Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 6): "KPU, Pemilu, dan Korupsi"

Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri keenam dari kisah beliau. Selamat menikmati.

Lebih kurang sebulan pasca pelantikanku sebagai Penasehat, KPK menangkap Mulyana W Kusumah. Publik kampus, LSM, dan aktivis geger. Sebab, beliau adalah Wakil Ketua KPU, lembaga yang bertanggung jawab melahirkan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota legislatif. Tragisnya, selain sebagai dosen dan aktivis, Mulyana W Kusumah juga adalah mantan Ketua LBH Jakarta.

Penangkapan Mulyana W Kusumah kala itu merambat ke Ketua dan beberapa Anggota KPU yang lain. Kuusulkan agar anggota KPU, HA, juga ditangkap. Tetapi, “Jika beliau ditangkap, maka ratusan pegawai KPU juga harus ditangkap,” kata Ketua KPK dalam Rapim.

Pemilu 1955 dan Demokratisasi Rakyat

Pemilu 1955 adalah pesta rakyat pertama sejak Indonesia merdeka. Pemilu ini tercatat paling demokratis, jurdil, aman, dan damai. Peserta Pemilu 1955 tidak hanya parpol,tetapi terdiri dari ormas, parpol, dan individu. Bahkan, polisi, TNI, dan PNS bisa menjadi Pemilih dan Caleg. Dahsyatnya, partisipan Pemilu 1955 adalah yang tertinggi sepanjang Indonesia merdeka. Waktu itu, sejumlah 87,66 persen rakyat menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR. Jumlah pemilih itu meningkat menjadi 89,33 persen dalam pemilihan anggota Badan Konstituante. Padahal, lebih dari separuh penduduk Indonesia saat itu buta huruf.

Pemilu 1955 dapat juga dikatakan sebagai proses demokratisasi rakyat. Sebab, Indonesia baru 10 tahun merdeka. Minim pengalaman bernegara. Terbatas keterampilan berpemerintahan. Perekonomian nasional masih terseok-seok. Apalagi, lebih dari separuh penduduk masih buta huruf. Namun, dari gunung-gunung, penduduk berjalan kaki ke kota, menuju TPS. Ada yang menggunakan perahu menuju tempat-tempat pemungutan suara. Ada yang mendayung “getek” berjam-jam, demi menyalurkan hasrat demokrasinya.

Burhanudin Harahap, Perdana Menteri termuda (37 tahun) dari Masyumi, berhasil dengan gemilang melaksanakan Pemilu tersebut. Tiada Petugas KPPS atau TPS yang meninggal dunia. Tidak ada bentrokan di antara pendukung partai. Apalagi mencurangi suara rakyat. Tidak ada serangan fajar. Tiada “money politic.” Apalagi politik transaksional. Sebab, pelaksana Pemilu adalah Masyumi, Partai Islam ideologis yang berpegang teguh dengan nilai-nilai amanah, adil, dan jujur. Itulah sebabnya, Pemilu ini diakui dan dipuji oleh dunia internasional.

Pemilu Orde Baru dan Korupsi

Di Indonesia, selama Orde Lama, tidak ada Pemilu. Soekarno melalui MPRS mengangkat dirinya sebagai Presiden seumur hidup. Inilah korupsi politik terbesar dalam masa Orde Lama. Akhirnya beliau dihalau dari istana oleh gerakan mahasiswa, tahun 1967. Tragisnya, Soekarno, Proklamator, Presiden Pertama, Pemimpin Besar Revolusi, dan Panglima Tertiggi ABRI, meninggal dunia dalam status tahanan kota.

Pada era Orde Baru, Pemilu pertama kali dilakukan tahun 1971. Ada 9 partai dan satu ormas menjadi peserta Pemilu. Yaitu NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba. Satu ormas, disebut dengan Sekretariat Bersama Golkar, buatan Soeharto yang didukung TNI, menjadi Peserta Pemilu tersebut.

Pemilu 1971 ini penuh intimidasi, penipuan, dan kecurangan. Sebagai wartawan Tabloid KAMI Sulsel, kutemukan banyak pelanggaran. Ada salah satu desa yang TPS-nya di kolong rumah. Desa ini di luar kota Makassar. Seorang pemilih mencoblos gambar partai Islam. Namun, paku yang diikat tali tersebut ditarik ke atas. Pemilih ini kembali mencoblos lambang partai tersebut. Paku ditarik lagi, lebih keras. Pemilih ini melihat ke atas. Dari lobang lantai yang terbuat dari papan, kelihatan sangkur senjata mengarah ke dirinya. Pemilih ini, demi keamanan nyawanya, menusuk lambang Golkar. Tali tidak ditarik lagi. Itulah salah satu contoh intimidasi terhadap pemilih.

Seorang PNS di Makassar pulang kampung sehari sebelum pencoblosan. Beliau mau menggunakan hak pilihnya di desa kelahirannya. Keesokan harinya, pagi-pagi, beliau menuju TPS. Tiba di lokasi, sepi. Tidak ada orang. Beliau heran. Selidik punya selidik, pencoblosan sudah dilakukan sehari sebelumnya. Begini kisahnya kepadaku: "Orang kampung disuruh berkumpul di rumah Kepala Desa. Anggota TNI yang jadi Kepala Desa menanyakan, siapa yang tidak setuju Golkar. Tidak ada yang berani angkat tangan. Apalagi bersuara. Kepala Desa pun suruh mereka pulang. Beliau dan aparatnya lalu menusuk semua kartu suara tersebut. Suara untuk Golkar seratus persen di desa ini." Inilah contoh penipuan dalam Pemilu 1971. Korupsi gaya Orba.

Aku antri di TPS di Jalan Latimojong, Makassar. Petugas TPS menyerahkan kartu kepadaku. Kuamati. Ada nomor kode dengan pensil! Kuminta kartu yang baru. Ternyata, sama saja. Semua kartu suara diberi tanda kode tertentu dengan pensil. Para wakil partai yang hadir mengetahui protesku. Akhirnya, dilakukan pencoblosan ulang. Namun, banyak Pemilih sudah pulang. Itulah salah satu contoh kecurangan dalam Pemilu 1971. Wajar jika Golkar menang besar. Suaranya 62,8 persen secara nasional.

Saya dan beberapa kawan jalan kaki dari GOR Senayan ke Diponegoro 16, Sekretariat PB HMI. Sebab, jalanan macet total. Semua bus PPD penuh penumpang. Bahkan, penumpang bergantungan. Busnya pun berjalan merayap. Ini karena puluhan ribu massa pulang dari menghadiri kampanye terakhir PPP. Inilah Pemilu kedua dalam masa orde baru, 1977. Hanya ada tiga Peserta Pemilu, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.

Beberapa hari setelah pencoblosan, seorang kawan dari Bandung datang ke Sekretariat PB HMI. Sebagai Sekjen, saya melayaninya. Beliau mengisahkan “tragedy” di Bandung kurang lebih sebagai berikut: Ketua Umum salah satu partai mendatangi rumah jabatan Pangdam. Ketum ini menginformasikan, hasil penghitungan suara yang dimuat secara berkala setiap hari, tidak sampai ke nomor urut dirinya sebagai Caleg. Panglima langsung telepon Gubernur. Panglima minta, hasil penghitungan suara yang akan disiarkan besok harus sampai ke nomor urut Ketum Partai ini. Mendengar kisah ini, kuharamkan diri untuk ikut Pemilu.

Pemilu Orde Reformasi dan Korupsi

Pemilu 1999, pasca lengsernya Soeharto, relatif baik dibandingkan yang terjadi semasa Orba. Salah satu sebabnya, anggota KPU terdiri dari perwakilan partai-partai peserta Pemilu. Jadi, mereka saling mengawasi. Namun, di Pemilu 2004, KPU-nya sudah terdiri dari individu-individu, baik dari akademisi maupun LSM. Hasilnya, terjadi musibah. KPU terlibat korupsi. Lebih parah dari Pemilu selama Orba.

Hari itu, Ahad, 10 April 2005, Mulyana W. Kusumah, Wakil Ketua KPU, ditangkap KPK. Saya tertegun. Sebab, Mulyana adalah seorang akademisi, tokoh LSM nasional, pendorong demokratisasi, dan promotor penegakan hak asasi manusia di Indonesia. “Kasus ini bisa kujadikan sebagai tema skripsiku,” batinku. Niatku tercapai. Skiripsiku di bidang Ilmu Hukum tentang kasus Mulyana ini dinyatakan lulus dengan predikat cum laude.

Dalam Rapim rutin, kuusulkan agar Anggota KPU, HA, juga ditahan. Alasanku, beliau juga menerima gratifikasi tanpa dilaporkan ke KPK. Sebab, menurut pasal 12B UU Tipikor, PN dan ASN yang terima hadiah harus lapor ke KPK. Rentang waktunya 30 hari kerja sejak hadiah diterima. Jika hadiah yang diterima PN atau PNS bernilai sepuluh juta rupiah ke atas, maka penerima harus membuktikan bahwa penerimaan tersebut bukan suap. Jika hadiah tersebut kurang dari sepuluh juta rupiah, maka Jaksa KPK yang akan membuktikan uang tersebut adalah suap.

Jika PN atau ASN tidak melaporkan hadiah yang diperoleh hingga melampaui 30 hari kerja, maka penerima gratifikasi dapat ditetapkan sebagai tersangka. Sebab, hadiah yang diterima PN atau ASN tersebut sudah berstatus penyuapan. “Jika HA ditetapkan sebagai tersangka, maka kita harus menangkap ratusan pegawai KPU,” kata Ketua KPK, menanggapi usulku. Sebab, menurut dia, mereka sama dengan HA yang juga menerima THR.

KPU dan Penyadapan KPK

Mulyana, sewaktu diperiksa Penyidik KPK, membantah bahwa beliau menyuap Anggota BPK. Namun, sewaktu Penyidik memerlihatkan rekaman penyerahan sejumlah uang olehnya, beliau pun pasrah. Akhirnya, kasus ini merebak hingga menyeret Ketua dan Anggota KPU lainnya. Atas kerja sama Mulyana tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhi hukuman relatif rendah, yaitu penjara dua tahun dan tujuh bulan.

Kasus Mulyana W Kusumah itulah yang membuat saya menyarankan kawan-kawan di Deputi Penindakan agar melakukan proses penyadaran “pasien” mereka. Saat “pasien” memiliki kesadaran atas kesalahan yang dilakukan, dia akan mengaku bersalah. Kesadaran “pasien” tersebut akan membantu tugas-tugas Aparat Penegak Hukum (APH), sehingga menjadi lebih efektif dan efisien. Jadi, saya sarankan, jika tersangka kerja sama dengan penyelidik, penyidik, dan JPU, maka aibnya tidak usah dibuka di pengadilan. Itulah sebabnya, Mulyana W Kusumah mendapat hukuman yang relatif rendah.

Lain halnya jika tersangka tidak mau bekerja sama. Padahal, Majelis Hakim meminta minimal dua alat bukti dalam persidangan. Di dalam kondisi ini, JPU dapat mengungkapkan fakta, data, dan barang bukti yang ada, sekalipun merupakan aib pribadi terdakwa.

Itulah salah satu indikator keberhasilan APH, khususnya di KPK. Kuncinya, proses penyadapan. Inilah kekuatan KPK. Kekuatan ini yang selalu diobok-obok koruptor dan gengnya, baik yang ada di pemerintahan maupun para konglomerat. Tragis! Sebab, korupsi di era reformasi lebih “jorok” daripada masa Orde Baru dan Orde Lama!

(Solo, 11 Maret 2023)

Baca Juga:

Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 5): “ITB dan Lagu Happy Birthday”
Dari hasil autopsi menunjukkan ada gen bunuh diri pada pemuda tersebut. Spontan, kutanyakan, “apakah mungkin ada gen korupsi?” Sang dosen terperanjat
Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 7): Presiden dan Ketua KPK Harus Jujur
Direktur tersebut tidak tahu, nama yang ia berikan kepadaku adalah sepupuku. Bahkan sampai pejabat tersebut dijatuhi hukuman penjara, ia tak tahu.