Lenyapnya Pondok Bersalin Desa Simpang Mulia

Lenyapnya Pondok Bersalin Desa Simpang Mulia
Lenyapnya Pondok Bersalin Desa Simpang Mulia / Dr. Prita Kusumaningsih, SpOG - Foto Istimewa

Menjelang magrib, kami tiba di Desa Simpang Mulia, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireun, Aceh. Perjalanan ke desa yang terisolasi itu sangat mencekam. Hujan yang turun menambah tegang suasana yang mencekam itu.

Di jalan raya Aceh-Medan, rombongan kami berhenti untuk menunggu pemandu. Pemandu inilah yang menginformasikan adanya desa yang belum tersentuh bantuan kepada Zuraida, relawan lokal Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Tak lama kemudian, sang pemandu tiba.

Setelah pemandu datang, kami mengikuti kendaraannya masuk ke jalan desa dan lanjut ke jalan hutan. Namun, di tengah-tengah hutan tiba-tiba mobil berhenti. Padahal tak tampak rumah warga sebuah pun. Sudah sampaikah? Ternyata belum. Rombongan berhenti karena harus ganti mobil, dari SUV ke mobil 4WD (Four Wheel Drive), untuk melanjutkan perjalanan sampai ke desa yang dituju. Hal ini dilakukan karena jalanan terjal berbatu dan menanjak curam. Mobil 4WD atau 4x4 adalah mobil yang diperkuat dengan sistem penggerak empat roda, sehingga semua roda tersebut mendapatkan tenaga dari mesin mobil, untuk traksi maksimal di medan berat semisal lumpur, salju, atau tanjakan curam.

Gajah dan Perspektif Kemanusiaan: Ketika Alam Menjadi Relawan Tanpa Kata
Bencana monsun di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, telah menelan ratusan korban jiwa, menyebabkan puluhan ribu rumah rusak parah, serta membuat infrastruktur utama lumpuh. Ribuan warga mengungsi dan jaringan jalan strategis nyaris runtuh. Di saat seperti itu, gajah pun hadir membantu.

Tak lama kemudian, mobil 4x4 bak terbuka itu pun tiba. Saya terhenyak melihat kaca depan mobil yang sudah retak-retak di banyak tempat, selain bodi mobil yang sudah banyak penyok tak karuan. Hidungnya pun tidak utuh lagi. Sungguh berat perjuangan mobil ini! Dan ini adalah pengalaman baru bagi saya naik mobil bak terbuka menembus hutan!

Rombongan tim medis BSMI terdiri dari 10 orang termasuk 2 pengemudi. Ada 3 orang dokter (spesialis orthopaedi, dokter umum, dan saya sendiri dokter obgin) ditambah 1 perawat, 1 asisten, dan 2 relawan umum. Para anggota rombongan meminta saya duduk di depan, sedangkan yang lain berada dalam bak bersama barang-barang. Cukup banyak bawaan kami: dua koper berisi obat-obatan, bantuan sembako, dan sekardus besar makanan siap santap.

Bismillah, perjalanan dimulai. Sepanjang perjalanan, dari kabin depan terdengar teriakan ngeri-ngeri sedap dari teman-teman yang lain tatkala mobil menanjak terjal atau menurun curam. Sementara sopir yang masih tampak muda - sekitar usia 30-an tahun - itu santai saja. Entah sudah keberapa ratus kali dia harus mengantar warga untuk pulang-pergi dengan mobilnya.  Selain mobil 4x4,  jalan hanya bisa dilalui dengan motor yang sudah dimodifikasi, atau ... jalan kaki!

Jalan ini sudah rusak dan makin rusak karena banjir bandang,” kisahnya.

Ia lantas merogoh sakunya mengambil rokok. Saya mencegahnya tatkala ia hendak menyalakan rokok itu.

Setelah menempuh jarak 3 kilometer, sampailah kami di tujuan akhir, yaitu Desa Simpang Mulia.  Rombongan disambut oleh Pak Nasaruddin, sang Kades. Ia menceritakan kronologis musibah seraya menunjukkan dapur umum sekaligus tempat makan bersama.

Sengaja saya suruh warga makan di tempat ini, supaya bisa bareng-bareng makan dengan lauk yang sama. Harap maklum, sebagian warga rumahnya hilang terbawa air, termasuk polindes (Pondok Bersalin Desa) di sini. Ayo, kita lihat polindesnya. Kebetulan saya juga tinggal di polindes itu,” tuturnya.

Menanjak sedikit sekitar 200 meter, tampak Sungai Simpang Mulia yang airnya coklat keruh.  Arusnya masih deras dan berombak seperti laut.  Di seberang, tampak batang-batang kayu yang hanyut. Sementara kami berdiri di ketinggian kira-kira 50 meter dari permukaan sungai. 

Gubernur Aceh: Tidak Ada yang Bisa Menolong Kita Selain Rahmat Allah
BNPB mencatat, sampai 8 Desember 2025, 904.100 warga Aceh masih mengungsi akibat banjir dan longsor. Sebanyak 389 orang meninggal dunia. Ribuan lainnya terluka. Selain itu, ribuan rumah hancur, desa-desa rusak, fasilitas umum lumpuh, dan jalur penghubung antar desa terputus.

Di tempat ini tadinya adalah rumah-rumah warga. Dan bangunan itu adalah polindes,” tunjuk Nasarudin.

Sungguh mengenaskan karena polindes yang dimaksud hanya tersisa dinding depan. Pintunya hampir lepas, terayun-ayun tertahan oleh engsel. Masih tampak papan bertuliskan data pasien hamil, dan juga plang nama ibu bidan: Mutia Rahmi.

Belakangan, saya tahu bahwa Pak Kades adalah suami dari bidan Mutia Rahmi. Ibu bidan saat itu tidak berada di tempat karena sedang merujuk pasien. Spontan saya terbayang jalanan terjal dan curam yang kami lalui tadi.

Harus tangguh, Dok!” itu ucap ibu bidan dan satu-satunya nakes di desa ini saat kami berjumpa beberapa jam kemudian.

Maklumlah, dia adalah tumpuan masyarakat seluruh desa. Hari sudah gelap ketika itu, namun cahaya bulan purnama menyinari. Lampu hanya ada beberapa buah dengan tenaga listrik dari sebuah genset kecil. Selebihnya gelap sempurna. Beruntung, saat saya periksa ibu hamil tadi, masih tersisa cahaya matahari jelang magrib.

Kemarin ada ibu hamil datang dari desa sebelah dengan naik derek (semacam kereta gantung sederhana untuk menyeberangi sungai, biasa terbuat dari jaring atau peti, red). Perdarahan. Langsung saya rujuk saat itu juga. Alhamdulillah bayinya selamat, namun sayangnya, si ibu tak tertolong,” kita Bu Bidan.

Pasien yang dirujuk oleh Bu Mutia Rahmi ini tidak hanya kasus kebidanan, melainkan semua kasus. Beberapa hari yang lalu, misalnya, ia merujuk kasus gangguan jiwa akut. Gejalanya muncul dipicu oleh adanya banjir bandang yang melumatkan rumah dan harta benda itu.  Apalagi, sekarang ini polindes sebagai sarana kesehatan sudah tidak ada. Seluruh persediaan obat dan alat kesehatan hilang terbawa arus banjir.

Renungan Panjang untuk Kita: Tidak Ada Ekonomi di Tanah yang Mati
Ketika hutan hilang, bukan hanya pohon yang runtuh, tetapi juga ekonomi rakyat. Petani kehilangan lahan garapan, nelayan sungai kehilangan ikan, masyarakat adat kehilangan rumah dan identitas mereka. Anak muda pun terpaksa meninggalkan desa dan menjadi buruh murah di kota.

Saat akan meninggalkan desa terpencil itu, kami tinggalkan sebagian obat dan  alat kesehatan dasar seperti tensimeter dan stetoskop untuk Bu Bidan. Ia berterima kasih.

Saya sebetulnya membutuhkan alat untuk nebu. Banyak anak sesak napas dan batuk,” ujarnya. 

Saya menghela napas. Hampir semua orang laki-laki di sini adalah perokok. Tadi pun saya menerima curhat dari seorang ibu menyusui, karena ia dan bayinya batuk terus silih berganti.

Susah sekali menghentikan kebiasaan merokok para bapak itu. Yang paling bisa saya anjurkan adalah merokok di luar rumah,” keluh Bu Bidan.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.