Abdullah Khalil Hamed Abidin adalah seorang pejuang sekaligus pengacara yang dikenal dengan nama Abu Firas. Ia gugur dalam pertempuran di selatan Khan Younis setelah dilindas tank pasukan penjajah Israel. Sosoknya dikenal sebagai salah satu komandan elite dan pejuang paling terampil di medan perlawanan.
Abu Firas bukan hanya seorang pejuang. Ia juga simbol keteguhan. Di dalam operasi militer pertama di Khan Younis, ia mengalami luka serius yang mengakibatkan ia kehilangan salah satu mata. Oleh para pejuang, mata Abu Firas yang hilang itu disebut sebagai “telah mendahuluinya ke surga". Kakinya juga sempat cedera parah sehingga nyaris membuatnya lumpuh. Namun, bukannya mundur, ia menegaskan tekadnya dengan kalimat yang kini dikenang banyak orang: "Jihad tidak berhenti karena luka".
Ia kembali ke medan pertempuran, memimpin langsung dari garis depan, meneguhkan para pejuang dengan keberanian dan senyumnya. Di dalam pertempuran terakhirnya, ia tetap berada di garis depan hingga tank-tank musuh mengepung dan melindas tubuhnya. Namun, bagi rekan-rekannya, Abu Firas tidak pernah mati. Namanya tetap hidup sebagai simbol keberanian yang membara di dada para pejuang.

Sosok yang meninggalkan ruang sidang untuk menuju medan perlawanan ini juga dikenal sebagai pelatih yang membentuk generasi baru para pejuang. Dengan satu mata yang tersisa, ia melihat jalan menuju surga lebih jelas daripada mereka yang bermata dua.
Kepergian Abu Firas meninggalkan pesan kuat: Bahwa kepahlawanan bukan sekadar kata-kata, tetapi pengorbanan nyata dari mereka yang menepati janji kepada Allah. Seperti firman Allah dalam Al Qur’an: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya)” (QS. Al-Ahzab: 23).
Adegan gugurnya Abdullah Khalil Hamid Abidin “Abu Firas”, pengacara sekaligus komandan pasukan elite Al-Qassam dan salah satu pemimpin lapangan terkemuka, mendapat respons luas dan pujian besar. Ia terlihat menantang tank Israel di Khan Yunis sambil memegang peluncur roket “Yasin-105”, berusaha menargetkan tank “Merkava”, sebelum akhirnya dilindas oleh rantainya saat masih hidup.
Adegan itu menjadi ikon baru yang menceritakan kepada dunia tentang kisah keteguhan perlawanan, keberanian, dan pengorbanan para pejuangnya hingga napas terakhir. Dengan darah sucinya, ia menulis babak baru perjuangan Gaza menghadapi genosida Israel yang didiamkan oleh dunia.

Dari Ruang Sidang ke Medan Perang
Abu Firas, pengacara yang meninggalkan ruang sidang dan memilih medan jihad, adalah komandan lapangan kelas satu. Ia memimpin pasukannya dari garis depan, menguatkan mereka dengan senyumnya, dan menanamkan makna pengorbanan.
Di dalam pertempuran terakhir di selatan Khan Yunis, Abu Firas bertempur hingga dikepung tank-tank. Musuh mengira baja bisa membunuh para lelaki pemberani, tanpa menyadari bahwa para pahlawan gugur dalam keadaan berdiri, meninggalkan kisah yang akan tetap membara di hati para pejuang dan menjadi luka yang tak akan hilang dari ingatan penjajah.

Tidak Ada Kata Menyerah dalam Melawan Musuh
Sepupu sang syahid, Issam Hassan Abidin, berkata tentang dirinya, “Ia tidak menyerah, tidak putus asa, tidak berkata bahwa ia sudah terluka dan waktunya untuk istirahat. Sebaliknya, ia terus berjihad dengan hati sekuat singa hingga bertemu Allah sebagai syahid setelah menghantam basis tentara yang kalah di Khan Yunis. Denganmu, saudaraku Abu Firas, kami berhak untuk bangga dan bermegah.”
Ia menambahkan, “Ya Allah, kami serahkan kekasih kami kepada-Mu. Terimalah ia bersama para syuhada, orang-orang yang jujur, dan orang-orang saleh. Jadikan ia pemberi syafaat bagi kami di hari kiamat. Ya Allah, teguhkan hati kami, hati pamanku, dan seluruh keluarga kami. Berilah kami kesabaran atas perpisahan ini. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.
Komandan Lapangan Kelas Tinggi
Dr. Iyad Al-Qarra berkata, “Ia ikut serta dalam operasi penyerbuan ke salah satu pos penjajah di timur Khan Yunis, dan di sanalah ia gugur”.
Ia menegaskan bahwa Abu Firas adalah komandan lapangan yang ikut serta dalam operasi 7 Oktober, beberapa kali terluka, dan selamat dari berbagai upaya pembunuhan, yang terakhir hanya dua minggu lalu.
Ia menambahkan, “Ia mendatangi musuh di markas mereka, sementara mereka pengecut, hanya mencarinya dengan pesawat di sana-sini”.

Para Pahlawan Gugur dalam Keadaan Berdiri
Di dalam peringatan syahidnya, aktivis Khaled Safi menulis, “Pengacara Abdullah Khalil Abidin (Abu Firas), komandan elite dan salah satu pejuang paling mahir. Di alam serangan pertama ke Khan Yunis, ia terluka parah, kehilangan salah satu matanya, dan kakinya nyaris membuatnya tak bisa berjalan. Namun ia tersenyum dan berkata, 'Jihad tidak berhenti karena luka'. Ia pun kembali ke medan perang seakan tak terjadi apa-apa.
"Di dalam pertempuran terakhir di selatan Khan Yunis, ia berada di garis terdepan, bertempur hingga dikepung tank-tank. Mereka melindasnya, mengira baja dapat membunuh manusia! Mereka tidak tahu bahwa pahlawan gugur dalam keadaan berdiri… dan kisah mereka tetap abadi.”
Kepahlawanan dari Jarak Nol Terus Berlanjut
Di dalam konteks yang sama, Brigade Al-Qassam mengumumkan, pasukan mereka menyerbu salah satu pos baru penjajah di tenggara Khan Yunis dan bertempur dari jarak sangat dekat. Mereka menargetkan sejumlah tank “Merkava 4” dengan bahan peledak “Al-Shawaz” dan roket “Yasin”, serta melumpuhkan tentara yang berlindung di rumah-rumah dengan granat tangan dan senjata ringan. Operasi itu berlangsung berjam-jam dan menyebabkan kerugian besar di pihak penjajah.
Abu Firas telah pergi sebagai syahid, namun gambarnya yang berlumuran darah akan tetap hidup di ingatan. Suaranya di garis depan akan terus menjadi saksi bahwa kepahlawanan bukanlah kata-kata, tetapi laki-laki yang menepati janji mereka kepada Allah, lalu pergi ke surga dengan kepala tegak.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!