Ketika Pertama Kali Nama Pancasila Disebutkan

Ketika Pertama Kali Nama Pancasila Disebutkan
Rapat Pleno Komisi Kajian Ketatanegaraan di ruang GBHN, Gedung MPR / Dok. MPR RI

Kadang masih ada yang mendebatkan tanggal berapa lahirnya dasar negara Indonesia, Pancasila. Pemerintah telah menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Pemerintah juga menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional. Penetapan tersebut berdasarkan Keppres Nomor 24 Tahun 2016. Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, merujuk pada peristiwa digelarnya sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk merumuskan dasar negara Republik Indonesia.

Namun, ada juga yang mengatakan, secara resmi Pancasila sebagai dasar negara lahir tanggal 18 Agustus 1945. Alasannya, karena dasar negara ditetapkan oleh Dokuritsu Junbi Inkai atau PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus 1945. Artinya, satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.

Bagi generasi muda khususnya, mungkin ada kebingungan tentang kapan sesungguhnya hari kelahiran Pancasila, dasar negara Republik Indonesia. Mungkin karena generasi muda saat ini kurang mendapatkan materi pelajaran seputar proses kemerdekaan Indonesia. Khususnya tentang rentetan peristiwa yang terjadi dalam dua bulan menjelang dikumandangkannya Proklamasi. Seharusnya, kebingungan itu tidak terjadi. Sebab, tanggal 1 Juni dan 18 Agustus itu sama-sama penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini.

Sidang BPUPKI

Tanggal 1 Juni yang ditetapkan pemerintah sebagai Hari Lahir Pancasila berkaitan dengan jalannya sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di dalam sidang BPUPKI yang dimulai tanggal 29 Mei 1945 itu, Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat bertanya, “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan itu dijawab Ir. Soekarno (Bung Karno) pada 1 Juni 1945 dengan menyebut “Pancasila”.

Pembentukan BPUPKI sendiri berkaitan dengan peristiwa Perang Dunia II – tepatnya Perang Pasifik – pada pertengahan tahun 1940-an. Di tengah berlangsungnya Perang Dunia II, yaitu tahun 1942, usai dikalahkan oleh Jepang, Belanda meninggalkan Indonesia setelah ratusan tahun menguasai negeri kita. Sejak itu, Indonesia dikuasai Jepang. Sebelumnya, Jepang telah menduduki negara-negara lain di Asia.

Baca juga: Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia: Haram Ucapkan Salam Berdimensi Doa Khusus Agama Lain

Tahun 1945, Jepang menghadapi perang melawan tentara sekutu. Sebab, mereka telah memulai perang dengan Amerika Serikat. Jepang kalah dalam perang melawan sekutu. Keadaan mereka goyah. Di tengah situasi tak menentu, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sebagai langkah untuk mewujudkan janji itu, Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Tujuan pembentukan BPUPKI adalah untuk menyelidiki hal-hal penting yang berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia sekaligus menyiapkan rencana kemerdekaan. Di dalam menjalankan perannya, BPUPKI menggelar beberapa kali rapat atau sidang. Dua di antaranya adalah sidang besar. Sidang pertama digelar BPUPKI tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Di dalam sidang tersebut, para anggota BPUPKI membahas apa yang akan menjadi dasar-dasar Indonesia merdeka. Salah satu agenda yang dibahas adalah perihal dasar negara Indonesia.

Di dalam sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin berpidato, mengusulkan dasar negara berupa Peri Kebangsaan; Peri Kemanusiaan; Peri Ketuhanan; Peri Kerakyatan; serta Kesejahteraan Rakyat. Pada 31 Mei 1945, Mr. Soepomo tampil berpidato. Ia mengemukakan dasar negara, yaitu Persatuan (Unitarisme); Kekeluargaan; Keseimbangan lahir dan batin; Musyawarah; dan Keadilan rakyat. Dan pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno (Bung Karno) menyatakan gagasan tentang dasar negara yang ia sebut sebagai Pancasila. Panca artinya lima, sila artinya prinsip atau asas. Pancasila menurut Bung Karno adalah lima dasar untuk negara Indonesia. Sila pertama “Kebangsaan”; sila kedua “Internasionalisme atau Perikemanusiaan”; sila ketiga “Demokrasi”; sila keempat “Keadilan Sosial”; dan sila kelima “Ketuhanan”.

Piagam Jakarta

Namun, ketika itu masih terdapat perbedaan pendapat dan perdebatan tentang gagasan dasar negara tersebut di antara tokoh-tokoh golongan nasionalis dengan tokoh-tokoh Islam. Menyikapi belum dicapainya kesepakatan, maka untuk menyempurnakan rumusan Pancasila serta merancang pembuatan Undang-Undang Dasar, BPUPKI lantas membentuk sebuah panitia yang disebut Panitia Sembilan. Anggota Panitia Sembilan adalah Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Mohammad Yamin, Mr. AA Maramis, dan Achmad Soebardjo. Panitia Sembilan bertugas mengumpulkan pendapat para tokoh tentang rumusan dasar negara yang nantinya akan dibahas dalam Sidang Kedua BPUPKI.

Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan selesai menyusun naskah rancangan yang akan digunakan dalam pembukaan hukum dasar negara. Mohammad Yamin kemudian menamai naskah tersebut sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Piagam Jakarta berisi gabungan pendapat antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Berikut ini isi Piagam Jakarta 22 Juni 1945:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Baca juga: Setelah Polemik Merebak, Mendikbudristek Batalkan Kenaikan UKT

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di dalam naskah Piagam Jakarta itu, terdapat rumusan Pancasila. Lima sila yang menjadi dasar negara itu adalah, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Piagam Jakarta dari Panitia Sembilan itu dibawa untuk dijadikan sebagai preambule atau Pembukaan Undang-Undang Dasar. Pada 7 Agustus 1945, BPUPKI diganti dengan sebuah lembaga bernama Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tujuannya untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.

Kontribusi Penting Tokoh Islam

Namun, naskah Piagam Jakarta juga tidak serta merta diterima semua kalangan. Tanggal 17 Agustus 1945 petang, Mohammad Hatta (Bung Hatta) menyampaikan bahwa ia mendapat aspirasi dari rakyat Indonesia timur. Ketika itu, perwakilan rakyat Indonesia timur mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia jika esensi dari sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam dasar negara tidak diubah.

Bung Hatta Lantas mengajak para tokoh agama untuk berdiskusi membahas hal tersebut. Di antaranya adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan. Dengan kebesaran jiwa, tokoh-tokoh Islam ketika itu menerima keberatan dari perwakilan Indonesia timur tersebut. Setelah berdiskusi, ditetapkanlah bunyi sila pertama dasar negara (yang selanjutnya disebut Pancasila) yang termuat di Piagam Jakarta itu dengan kalimat, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Abdul Wahid Hasyim (Wahid Hasyim), sang ulama muda NU yang merupakan putra KH Hasyim Asy’ari dan ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di saat masih berusia 31 tahun pada 1945, Wahid Hasyim telah menjadi tokoh nasional. Sebab, di tahun itu, ia menjadi Anggota BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI. Sebagai Anggota BPUPKI, ia adalah anggota termuda. Di BPUPKI, ia mewakili NU bersama KH Masykur dari Malang dan KH Abdul Fatah Yasin dari Bojonegoro. Di PPKI, ia juga menjadi salah satu anggota termuda.

Baca juga: Peringati 116 Tahun Hari Kebangkitan Nasional, GPKR Ajak Bangsa Indonesia Bangkit dari Bangkrut

Rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” di sila pertama Pancasila sebagai pengganti dari “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tak lepas dari peran dan kontribusi Wahid Hasyim. Hal itu membuat Wahid Hasyim dikenal sebagai tokoh Islam yang moderat, substantif, dan inklusif. Hal itu menegaskan pula bahwa misi yang dibawa oleh para pemimpin bangsa ketika itu adalah agar dasar negara merupakan pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan hanya Islam yang merupakan umat mayoritas di Indonesia. Salah satu perkataan Wahid Hasyim yang terkenal saat itu adalah, “Tiap-tiap Muslim mesti demokrat, karena agama Islam adalah agama Demokratis”.

KH Wahid Hasyim menilai, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Hal itu memberikan arti bahwa dengan konsep tersebut, umat Islam memiliki hak untuk menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Jadi, mengimplementasikan Pancasila sama artinya mengamalkan Syariat Islam dalam konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, tak ada alasan atau celah bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Akhirnya, tidak akan terjadi intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.

KH Wahid Hasyim juga berani menegaskan, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam harus menunjukkan sikap inklusif terhadap kemajemukan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, Pancasila merupakan representasi dari seluruh bangsa Indonesia yang menjadi sebuah dasar negara.

Setelah dicapai kesepakatan itu, naskah Piagam Jakarta yang telah diubah itu lantas dibawa ke sidang PPKI. Setelah melalui proses dan beberapa kali persidangan, dalam sidang tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara. Di dalam sidang tersebut, disetujui bahwa Pancasila dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah. Tetapi, kata “Mukadimah” diganti dengan “Pembukaan”. Rumusan Pancasila yang disahkan di tanggal 18 Agustus 1945 itulah yang isinya kita kenal sekarang.

Jadi, jelas bahwa tanggal 1 Juni 1945 merupakan momen penyebutan pertama kali Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Tetapi waktu itu rumusan isi Pancasila belum seperti yang saat ini kita kenal. Sedangkan tanggal 18 Agustus 1945 adalah momen pengesahan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang sah dan isinya sudah seperti isi Pancasila yang sekarang ini kita kenal.

Tanggal 22 Juni 1945 juga penting. Sebab, di tanggal itu terjadi momen penyusunan naskah Piagam Jakarta yang selanjutnya disahkan sebagai naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Piagam Jakarta antara lain mengakui dan mempromosikan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak asasi manusia yang fundamental. Sebab, setiap individu memiliki hak untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama atau keyakinan sesuai dengan kepercayaan pribadinya.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.