Luka Mendalam: Kisah Nyata Kekejaman PKI di Indonesia

Luka Mendalam: Kisah Nyata Kekejaman PKI di Indonesia
Luka Mendalam: Kisah Nyata Kekejaman PKI di Indonesia / Foto Istimewa

Sejak Indonesia merdeka 79 tahun yang lalu, bangsa ini selalu diuji dan diganggu pihak asing, terutama para penjajah yang ingin kembali menguasai negeri ini dan komunisme yang ingin mengambil alih negeri ini. Setelah kemerdekaan Indonesia, PKI (Partai Komunis Indonesia) telah melakukan dua kali pemberontakan. Yaitu pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan 30 September PKI) tahun 1965.

Perjalanan sejarah telah membuktikan, ideologi komunis yang diusung oleh Partai Komunis Indonesia selalu menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan. Mereka tidak akan berhenti melakukan kekerasan dan kekacauan sebelum puncak kekuasaan berhasil direbut.

PKI adalah korban?

Sudah 56 tahun kekejaman PKI menghantui bangsa ini, namun belum ada penyelesaian hukum atas kasus pelanggaran HAM tahun 1965/1966, dan belum menemukan titik terang. Pemerintah tampaknya lebih memilih untuk menempuh rekonsiliasi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pasca G30S/PKI.

Belakangan, banyak sekali pihak yang mengatakan bahwa PKI adalah korban. Hal itu dibantah oleh Arta Wijaya, seorang penulis dan pemerhati sejarah.

PKI adalah pelaku dan dalang dari peristiwa pemberontakan dan pembantaian yang terjadi di Republik Indonesia, dengan korbannya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. Pertama, pada peristiwa Pemberontakan di Madiun, yang mengakibatkan banyaknya ulama dan santri yang dibantai. Kedua, peristiwa yang dikenal dengan G30S/PKI (Gerakan 30 September PKI), di mana yang menjadi korban adalah para ulama, santri, dan jenderal-jenderal Angkatan Darat. Penangkapan dan pengadilan terhadap para aktifis PKI adalah ekses dari pemberontakan dan pembantaian yang mereka lakukan,” jelas Arta Widaya kepada Sabili.id.

MUI: Membaca Surat Al Fatihah Diiringi Musik Itu Pelanggaran Norma-Norma Syariat
Di video itu, terlihat Dhani membacakan Surat Al Fatihah lalu meminta para penonton konser untuk mengikuti bacaan Surat Al Fatihah itu dengan diiringi musik yang melantunkan intro lagu “Kuldesak”.

Kebiadaban PKI terhadap Kiai, Santri, dan Umat Islam

Tahun 1948, di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, terjadi pembunuhan oleh PKI terhadap pejuang, ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini merupakan catatan kelam sejarah yang terjadi kepada kaum santri dan ulama. Keganasan dan kekejaman PKI saat itu hingga kini masih dikenang jelas oleh masyarakat Magetan. Semua tragedi itu dapat disaksikan melalui Monumen Soco yang terletak di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan.

Monumen itu menjadi simbol sejarah atas kebrutalan PKI. Tepat di bawah Monumen Soco, dulunya adalah tempat mayat-mayat korban PKI dari kalangan ulama dan santri.

PKI sangat keji dan biadab. Silakan baca di buku berjudul ‘Ayat-Ayat yang Disembelih’ yang ditulis oleh Anab Afifi, buku ‘Kaum Merah Menjarah’ yang ditulis Aminuddin Kasdi, buku ‘Katastrofi Mendunia’ yang ditulis oleh Taufiq Ismail, dan buku ‘Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948’ yang ditulis oleh Fadli Zon,” kata Arta.

Di antara peristiwa paling biadab itu adalah apa yang terjadi di Kanigoro tahun 1948, di mana anak-anak Pelajar Islam Indonesia (PII) yang sedang melakukan training kemudian dibantai. Kemudian peristiwa yang terjadi di Pabrik Gula Goreng, yang mengakibatkan banyak santri, kiai, dan rakyat terbunuh, sampai darahnya menggenang bak pejagalan. Banyak kiai dan santri yang disembelih dan dimasukkan ke dalam sumur,” lanjutnya.

Kesaksian tentang kebiadaban PKI juga datang dari Muhammad Ibrahim Rais dalam buku “Banjir Darah, Kisah Nyata Aksi PKI terhadap Kyai, Santri dan Kaum Muslimin”. Korban kebiadaban PKI itu adalah seorang guru ngaji di Desa Dermo Kecamatan Ploso. Namanya adalah Ustadz Zainuddin. Ia masuk ke dalam daftar target PKI yang harus dibunuh.

Pengurus Ormas Islam Bekasi Menilai Tidak Adil Jika Menyebut ASN di Bekasi Intoleran
Pengurus Dewan Da’wah Kota Bekasi di bidang Da’wah, Ustadz Verry Koestanto, mengatakan, tidak adil jika publik menyebut seorang ASN di Kota Bekasi sebagai intoleran.

Ketika itu, Ustadz Zainuddin ditangkap, lantas diseret sambil terus disiksa. Sambil terus menyeret tubuh ustadz Zainuddin, PKI-PKI itu menyayat satu persatu anggota tubuhnya. Kebiadaban PKI memotong jari ustadz Zainuddin satu persatu. Mereka memutilasi tubuhnya. Darah berceceran. Potongan anggota tubuh ustadz Zainuddin yang sudah dimutilasi disebar di depan rumah warga yang hendak melindunginya.

Ini adalah sepenggal kisah kebiadaban PKI. Mengingat sejarah kelam ini bukan untuk memupuk dendam di antara anak bangsa, namun agar bangsa ini tidak lupa dengan sejarahnya.

Masihkah Komunis Menjadi Ancaman?

Indonesia adalah negara yang kaya akan sejarah perjuangan dan perubahan politik yang mendalam. Salah satu peristiwa yang paling mencolok dalam sejarah modern Indonesia adalah Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan singkatan G30S/PKI. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1965 dan memiliki dampak yang sangat besar terhadap nasib bangsa Indonesia.

Sejarah menjadi bagian yang penting untuk diketahui dan dipelajari. Lebih-lebih sejarah perjuangan bangsa Indonesia, karena ada banyak hal yang bisa kita dapatkan. Terutama terkait ideologi bangsa dengan Pancasila sebagai dasar negara yang harus tetap dijaga haluannya dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila-sila lainnya.

Karena itu, ideologi komunis-atheis yang ingin mengubah ideologi Pancasila sangat tidak bisa diterima  oleh segenap masyarakat dan bangsa Indonesia yang religius. Apalagi, kita ketahui bersama bagaimana saat itu aksi komunis dengan menggunakan kendaraan Partai Komunis Indonesia (PKI) telah berulang kali memaksakan kehendaknya.

Pendeta Maria Tegaskan Kota Bekasi Bukan Kota Intoleran
Pendeta Maria Mambu meminta maaf kepada Pemkot Bekasi dan ASN Pemkot Bekasi, Masriwati, atas terjadinya viral video protes rumah ibadah yang memantik komentar publik tentang dugaan intoleransi di Kota Bekasi.

“Komunisme sebagai sebuah ideologi akan terus bergerak. Karena tokoh-tokohnya bisa saja sudah mati, namun ide dan gagasannya kan terus hidup dan memiliki peluang untuk bangkit, jika situasi dan kondisi memungkinkan, jelas Arta.

Maka, sebagai generasi muda hari ini, apakah masih relevan terus mengingati peristiwa G30S/PKI? “Sebagai upaya untuk menjaga kewaspadaan, tentu masih relevan, karena ideologi itu tak bisa mati. Meski pun dilarang oleh undang-undang, mereka bisa saja bergerak di bawah tanah. Jadi masih sangat urgent untuk memperingatkan generasi muda, khususnya umat Islam, untuk waspada terhadap ideologi komunisme, kata Arta.

Pencabutan TAP MPRS No 33 Tahun 1967

Sejarah latar belakang TAP MPRS No 33 Tahun 1967 dimulai ketika terjadi tragedi G30S PKI 1965 yang menewaskan sejumlah jenderal dan perwira TNI AD. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah pihak yang paling dicurigai sebagai dalang dari peristiwa pemberontakan tersebut. Setelah kejadian itu, MPRS pada tahun 1966 menggelar sidang. Mereka meminta pertanggung jawaban dari Presiden Soekarno selaku pemegang mandat alias mandataris MPRS atas terjadinya tragedi berdarah tersebut.

Pada 22 Juni 1966 dalam Sidang Umum ke-IV MPRS, Soekarno menyampaikan pidato pertanggung jawabannya. Pidato tersebut dikenal dengan nama Nawaksara yang berarti sembilan pokok masalah. Pidato tersebut tidak memuaskan MPRS. Isi dari pidato dinilai tidak mencerminkan pertanggung jawaban dari Presiden Soekarno. Pidato itu dianggap cenderung sebagai penyampaian amanat. Akhirnya Nawaksara ditolak.

Setelah penolakan Nawaksara, Presiden Soekarno lantas memberikan laporan tertulis untuk melengkapi pertanggung jawabannya terdahulu. Laporan tertulis itu disebut Pelengkap Nawaksara atau Pel-Nawaksara. Namun, sama halnya dengan Nawaksara, Pel-Nawaksara juga ditolak oleh MPRS. Akhirnya, pada 12 Maret 1967, MPRS mengeluarkan ketetapan MPRS No 33 Tahun 1997 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Regulasi tersebut juga memutuskan pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga Pemilu selanjutnya.

Pj Walikota Bekasi Katakan, Sikap Protes ASN di Bekasi Bukan Intoleransi
Setelah berakhirnya pertemuan di antara para pihak yang terkait, persoalan di seputar isu intoleransi di Kota Bekasi dinyatakan telah selesai.

TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 kini menjadi sorotan publik setelah MPR RI secara resmi mencabut ketetapan tersebut pada Senin (9/9/2024). Surat pencabutan tersebut diserahkan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), kepada keluarga Presiden Soekarno. Dengan demikian, TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno secara resmi tidak berlaku. Presiden Soekarno tidak terbukti bersalah atas tudingan pengkhianatan terhadap bangsa.

Soekarno memang memberi peluang kepada bangkitnya kembali kekuatan komunis dengan membangun kedekatan dengan PKI, dan memberi peluang untuk masuk dalam kabinet. Bahkan, Soekarno juga yang mengecam orang-orang yang anti komunis dengan sebutan ‘komunis phobia’. Dan Soekarno pulalah arsitek dari proyek Nasakom. Tetapi, apakah dia terlibat dalam G30 S/PKI, ini memang harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen sejarah yang valid. Jadi, keputusan apa pun terkait itu, bukan berlandaskan kepentingan politik, tetapi berdasarkan fakta. Bagusnya, sebelum dicabut, dikaji dulu dengan mengundang para ahli dan sejarawan,

Meningkatkan kewaspadaan terhadap ideologi Komunis

Indonesia saat ini sedang menuju visi Indonesia Emas 2045, yang diharapkan menjadi momentum kebangkitan bangsa dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Namun, untuk mencapai visi tersebut, bangsa Indonesia harus tetap waspada terhadap ancaman yang dapat merongrong keutuhan dan ideologi negara.

Peristiwa G30S/PKI menjadi pelajaran berharga bahwa ancaman terhadap Pancasila bisa datang dari dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk memahami sejarah dan nilai-nilai Pancasila agar dapat menjaga keutuhan NKRI.

Meski pun ancaman terhadap Pancasila selalu ada, bangsa Indonesia telah belajar dari sejarah dan terus memperkuat sistem pertahanan ideologi negara. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa dengan cara meningkatkan pendidikan ideologi Pancasila, memperkuat sistem keamanan nasional, dan menjaga persatuan serta kesatuan bangsa.

Pancasila sebagai ideologi negara telah terbukti sakti dalam menghadapi berbagai ancaman. Namun, kesaktian ini harus terus dijaga dan diperkuat melalui upaya bersama seluruh elemen bangsa. Dengan demikian, Indonesia dapat mencapai visi Indonesia Emas 2045 dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.