Sebagai negara yang berasaskan demokrasi dan mengusung semangat pembangunan, sudah tentu pendidikan di Indonesia diharapkan menjadi pabrik pencetakan sumber daya manusia yang unggul dalam rangka menyukseskan seluruh cita-cita bangsa. Memberikan pengaruh terhadap berbagai macam bidang, semisal teknologi, manajemen, dan pembangunan.
Di dalam perkembangannya, pendidikan di Indonesia telah melalui banyak perubahan dan nilai. Nilai pendidikan yang diabadikan melalui setiap kurikulum pengajaran telah membawa Indonesia pada sebuah peradaban. Tetapi, untuk bisa mengatakan peradaban yang dimaksud itu adalah kemajuan, kesejahteraan, atau sebaliknya merupakan kemunduran, maka kita harus merefleksi kembali nilai itu.
Sistem pemerintahan yang mengatur kebebasan setiap pemimpin atau presiden untuk berhak mengatur negara secara prerogatif telah membuat susunan konsep pendidikan di Indonesia tidak pernah punya satu warna. Bahkan, dalam proses regulasinya, Indonesia selalu dihadapkan dengan gengsi internasional yang memberatkan kepada konsep belajar dan mengajar.
Belum selesai pada transformasi perkembangan, kini dunia pendidikan Indonesia harus memasuki realitas baru yang disebut industri pendidikan. Perubahan nilai jasa menjadi nilai tukar yang dalam teorinya disebut sebagai komodifikasi telah menggeser pendidikan Indonesia yang awalnya dijiwai semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, sekarang semangat yang dimaksud harus diikuti dengan kekuatan finansial yang kuat.
Komodifikasi adalah proses mengubah nilai-nilai menjadi nilai tukar, atau mengubah suatu benda menjadi komoditas yang bernilai ekonomis. Chris Barker dalam bukunya “Teori dan Praktik” mengatakan, komodifikasi merupakan konsep yang luas yang tidak hanya menyangkut masalah produksi, komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan saja, tetapi juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi.
Pendidikan seharusnya menjadi kebutuhan yang dipastikan terpenuhi, baik secara akses maupun fasilitas, bagi seluruh anak bangsa. Tetapi pada kenyataannya, industri telah membentuk jaringan pendidikan dalam dua variabel besar pendidikan, khususnya sekolah formal di Indonesia, yang disebut sekolah negeri dan sekolah swasta. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diselenggarakan oleh pemerintah, namun juga masyarakat (swasta). Data tahun 2023 menunjukkan peran swasta mulai tampak di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di sekolah swasta mencapai 30%, sedangkan di sekolah negeri hanya 12%.
Di dalam pengelolaannya, sekolah swasta tidak hanya berfungsi sebagai fasilitator pendidikan, tetapi membawa sekolah sebagai jasa yang punya bayaran tinggi. Swasta melalui yayasan berhak mengatur dan menentukan semua pembiayaan di sekolah secara mandiri tanpa ada intervensi pemerintah. Sedangkan sekolah negeri, sesuai aturan Kemendikbud Nomor 60 Tahun 2011, dilarang melakukan pungutan biaya pada jenjang sekolah SD dan SMP. Sekolah negeri memiliki batasan dan aturan yang ketat, baik dari pemerintah pusat maupun daerah, soal manajemen keuangan sekolah dan SPP siswa.
Perbedaan yang ditunjukkan oleh sekolah swasta melalui beberapa kategori unggul membuat sekolah negeri mulai tidak diminati masyarakat. Fasilitas, kurikulum, lingkungan, angka siswa, seragam, hingga status kepemilikan di sekolah swasta, membuat kepercayaan orang tua untuk menitipkan anaknya tinggi. Jaminan keamanan dan kenyamanan terhadap berbagai isu kekerasan, pem-bully-an, dan bentuk penyimpangan lainya, adalah tawaran lain yang sering kali disodorkan sekolah swasta ketika menawarkan jasa.
Itulah bisnis. Menurut Louis E. Boone, bisnis terdiri dari seluruh aktivitas dan usaha untuk mencari keuntungan dengan menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan bagi sistem perekonomian. Beberapa bisnis memroduksi barang berwujud, sedangkan yang lain memberikan jasa. Pembuatan kurikulum dengan mengedepankan sikap, adab, dan nilai-nilai agama yang kuat, membuat sekolah swasta adalah model pilihan sekolah yang menarik di abad ini. Banyak konglomerat dan donatur lantas menggeluti bisnis pendidikan sekolah swasta. Bisnis yang dimaksud ini adalah tawaran jasa, fasilitas, dan program.
Kebebasan pengelolaan yang dimiliki oleh sekolah swasta membuat harga/biaya masuk sekolah sangat tinggi. Harga masuk sekolah formal swasta juga mengikuti tren inflasi Indonesia, sehingga kenaikan biaya terus terjadi di setiap tahun. Persaingan bisnis sering pula terjadi di antara setiap sekolah swasta. perbandingan demi perbandingan adalah isi evaluasi yang sering terjadi di setiap rapat tahunan sekolah. Penurunan angka siswa yang mendaftar akan dinilai sebagai kurangnya daya tarik sekolah dan kinerja guru.
Melalui sales and marketing, sekolah swasta terus melakukan penawaran agar memenuhi kuota sekolah. Lewat perputaran uang yang dihasilkan dari siswa yang mendaftar, sekolah swasta mampu mandiri dalam pembangunan sekolah dan menggaji guru. Maka, bisnis pendidikan sekolah swasta bukan hanya mendatangkan keuntungan bagi stakeholder guru dan kepala sekolah saja, tetapi juga keuntungan untuk pemilik yayasan atau lembaga pendidikan yang menaungi sekolah tersebut.
Kualitas produk siswa yang dihasilkan adalah tantangan sekolah swasta. Membentuk sumber daya manusia dari mereka yang telah memberikan anggaran besar harus menjadi tanggung jawab sekolah terhadap nilai yang didapatkan siswa.
Tentunya, setiap sekolah mempunyai keunggulan masing-masing, termasuk swasta. Ada yang memiliki keunggulan dari kualitas guru, ada yang keunggulannya dari manajemen dan fasilitas, hingga harga murah. Namun, daya tawar terhadap keunggulan membuat sekolah swasta sering kali tidak melakukan pembaharuan terhadap hasil siswa yang mereka cetak.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!