Israel kian merasakan kebutuhan akan tambahan pasukan, di tengah meningkatnya angka prajurit cedera dan keengganan komunitas Haredi — Yahudi ultra-Ortodoks — untuk bergabung dalam dinas militer. Media Israel, Yediot Ahronot, melaporkan, militer Israel kini membutuhkan tambahan 7.000 tentara. Rencana awal menyebutkan bahwa militer akan merekrut 3.000 orang dari komunitas Haredi sejak Agustus 2024. Namun, komunitas Haredi menolak wajib militer.
Pada periode sebelumnya, dari sekitar 13.000 kandidat yang berpotensi, hanya 1.200 yang akhirnya bergabung dengan militer. Pemerintah Israel merencanakan untuk meningkatkan jumlah wajib militer Yahudi Haredi hingga 4.800 per tahun pada 2025 dan 2026. Namun, hanya sedikit dari mereka yang merespon seruan ini.
Pada Juli 2024, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Galant, menyetujui rencana militer untuk mulai merekrut anggota komunitas Yahudi Haredi. Ia menyebut kebutuhan ini sebagai “kebutuhan operasional”. Namun, komunitas Yahudi Haredi tetap memertahankan prinsip mereka untuk fokus pada aktivitas memelajari agama dan menjaga jarak dari dunia sekuler.
Pada bulan Juni, Mahkamah Agung Israel mengeluarkan keputusan yang mewajibkan komunitas Yahudi Haredi untuk mengikuti dinas militer dan menghentikan dukungan finansial untuk lembaga keagamaan yang menolak mewajibkan para muridnya untuk mengikuti dinas militer.
Selain krisis perekrutan, Israel mengakui menghadapi situasi sulit karena jumlah tentara yang cedera kian meningkat. Sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023, sekitar 12.000 prajurit dilaporkan cedera. Rata-rata, setiap bulan sekitar seribu tentara baru terluka, baik di front selatan (Gaza) maupun utara (Lebanon). Banyak dari mereka yang mengalami cedera parah dan tidak akan kembali bertugas.
Resistensi Kaum Haredi: Menolak Wajib Militer
Kaum Yahudi Haredi, yang mencapai sekitar 13% dari total populasi Israel, terus menunjukkan penolakan terhadap wajib militer. Kaum itu berpendapat bahwa mereka telah mendedikasikan hidup untuk memelajari Taurat, dan meyakini bahwa keterlibatan dalam militer akan mengancam identitas religius dan keutuhan komunitas mereka. Saat ini, kaum Yahudi Haredi yang berusia 18 tahun bisa menghindari wajib militer dengan memeroleh penundaan tahunan dengan alasan sedang menjalani pendidikan agama, hingga mencapai usia 26 tahun, yang berarti pembebasan permanen dari dinas militer.
Tekanan Terhadap Netanyahu
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menghadapi tekanan dari partai-partai religius sayap kanan di Israel semisal Shas dan United Torah Judaism. Partai-partai tersebut telah menjadi bagian penting dari koalisi pemerintahannya. Untuk menjaga stabilitas pemerintahannya, Netanyahu dikabarkan berjanji kepada kedua partai itu untuk mengesahkan undang-undang yang akan membebaskan kaum Haredi dari wajib militer. Langkah ini menuai kecaman dari oposisi, yang berpendapat bahwa kebijakan tersebut hanya akan memerburuk krisis perekrutan tentara di Israel.
(Sumber: Al jazeera Mubasher)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!