Tokoh kali ini adalah KH Masjkur (Kiai Haji Masykur). Melalui Keppres Nomor 120/TK/Tahun 2019, tokoh yang lahir di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, 30 Desember 1904 itu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Selama hidup, KH Masjkur memberikan banyak kontribusi dalam perjalanan bangsa ini, baik di bidang politik, militer, maupun perkembangan pendidikan Islam di tanah air.
Keterlibatan KH Masjkur dalam perjuangan kemerdekaan terlihat di zaman pendudukan Jepang. Ia adalah salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia juga tercatat sebagai pendiri Pembela Tanah Air (PETA). Dan ketika pertempuran 10 November 1945 berlangsung, nama KH Masjkur dikenal sebagai pemimpin Barisan Sabilillah.
KH Masjkur tercatat pula sebagai anggota DPP Masyumi. Ia juga menjabat Ketua Markas Tertinggi Barisan Sabilillah dan Anggota Dewan Pertahanan Negara. Setelah Indonesia merdeka, KH Masjkur terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi Menteri Agama.
KH Masjkur pertama kali menjadi Menteri Agama di Kabinet Amir Syarifuddin II sejak 11 November 1947 hingga 29 Januari 1948. Ia tetap dipercaya sebagai Menteri Agama di Kabinet Hatta I (29 Januari - 4 Desember 1948) dan Kabinet Hatta II yang dimulai pada 4 Agustus 1949. Pada 20 Desember 1949 setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, kabinet peralihan dibentuk dengan Soesanto Tirtoprodjo menjadi Pejabat Sementara Perdana Menteri. Di kabinet peralihan, KH Masjkur tetap menjadi Menteri Agama. Ia pun kembali menjadi Menteri Agama di Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang tuntas pada 12 Agustus 1955. Jadi, KH Masjkur menjabat Menteri Agama di lima kabinet.

Setelah itu, KH Masjkur masuk parlemen. Ia menjadi anggota DPR, DPR-GR, dan Ketua Golongan Islam di DPR/MPR. Setelah dilakukan fusi partai-partai Islam di tahun 1973, KH Masjkur menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tahun 1978 - 1983, KH Masjkur duduk sebagai Wakil Ketua DPR RI. Setelah itu, ia juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Ketua Umum PBNU periode 1952-1956 itu tetap berkiprah di organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan baru menuntaskan tugasnya di NU pada 1984. Setelah itu, KH Masjkur mengabdikan diri bagi perkembangan pendidikan Islam di tanah air.
Komandan Tertinggi Sabilillah
KH Masjkur lahir di Desa Pagetan, Singosari, Malang, Jawa Timur, 30 Desember 1904. Ketika berusia 9 tahun, ia diajak orang tuanya menunaikan ibadah haji ke Makkah. Sepulang dari tanah suci, ia belajar di sejumlah pondok pesantren untuk memerdalam ilmu agama. Diawali di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, pimpinan KH Hasyim Asya’ri. Dari Tebuireng, Masjkur lalu berguru kepada KH Kholil al-Bangkalani di Madura. Ia lalu melanjutkan pendidikan ke Pesantren Jamsaren di Solo, Jawa Tengah. Pada 1923, ia kembali ke Singosari dan mendirikan pesantren sekaligus madrasah bernama Mishbahul Wathan yang berarti Pelita Tanah Air.
Di kampung halamannya, KH Masjkur aktif sebagai pengurus NU. Pada 1926, ia terpilih sebagai Ketua NU cabang Malang. Tahun 1930, KH Masjkur masuk jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan turut memerjuangkan kepentingan umat Islam pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ketika pada 1942 Jepang mengambil alih wilayah Indonesia dari Belanda, KH Masjkur bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Bahkan, ia tercatat sebagai salah satu pendiri PETA. PETA adalah organisasi paramiliter bentukan pemerintah Dai Nippon yang di kemudian hari menjadi salah satu unsur utama yang membentuk Tentara Nasional Indonesia.

Ketika berlangsung perjuangan fisik untuk memertahankan kemerdekaan, KH Masjkur diangkat sebagai Komandan Tertinggi Pasukan Sabilillah. Selain KH Masjkur sebagai komandan tertinggi pasukan Sabilillah, ada KH Abdul Wahab Chasbullah yang memimpin barisan Mujahidin dan KH Zainul Arifin sebagai komandan Hizbullah. Itulah tiga laskar yang diisi banyak santri dengan tujuan untuk memertahankan kedaulatan negara dari ancaman pasukan Sekutu yang dibonceng pasukan NICA (Belanda) yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia.
KH Masjkur dan KH Zainul Arifin adalah lulusan pelatihan semi militer Hizbullah angkatan pertama yang diadakan di Cibarusah. Pelatihan Hizbullah itu berlangsung selama tiga bulan sejak awal tahun 1945. Kira-kira 500 orang pemuda Islam dan santri ikut dalam pelatihan itu.
Pelatihan Hizbullah digelar lantaran di awal tahun 1945 itu situasi Indonesia penuh dinamika. Banyak tokoh ketika itu gelisah karena sangat ingin untuk segera melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Apalagi, saat itu Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia, bahkan disertai pelaksanaan pelatihan ketentaraan serta melatih para kiai dan santri dalam latihan militer.
Menyikapi janji Jepang itu, di kalangan kiai, santri, pemuda Islam, dan pondok pesantren, tercetuslah ide untuk membentuk satuan tentara khusus umat Islam. Satuan itu dibentuk pada 8 Desember 1944, dan dikenal sebagai Laskar Hizbullah atau Tentara Hizbullah Indonesia, di bawah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang ketika itu dipimpin KH Hasyim Asy’ari.

Pelatihan pertama anggota Laskar Hizbullah dilakukan pada 28 Februari 1945 di Perkebunan Karet Cibarusah. Pembukaan pelatihan laskar Hizbullah ketika itu dihadiri Ketua Muda Masyumi, KH Wahid Hasyim, yang merupakan salah satu penggagas pembentukan Laskar Hizbullah itu. Waktu itu, Cibarusah termasuk wilayah Bogor. Kini, Cibarusah adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Ketika itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura masing-masing mengirim lima orang utusan untuk mengikuti pelatihan laskar Hizbullah. Cibarusah dipilih sebagai tempat pelatihan Laskar Hizbullah, karena lokasinya strategis dan dekat dengan Pusat Pemerintahan militer Jepang. Tetapi selain itu, ada alasan yang lebih personal. Yaitu karena di Cibarusah itu ada KH Raden Ma’mun Nawawi yang akrab disapa Mama Cibogo. Cibogo adalah nama sebuah desa di Cibarusah yang menjadi tempat tinggal KH Raden Ma’mun Nawawi. Mama Cibogo memang punya hubungan dekat secara emosional dengan KH Hasyim Asy’ari.
Latihan Laskar Hizbullah itu berlangsung sangat berat dengan disiplin tinggi. Selain latihan perang-perangan dengan senjata dari kayu yang terus diulang-ulang, juga ada pelatihan teknik perang gerilya dan pembuatan bom molotov. Pelatihan yang diadakan di daerah bertanah liat di Cibarusah itu menghadirkan berbagai medan yang sulit. Tetapi tantangan berupa medan yang sulit dan jangkitan penyakit ketika itu justru menguatkan fisik dan mental baja para pesertanya. Dibekali semangat Bushido ala Jepang, rasa cinta tanah air, dan semangat bela negara yang menggelora, semua itu kian menambah kuat fisik dan mental para santri peserta Latihan Laskar Hizbullah. Dan mereka pun siap berperang untuk merebut serta memertahankan kemerdekaan.
Selesai pelatihan angkatan pertama Laskar Hizbullah, KH Zainul Arifin dan KH Masjkur berpisah karena berbagi tugas. KH Masjkur dan KH Wahid Hasyim ditunjuk menjadi anggota BPUPKI guna memersiapkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sedangkan Zainul Arifin selaku Panglima Hizbullah bertugas mengomandani pelatihan spiritual di Masjid Kauman, Malang, Jawa Timur. Pasukan Santri Hizbullah digembleng kedisiplinan spiritual langsung di bawah Hadhratussyekh KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah, dan kiai-kiai sepuh lainnya.

Sementara itu, situasi pertempuran antara rakyat Indonesia dengan NICA yang dibantu Inggris tetap berkobar di front pertempuran Bandung Selatan, Semarang, Karawang, dan Mojokerto. Konon, ketika itu para pemimpin bangsa sempat kebingungan untuk menyiapkan pasukan menghadapi pertempuran dahsyat di Surabaya pada 10 November 1945. Namun, pasukan rakyat dan tentara santri waktu itu sudah terlebih dahulu menyiapkan diri, lalu berhasil menghalau pasukan sekutu dan NICA di Surabaya. Sebagai laskar yang paling siap berperang, waktu itu Hizbullah cenderung memilih untuk habis-habisan memertahankan kemerdekaan di medan perang. Hal ini dibuktikan dengan pengerahan seluruh potensi pesantren untuk langsung terjun ke medan pertempuran. Disiapkan pula pasukan kiai-kiai pesantren Laskar Sabilillah dipimpin KH Masjkur dan pasukan Mujahidin yang dikomandani KH Wahab Chasbullah. Penyiapan pasukan itu dilakukan setelah kisruh di Surabaya terjadi hingga membuat KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Resolusi Jihad adalah sebuah rumusan dari KH Hasyim Asy’ari yang berjudul “Toentoetan Nadhlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik soepaja Mengambil Tindakan jang Sepadan”. Isinya antara lain memohon agar pemerintah Republik Indonesia memerintahkan untuk melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” demi tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan agama Islam. Resolusi jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari itu juga membangkitkan semangat jihad umat Islam untuk melawan Pasukan Sekutu.
Seiring dengan seruan Resolusi Jihad itu, pidato Bung Tomo setiap malam dari tanggal 1 sampai 9 November 1945 lewat siaran Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia kian membakar semangat Arek-Arek Suroboyo untuk memertahankan kemerdekaan. Bung Tomo sendiri telah mendapatkan wewenang dari KH Hasyim Asy’ari untuk bertugas membakar semangat para santri dan pemuda lewat pidato-pidatonya di radio. Bung Tomo pun pernah memberikan wejangan di rumah KH Yasin di Blauran, Surabaya, yang waktu itu dikenal sebagai Markas Kiai Blauran. Tempat itu menjadi markas bagi para pejuang, santri, dan kiai yang datang ke Surabaya untuk berjihad.
Di saat pemerintah pusat masih bingung karena merasa kekuatan militer republik masih lemah lantaran belum terbentuknya Tentara Nasional resmi, pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya berlangsung. Pertempuran heroik itu melibatkan langsung pasukan-pasukan Hizbullah, Sabilillah, dan Mujahidin, waktu itu dengan persenjataan apa adanya, termasuk ketapel.

Tokoh Ketiga NU Jabat Menteri Agama
Di saat selanjutnya, perundingan politik antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda terus berkembang. Di saat nyaris bersamaan, Amir Syarifuddin yang ketika itu adalah Menteri Pertahanan, menyadari kekuatan laskar santri dan rakyat yang tergabung dalam Laskar Sabilillah, Mujahidin, Hizbullah, dan lain-lain. Maka, atas inisiasi para ulama pesantren, pada 12 November 1946 Amir Sayrifuddin membentuk Dewan Kelaskaran yang terdiri dari pucuk-pucuk pimpinan kelaskaran ketika itu, yaitu KH Masjkur (Sabilillah), KH Zainul Arifin (Hizbullah), Dr Muwardi (Barisan Banteng), Bung Tomo (Barisan Pemberontakan), dan lain-lain.
Pada November 1947, KH Masjkur mendapat panggilan dari Presiden Soekarno untuk segera datang ke Yogyakarta yang saat itu adalah ibu kota Republik Indonesia. Di sana, Kiai Masjkur diangkat menjadi Menteri Agama. KH Masjkur merupakan tokoh ketiga NU yang mengemban amanat sebagai Menteri Agama setelah KH Wahid Hasyim dan KH Fathurrahman Kafrawi.
Pertama kali KH Masjkur menempati kursi menteri agama pada Kabinet Amir Syarifuddin II sejak 11 November 1947 hingga 29 Januari 1948. Kabinet itu berakhir karena Amir Syarifuddin mengundurkan diri setelah pelaksanaan Perjanjian Renville. Selama periode itu, KH Masjkur menghasilkan Peraturan Menteri Agama Nomor 5/1947 tentang biaya perkara pengadilan agama yang harus disetor ke kas negara, dan pada 13-16 November 1947 menyelenggarakan Konferensi Agama dengan Jawatan-Jawatan Agama seluruh Indonesia.
KH Masjkur tetap dipercaya menjabat Menteri Agama dalam Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Desember 1948). Di periode itu, ia memberlakukan Undang-Undang Nomor 19/1948 yang salah satu pasalnya mengatur tentang pemutusan perkara-perkara perdata antar umat Islam menurut hukum Islam. KH Masjkur juga memberlakukan peraturan perkara perdata di kalangan umat Islam diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Agama.

Agresi militer Belanda membuat Kabinet Hatta I terhenti pada 4 Desember 1948. Para pemimpin negara ditangkap. KH Masjkur lolos dari penangkapan. Ia kemudian ikut bergerilya, dari Yogyakarta, Solo, Ponorogo, hingga bertemu Panglima Besar Jenderal Soedirman di Trenggalek. Setelah pemerintahan Republik Indonesia dipulihkan dan dibentuknya Kabinet Hatta II sejak 4 Agustus 1949, KH Masjkur tetap dipercaya sebagai Menteri Agama.
Sebagai Menteri Agama, KH Masjkur juga menggagas dibentuknya Kantor Urusan Agama (KUA) di daerah-daerah. Dan atas perintah Bung Hatta, KH Masjkur membentuk misi haji ke Arab Saudi. Misi itu membuat dunia internasional menjadi tahu ada negara baru bernama Republik Indonesia yang telah merdeka dan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Masa kerja Kabinet Hatta II selesai pada 20 Desember 1949. Di saat itu, pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, dan setelah itu dibentuklah kabinet peralihan dengan Soesanto Tirtoprodjo menjadi Pejabat Sementara Perdana Menteri. Di kabinet peralihan, KH Masjkur tetap dipercaya sebagai Menteri Agama. Ia juga kembali menjadi Menteri Agama di Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953 - 12 Agustus 1955).
Pahlawan Nasional
Pasca kemerdekaan, selain tetap aktif di NU, KH Masjkur sempat masuk parlemen hingga 1971, dengan menjadi anggota DPR, DPR-GR, dan Ketua Golongan Islam di DPR/MPR. Di tahun 1978, ia duduk sebagai Wakil Ketua DPR hingga 1983. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Selain itu, KH Masjkur juga pernah menjadi Ketua Sarekat Buruh Muslimin Indonesia. Di bawah kepemimpinan dia, Sarekat Buruh Muslimin Indonesia mengalami kemajuan, hingga diundang berkunjung ke Uni Soviet untuk meninjau kegiatan kaum buruh sekaligus perkembangan Islam di negara komunis.
KH Masjkur juga pernah menjabat sebagai Ketua Fraksi PPP DPR pada masa pembahasan RUU tentang perkawinan di tahun 1973. Setelah menyelesaikan tugas di NU pada 1984, KH Masjkur mengembangkan pendidikan Islam di tanah air hingga wafat tanggal 19 Desember 1992.
Presiden Joko Widodo pada 8 November 2019 menetapkan KH Masjkur sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres Nomor 120/TK/Tahun 2019 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. KH Masjkur dinilai banyak berjasa, khususnya pada perkembangan haji di Indonesia. Dan salah satu kontribusi terbesarnya merupakan proyek prestisius Al-Qur'an raksasa yang menjadi Al-Qur'an pusaka dan saat ini tersimpan di Masjid Baiturrahim, Istana Negara, Jakarta.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!