepada-Nya.
"Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar. Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kalian dan sekali-kali janganlah orang yang pandai memperdayakan kalian tentang Allah" – QS Fathir: 5
Hawari Aulia
Disadur dari Majalah Sabili Edisi No 15 TH. VI / 10 FEBRUARI 1999 / 23 SYAWAL 1419 H
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!