Kita adalah umat pecinta sejarah. Kita membacanya secara perlahan dan hati hati. Ia adalah memori umat yang kita ambil pelajarannya untuk beramal hari ini. Walaupun sebagian dari kita, menganggapnya hanya sebagai sebuah kaset lama yang berisi kumpulan kisah, kejadian dan hikayat semata.
Oleh karena itu, trik dalam membaca sejarah tidak serupa dengan trik membaca selainnya. Menurut Wadhah Khanfar, membaca sejarah adalah operasi kontinyu yang membutuhkan kesadaran lebih mendalam dari pada hanya sekedar menghapal riwayat.
Peristiwa Perang badar, misalnya. Adalah puncak dari strategi dan akumulasi respon peristiwa yang dilakukan Nabi ﷺ dan Sahabat, dalam menghadapi Kafilah dagang kafir Quraish yang hendak berdagang di negeri syam. Sebelum pertempuran itu terjadi, ada kejadian yang akan membuat kita takjub.
Tersebutlah dua orang sahabat, yaitu Hudzaifah bin Al-Yaman dan ayah nya Al-Yaman Husail bin jabir. Mereka sedang berada di luar kota Madinah untuk suatu keperluan. Tak disengaja mereka bertemu dengan pasukan Kafir Quraisy, sontak pasukan kafir Quraisy menangkap mereka dengan dalih bahwa mereka hendak bergabung dengan pasukan kaum muslimin.
Hudzaifah dan ayahnya membela diri, berusaha meyakinkan bahwa dirinya bertolak menuju Madinah bukan untuk bergabung dengan pasukan kaum muslimin. Rupanya pasukan Kafir Quraisy terpengaruh dengan kelihaian Hudzaifah dan ayahnya, sehingga mereka melepaskannya dengan syarat berjanji tidak boleh bergabung dengan barisan pasukan kaum muslimin. Dan keduanya pun menyepakatinya.
Sesampainya Hudzaifah bin Al-Yaman dan ayahnya di Madinah, mereka menceritakan apa yang terjadi kepada Nabi ﷺ, tanpa berpikir panjang nabi ﷺ memerintahkan Hudzaifah dan ayahnya untuk tidak melanggar perjanjian yang sudah disepakatinya, yakni tidak ikut bergabung dengan pasukan kaum muslimin. Meski saat itu Nabi ﷺ membutuhkan mereka berdua, karena jumlah pasukan kaum muslimin saat itu tidak begitu banyak.
Dalam potongan kisah tersebut, Nabi ﷺ memberi isyarat yang kuat bahwa perjanjian tidak boleh dilanggar, walau dengan pihak yang pernah menyakiti, mencela, menindas dan menyiksa mereka sekalipun. Karena Islam adalah agama yang memerintahkan pemeluknya untuk memiliki keluhuran akhlak.
Komitmen menjaga janji ini, tidak terbatas pada perjanjian resmi yang tertera di atas kertas yang kemudian sama-sama di tanda tangani, namun ia mencakup semua janji yang pernah diungkapkan. Baik yang besar maupun yang kecil. Baik dengan kawan maupun lawan. Karena pada dasarnya, ketika janji itu terucap, Allah lah saksinya.
Berjanji itu bukan lip service. Bukan senjata untuk meyakinkan orang atau cara menyelamatkan diri, yang kemudian setelah janji itu terucap, terbebaslah dari kewajiban memenuhinya. Sungguh, betapa indahnya Islam, andaikan penduduk bumi seluruhnya mengetahui hakikat Islam dan bersih hatinya, pastilah mereka akan masuk Islam dengan berbondong-bondong.
Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah, setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S An-Nahl ayat 91)
Referensi :
- Muhàdharah Siroh Nabawiyyah, Wadhah Khanfar
- Buku Madrasah Muhammad, Jihad Turbani
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!