Kongres Budaya Umat Islam Indonesia dibuka langsung oleh Wakil Ketua Umum MUI, Drs. KH. Basri Bermanda, MBA. Kongres itu merupakan salah satu program utama dari Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam (LSBPI) MUI. Sebagai bagian dari rangkaian acara Peringatan Milad ke-48 MUI, kongres itu mengangkat tema “Mengukuhkan Peran Kebudayaan Islam Indonesia dalam Merekatkan Kebhinekaan Bangsa”.
Saat menyampaikan kata sambutan, KH Basri Bermanda menegaskan, kongres itu memiliki posisi sangat strategis bagi Indonesia. Sebab, Indonesia sangat besar dan luas, baik wilayahnya, penduduknya, bahasanya, sukunya, maupun budayanya dan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Sehingga, MUI perlu mengadakan Kongres Budaya Umat Islam Indonesia sebagai upaya untuk membuat sarana pembinaan budaya agar sesuai ajaran Islam.
Sejumlah tokoh dan pemangku kepentingan terlihat hadir dalam kegiatan tersebut. Kongres itu juga menghadirkan Seminar Kebudayaan Islam Indonesia. Tampil sebagai pembicara Prof. Dr. Muhadjir Effendy (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia); Dr. Jeje Zaenudin (Ketua Bidang Seni Budaya MUI Pusat); Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia); dan Dr. H. Zainut Tauhid Sa’adi (Wakil Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia). Yang menarik, ketika hari telah beranjak sore, kongres diisi paparan Materi Kebudayaan oleh Seniman Praktisi Budaya, yang disampaikan oleh tokoh seni Indonesia, H. Rhoma Irama.
Menurut Muhadjir Effendy, ada banyak teori tentang budaya. Salah satunya disampaikan Pitter L Berger. Lewat teori dialektika budaya, Berger mengatakan, semua yang ada di jagad raya adalah ciptaan Allah (sang maha pencipta). Sedangkan yang mendapatkan tetesan cahaya nur sang pencipta itu hanya manusia. Tidak ada makhluk lain yang bisa menjadi seseorang kreator, termasuk kreator konten. Hanya manusia.
“Kreator konten adalah pancaran dari cahaya Allah sebagai sang maha pencipta atau al khaliq. Selain manusia, tidak bisa menjadi pencipta. Termasuk kalau sudah mulai dilakukan oleh Artificial Intelligence, itu juga dia bukan penciptanya. Sebab, dia bisa melakukan itu karena dia diciptakan oleh manusia,” katanya.
Muhadjir menyebut, hanya manusia yang memiliki kemampuan berdaya cipta. Daya cipta itulah inti dari budaya. Tidak mungkin ada budaya kalau tidak memiliki daya cipta, dan yang memiliki daya cipta itu hanya manusia. Maka, ketika kita bicara budaya, itu berarti karya cipta manusia. Lalu mengapa disebut budaya Islam? Itu karena yang menciptakannya adalah orang yang beragama Islam.
“Makanya di dalam Al Qur’an, kata wahyu itu bisa berarti macam-macam. Wahyu dari Allah kadang-kadang juga berarti naluri. Binatang yang bisa membuat sarang, sarang itu bukan cipta, tetapi dia hanya didorong oleh naluri saja. Naluri itu ciptaan Allah. Dan dia tidak akan pernah mengalami proses kreatif. Sarang itu dari zaman dulu ya begitu-begitu saja, tidak akan ada perubahan. Sekarang ada teknologi materi yang bisa menggantikan kayu-kayu yang sudah lunak dengan plastik, tetapi kita belum pernah dengar sarang lebah dibuat dari plastik. Ini artinya kemampuan dia betul-betul terbatas untuk membuat sesuatu. Dia bukan sang pencipta, bukan kreator, hanya manusia yang bisa,” urainya.
Muhadjir melanjutkan, dalam menciptakan sesuatu, manusia terikat dengan media dan ide. Ide ada di dalam pikiran manusia sedangkan media ada di jagad raya ini. Media dengan gagasan yang ada di dalam otak manusia akan menentukan ekspresi budaya menjadi aneka produk. Misalnya kursi atau baju. Ketika budaya itu diwujudkan di alam kesadaran kita, itulah ekspresi budaya. Termasuk dalam ekspresi itu adalah cara berpakaian.
Budaya Dipengaruhi Iman
Sementara itu, Dr. Jeje Zaenuddin menjelaskan, Allah mengutus para nabi dengan bahasa kaumnya, sebagaimana disebutkan dalam Surah Ibrahim ayat 4. Maka, demikian pula halnya para ulama yang melanjutkan risalah dakwah para anbiya. Hal itu dilakukan dengan pendekatan budaya kaumnya.
“Dakwah adalah gerakan perubahan kepada perbaikan dalam segala aspek kehidupan. Budaya sebagai hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat manusia, tentu sangat dipengaruhi oleh apa yang diimani dan dipedomani masyarakat manusia itu sendiri. Ketika asas yang dipedomi manusia itu adalah akidah Islam, jadilah apa yang dihasilkan oleh rasa, karsa, dan karyanya itu, sebagai budaya yang dinisbatkan kepada pelakunya yaitu muslim, atau kepada apa yang diimaninya yaitu Islam. Sehingga menjadi absah untuk budaya muslim atau budaya Islam,” ungkapnya.
Jeje Zaenuddin pun menyebut, dakwah tidak selamanya menciptakan kebudayaan yang benar-benar baru. Banyak budaya lama yang baik dan sejalan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam, yang kemudian dinilai harus dipertahankan keberlangsungannya, bahkan dilegitimasi sebagai bagian dari ajaran Islam. Sebagian dari budaya yang eksis di tengah masyarakat juga dimodifikasi dan diberi norma baru agar sejalan dengan prinsip ajaran Islam, lalu dijadikan sebagai bagian dari instrumen dalam menyampaikan dakwah Islam.
“Sejarah perkembangan dakwah Islam di Indonesia sangat kaya dengan fakta bahwa para ulama telah berhasil mentransformasikan norma-norma ajaran Islam yang agung ke dalam semua unsur budaya masyarakat Indonesia,” ucapnya.
Nilai-nilai ajaran Islam yang didakwahkan para ulama Indonesia dari masa-ke masa, dinilai Jeje Zaenuddin, telah mencapai banyak keberhasilan. Di antaranya adalah telah mampu memerankan fungsinya sebagai filter penyaring budaya lokal yang telah ada; melegitimasi dan melestarikan budaya lama yang sesuai dengan Islam; memodifikasi budaya lama ke dalam bentuk yang Islami; menginspirasi dan memelopori lahirnya budaya-budaya Islami yang baru dalam berbagai bentuknya; dan menjadi alat yang memproteksi masyarakat dari serbuan budaya asing yang bertentangan dengan budaya Islam.
Dakwah kebudayaan di Indonesia telah memiliki contoh dan model di masa lalu. Jadi sangat memungkinkan untuk bisa terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Termasuk di era globalisasi informasi saat ini. Keterbukaan zaman global telah menyebabkan serbuan berbagai adat budaya asing yang tidak sejalan dengan Islam tidak lagi dapat dibendung. Serbuan itu lantas memasuki seluruh sudut kehidupan masyarakat muslim di dunia, termasuk di Indonesia.
“Maka menjadi keniscayaan (terutama bagi LSBPI MUI) untuk melakukan usaha peningkatan kesadaran dan literasi di kalangan para ulama dan budayawan, tentang pentingnya dakwah kebudayaan di era sekarang ini. Agar nilai-nilai ajaran Islam terus mampu menginspirasi dan memandu lahirnya kreativitas budaya yang positif. Serta dapat menjaga masyarakat, khususnya generasi muda, dari arus budaya asing yang destruktif,” tegasnya.
Menghadapi Tantangan Zaman
Susanto Zuhdi di dalam paparannya mengatakan, kerap kali Islam dilihat hanya sebatas yang ada di wilayah Timur Tengah. Sehingga, muncul kesalahan persepsi hingga lahir tuduhan yang dialamatkan kepada Islam. Sebab, ketika Islam yang dilihat hanya di Timur Tengah, maka Islam dituduh terkait adanya teror, konflik, perang, dan lain-lain. Padahal dunia Islam tidak hanya di Timur Tengah. Dunia Islam juga muncul di tempat-tempat lain.
“Dunia akan kehilangan suatu peradaban jika Islam tidak hadir. Di dalam sejarah disebutkan, peradaban Islam hanya dalam waktu beberapa dekade sesudah Nabi Muhammad, itu sudah menguasai bagian utara Afrika sampai ke Asia. Penyebaran atau perkembangan yang sangat luar biasa tidak mungkin kalau tidak dengan semangat apa yang dibawa Islam sebagai rahmatan lil alamin. Tanpa semangat rahmatan lil alamin, saya kira tidak mungkin suatu agama atau suatu ajaran yang kemudian mendorong kebudayaan yang berpadu dengan kebudayan-kebudayaan setempat atau kebudayan lokal,” urainya.
Susanto Zuhdi menilai, Islam yang ada di Indonesia membawa perkembangan baru dalam budaya masyarakat. “Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang lentur. Perpaduannya dengan nilai-nilai tradisi budaya lokal melahirkan hibrida-hibrida baru,” ujarnya.
Sedangkan Zainut Tauhid menyebut saat ini Islam sedang menghadapi tantangan-tantangan terkait aneka perubahan yang terjadi di sekitar kita. Menurut dia, umat Islam sekarang ini sedang menghadapi tantangan baru yang sangat kompleks. Kemajuan teknologi informasi yang begitu dahsyat telah membentuk watak masyarakat yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.
“Sehingga dibutuhkan peran para pakar dalam bidang agama, Islamic scientist, Islamic studies, untuk mengembangkan kajian-kajian akademik agar Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman. Islam telah memberikan ruang yang sangat luar biasa bagi pemeluknya untuk melakukan tafsir dan pemaknaan ulang atas ajaran-ajarannya yang bersifat ijtihad, agar dapat diterima masyarakat,” katanya.
Kongres itu pun berjalan dengan baik. Peserta terlihat tetap mengikuti acara hingga selesai. Tentu, ada harap yang terselip, agar tujuan penyelenggaraan kongres, seperti dikatakan Ketua Panitia Kongres Budaya Umat Islam Indonesia, Ustadz Erick Yusuf, bahwa kegiatan yang dibentuk oleh para tokoh-tokoh seniman dan budayawan serta para ulama itu bertujuan untuk memberikan tuntunan dalam konteks seni budaya Islam yang positif pun dapat terwujud. Sehingga, ia akan mampu membangkitkan kembali semangat kebudayaan Islam di tengah maraknya infiltrasi budaya luar. Juga dapat menemukan formula terbaik agar arah dakwah di Indonesia bisa mendapatkan tempat di masyarakat. Dan budaya masyarakat pun kian islami.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!