Meluruskan Letak Kemaluan Bangsa

Jika ada orang yang bertanya kepada anak-anak Indonesia, “Di mana kemaluanmu?”, maka ia akan tersipu-sipu malu. Tidak akan ia menunjukkannya. Tetapi, ia tahu persis di mana letak kemaluannya itu.

Jika seorang remaja dinasihati oleh orang tua atau gurunya dengan kalimat, "Jaga kemaluanmu", remaja itu pun paham apa yang dimaksud oleh guru atau orang tuanya itu.

Ya, begitulah faktanya. Secara kultural, bangsa ini telah menyepakati tentang apa dan di mana letak kemaluan serta bagaimana menjaga agar tidak memalukan.

Lalu orang-orang marah, saat koruptor yang nilep ratusan milyar Rupiah uang negara tampil gagah dengan balutan seragam rompi warna oranye tahanan KPK yang ia kenakan. Dan menebar senyum di hadapan kamera wartawan.

“Gila, nggak punya malu banget koruptor ini! Masih saja senyum sana-sini seakan tanpa dosa!” Begitulah umpatan yang kerap muncul saat melihat sosok koruptor yang dipajang oleh pihak penegak hukum.

Sebenarnya wajar saja jika koruptor tidak malu dengan perbuatannya. Toh kemaluannya masih tertutup rapat. Sebab, sedari kecil ia telah belajar tentang di mana letak kemaluannya dan bagaimana ia menutupinya!

Pendidikan untuk Kemajuan Bangsa
Baik pendidikan formal dan informal maupun pendidikan non formal, tujuan utamanya adalah membentuk generasi yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Juga mandiri, demokratis, peduli, kreatif, inovatif, cinta tanah air, profesional, dan bertanggung jawab.

Politisi masih saja fasih ngapusi sana-sini, tampil keren di muka umum. Meski semua gelar yang disandangnya hasil tipu-tipu. Ijazahnya aspal. Bahkan di saat semua kebohongan itu telah tepergok publik. Dengan kepercayaan diri yang amat tinggi, birahi politiknya pun masih terus ia umbar.

“Tak tahu malu!” Begitulah orang-orang merutukinya.

Faktanya; tipu-tipu, korupsi, tidak taat hukum, melanggar sumpah jabatan, menjilat, mengingkari janji politik, khianat, bahkan memanipulasi opini publik, bukanlah area kemaluan bagi para politisi dan bahkan mungkin bangsa ini. Ya, semua istilah itu tak berada di dalam titik koordinat kemaluan!

Alamat kemaluan bangsa ini begitu jelas. Sebuah area yang tidak terlalu luas untuk sekadar ditutupi bahkan hanya dengan tangkupan dua telapak tangan kita. Korupsi menjadi tak memalukan, karena saat melakukan tindakan itu, area kemaluan pelaku ditutupi dengan pakaian yang rapi, jas, seragam yang licin berwibawa, bahkan ditambah dengan dasi yang menjulai.

Yang penting kemaluan tak terlihat. Bahkan jika kemaluan itu dipakai tidak pada tempatnya dan bukan haknya. Sekali lagi, yang penting tidak kelihatan, karena rasa malu baru muncul jika kemaluan itu terlihat!

Dinasti Politik Bikin Politisi Muda Sulit Tembus Senayan
Anggota DPR yang memiliki hubungan dengan dinasti politik menunjukkan angka yang cukup tinggi. Yaitu 128 dari 580 anggota DPR memiliki hubungan dengan dinasti politik. Artinya 23,8 persen dari total jumlah anggota DPR.

Bahasa Membentuk Realitas

Konon kata ahli bahasa, malu adalah kata sifat dan kemaluan adalah kata benda (merujuk pada bendanya). Kemaluan dibentuk dari kata dasar malu. Ada istilah afiksasi dalam pembentukan suatu kata, maknanya adalah penambahan imbuhan.

Nah, kata kerja, kata benda, kata sifat, bisa diubah dengan menambahkan afiksasi atau imbuhan. Baik imbuhan yang berupa awalan maupun akhiran. Misalnya “Indah” adalah kata sifat, tetapi bisa diubah menjadi kata benda dengan menambahkan awalan “Ke” dan akhiran “an” menjadi “Keindahan”.

Malu adalah kata sifat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ia berarti: “1 Merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, memiliki cacat atau kekurangan, dan sebagainya): ia – karena kedapatan sedang mencuri uang; aku – menemui tamu karena belum mandi; 2 segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya: murid yang merasa bersalah itu – menemui gurunya; tidak usah – untuk menanyakan masalah itu kepada ulama; 3 kurang senang (rendah, hina, dan sebagainya)".

Aku bukan ahli bahasa Indonesia. Jadi, aku tak pantas untuk menguraikan bagaimana proses perubahan kata “Malu” menjadi “Kemaluan” secara detail. Lagipula ini bukan forum yang tepat. Lebih penting untuk mengulik bahwa ternyata arti "kemaluan" menurut KBBI bukan hanya bermakna kelamin lelaki dan perempuan.

Kemaluan juga diartikan sebagai mendapatkan malu, hal malu, atau yang menyebabkan rasa malu. Celakanya, dua makna terakhir ini bahkan tak lagi dimengerti oleh masyarakat. Minimal, tidak populer lagi. Umumnya, masyarakat awam memahami makna kemaluan adalah alat kelamin.

Raja Bertaruh Moral Politik di Meja Domino
Politik adalah panggung simbol. Satu foto sering lebih keras berbicara daripada seribu kata. Lantas bagaimana dengan Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni, yang terekam foto sedang bermain domino bersama Azis Wellang yang pernah menjadi tersangka kasus pembalakan liar?

Lantas apakah maraknya perilaku politisi dan pejabat yang tak lagi memiliki kedalaman “rasa malu” dapat dilacak dari hal sederhana ini? Tentu saja artikel ringkas ini tak memiliki ambisi untuk kepentingan itu. Hanya sebuah renungan ringkas di balik kejengkelan yang menggunung.

Satu hal yang perlu diingat sebagai suatu dukungan teori. Mungkin kalangan jurnalis dan penggiat media cukup akrab dengan teori relativitas linguistik atau kalangan akademisi mungkin lebih akrab dengan sebutan hipotesis Shapir-Whorf. Hipotesis ini menyebut; bahasa yang kita gunakan membentuk cara kita berpikir dan memahami dunia. Tidak berlebihan jika bahasa sehari-hari yang kita gunakan akan membantu kita memiliki persepsi tertentu atas suatu obyek, realitas, bahkan peristiwa.

Nah, di mana kemaluan bangsa ini? Jawaban dan perilakunya akan sangat dipengaruhi oleh pemaknaan kita atas konsep malu dan kemaluan.

Barangkali, meluruskan cara kita berbahasa perlu kita pertimbangkan untuk menjadi salah satu strategi kultural dalam rangka mendidik perilaku politisi dan pejabat, agar lebih mengerti makna substantif rasa malu, sehingga korupsi bisa ditekan dan adab di pentas politik semakin genah.

Di dalam konteks ini, barangkali perlu kita ingat kembali pesan Rasulullah ﷺ, agar tidak memanggil orang dengan gelar yang buruk. “Dan janganlah memanggil dengan laqob (gelar) yang mengandung ejekan”.

Gelar yang buruk memang bisa membangun konstruksi alam pikiran seseorang. Hal serupa terjadi dalam dunia pendidikan, betapa kata “Bodoh dan Nakal” begitu ditabukan oleh para pendidik. Sebab, label itu benar-benar dapat membentuk sikap dan perilaku anak didik.

Yuk, kita ramai-ramai meluruskan; Pusat rasa malu itu di hati bukan di kelaminmu. Lebih malulah kepada penglihatan Allah daripada penglihatan manusia. Malu adalah bagian dari iman.