Sabtu, 15 April pukul 09.00 waktu Sudan penduduk ibukota Khartoum dikejutkan dengan serentetan bunyi tembakan yang berasal dari kompleks olahraga di Selatan Khartoum. Berondongan senjata otomatis serta ledakkan bom memecah kesyahduan bulan Ramadhan di Negeri Dua Nil tersebut. Tak lama berselang asap hitam membumbung tinggi di langit Khartoum.
Ini adalah eskalasi lanjutan dari krisis politik antara 2 faksi angkatan bersenjata yang memegang kekuasaan transisi. Yaitu faksi Tentara Nasional Sudan dengan faksi Paramiliter Sudan, RSF (Rapid Support Force). Jendral Abdel Fattah Burhan adalah presiden pemerintahan transisi yang juga merupakan orang nomor wahid di lingkup Tentara Nasional Sudan. Sedangkan Muhammad Hamdan Daglou “Hemedti” adalah wakil presiden pemerintahan transisi yang juga merupakan orang nomor wahid paramiliter Sudan, RSF.
Hingga tulisan ini dimuat, konflik bersenjata masih berkecamuk. Tidak hanya senjata ringan dan menengah yang digunakan, tapi peralatan tempur berat juga dikerahkan. Tank baja, jet tempur serta drone militer hilir mudik menyerang titik yang menjadi basis utama kedua belah pihak. Bandara Internasional Khartoum tak luput menjadi target serangan. Bahkan konflik bersenjata ini meluas hinga ke provinsi lain di luar ibukota Khartoum.
Flashback Awal Mula Krisis Politik
Setelah berkuasa selama 30 tahun, Jendral Omar Basyir akhirnya tumbang melalui gelombang demonstrasi besar-besaran rakyat. Mereka memprotes atas kondisi ekonomi yang memburuk, tingkat inflasi yang sangat tinggi serta kelangkan bahan pokok. Rezim ini juga kerap kali dituduh dengan KKN nya yang menggurita. Setelah berbulan-bulan rakyat Sudan melakukan demo di depan Markas Besar militer, Basyir pun dikudeta oleh militer. Ia dipaksa menyerahkan kekuasaannya kepada militer Sudan yang mengklaim sebagai penyambung lidah rakyat. Pasca tumbangnya Presiden Omar Basyir pada 11 April 2019 lalu, kondisi politik di Sudan tak habis dirundung konflik. Perebutan kekuasaan antara sipil dan militer tak kunjung mencapai kata sepakat. Teranyar, konflik tersebut meluas diantara faksi militer sendiri.
Masa Keemasan Rezim Basyir
Di awal pemerintahan Basyir tahun 1989 sejatinya angin segar berhembus kencang seantero Sudan. Optimisme akan hadirnya negara yang makmur serta berlandaskan syariat Islam menjadi harapan banyak penduduk Sudan yang notabene mayoritasnya beragama islam serta memiliki kultur agama yang sangat kuat. Apalagi kala itu, Basyir naik ke tampuk kekuasaan lewat sebuah kudeta damai yang diinsiasi oleh koalisi gerakan Islam Sudan.
Hampir semua faksi Islam ikut andil dalam koalisi ini. Arsiteknya kala itu adalah seorang intelektual terkemuka, Syekh Hasan Turobi. Formalisasi nilai islam dalam sendi bernegara sejatinya telah dimulai sejak masa pemerintahan Ja’far Numeiri dekade 80an. Meskipun dikenal dekat dengan kelompok sosialis komunis, tapi di akhir masa kepemimpinannya, khususnya pasca percobaan kudeta yang akhirnya gagal oleh faksi komunis ia beralih kepada faksi Islam. Tercatat, Ia ikut andil dalam mendorong terbentuknya undang-undang bernafaskan islam di kemudian hari. Minuman keras dilarang serta hukum hudud ditegakkan.
Awal Mula Bencana
1998 Amerika menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Sudan karena dituduh melindungi teroris. Pasalnya Usamah bin Laden bebas hilir mudik masuk Sudan medio tahun 1991 hingga 1996. Alih-alih untuk mengorganisir tindak terorisme, Sudan menampik kedatangan Usamah semata-mata untuk urusan investasi dan bisnis. Tapi Presiden Bill Clinton tak bergeming. Sanksi ekonomi tetap dijatuhkan. Otomatis Sudan dikucilkan dari perdagangan internasional serta ditutup aksesnya dari transaksi keuangan lintas negara.
Semua investasi dan saham pemerintah di negara lain dibekukan. Sontak hal tersebut membuat pergerakan ekonomi jungkir balik. Pembangunan pun stagnan. Padahal kala itu pertumbuhan ekonomi serta tingkat kesejahteraan masyrakat Sudan pada taraf yang baik. Bahkan nilai mata uang lokal Pon Sudan hampir setara Dolar Amerika kala itu.
Tak puas dengan sanksi ekonomi, Amerika bahkan membombardir ibukota Khartoum dengan jet tempurnya. Sebuah pabrik di Ibukota Khartoum rata dengan tanah, karena dituduh memproduksi senjata kimia pemusnah massal. Persis seperti yang dituduhkan Bush kala meluluhlantakkan Iraq beberapa tahun setelahnya.
Apa yang terjadi setelahnya sudah bisa ditebak. Ekonomi Sudan babak belur. Padahal Sudan memiliki sumber daya alam melimpah, yang selama ini menjadi andalan untuk menggenjot devisa negara. Emas, minyak bumi, peternakan, pertanian hingga uranium adalah komoditas utama ekspor Sudan.
Sudah menjadi pola yang hampir baku bahwa krisis ekonomi akan meluas kepada krisis sosial, bahkan krisis akhlak dan budaya. Benar saja, tahun 2011 Sudan Selatan resmi memisahkan diri melalui jalur referendum, dengan dalih bahwa mayoritas penduduknya adalah non muslim serta dari ras Afrika. Berbeda dengan Sudan Utara yang mayoritasnya muslim dan dari ras Afro Arab. Adalah rahasia umum bahwa campur tangan asing sangat kuat atas pecahnya Sudan Selatan. Amerika, Rusia, Israel serta Ethiopia dinilai sebagai otaknya. Divided et impera alias politik belah bambu tetap menjadi jurus jitu. Pendekatannya adalah SARA (suku, agama dan ras).
Ditambah lagi motif ekonomi, Karena lebih dari 50% pemasukan negara kala itu bersumber dari minyak. Sedangkan ladang minyak tersebut mayoritasnya berada di daerah selatan yang telah memisahkan diri. Dengan berpisahnya Sudan Selatan, makin membuat perekonomian Sudan jungkir balik.
Imbas sanksi ekonomi Amerika tak berhenti sampai disitu, agar tetap survive dan menggenjot pemasukan negara, Sudan mencari 1001 cara agar komoditasnya bisa diekspor ke pasar global. Jalan yang paling mungkin adalah menggunakan jalur tidak resmi. Akibatnya komoditas utama negara dikuasai oleh taipan-taipan yang dekat dengan kekuasaan. Negara tidak menjual secara langsung, tapi melalui taipan yang dekat dengan barat dan kekuasaan. Sehingga budaya korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi penyakit laten. Rasa saling percaya dan gotong royong antar warga bangsa pelan tapi pasti makin nihil. Masyarakat sangat mudah diprovokasi dengan sentimen SARA. Walhasil, tidak hanya ekonomi yang porak poranda, tapi nilai moral, budaya dan akhlak juga ikut tergerus habis.
Meskipun akhirnya pada Oktober 2017 Amerika akhirnya resmi mengakhiri sanksi ekonominya kepada Sudan, tapi dampak kerusakan yang dihasilkannya sudah sangat massif dan tragis. Nasi sudah menjadi bubur. Aksi koboy jalanan yang dipertontonkan oleh RSF dan militer setidaknya menjadi gambarannya.
Sejarah Paramiliter Sudan RSF
Paramiliter adalah sebutan bagi himpunan masyarakat sipil yang dilatih dan diorganisir secara militer. Sejarah RSF bermula pada tahun 2003, dikala meletusnya pemberontakan di wilayah barat Sudan, tepatnya Provinsi Darfur. Provinsi yang berbatasan dengan Libya dan Chad ini merupakan daerah yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Kala itu pemerintah Omar basyir dituduh melakukan kejahatan perang dalam menumpas pemberontakan.
Hal tersebut membuat Basyir mengambil langkah berbahaya, ia melatih milisi lokal untuk menjadi kombatan melawan pemberontak. Milisi ini dikenal dengan istilah “Janjaweed”, dipimpin oleh Muhammad Hamdan Daglou "Hemedti" (yang kini menjabat sebagai wakil presiden masa transisi). Hemedti tercatat tidak menyelesaikan pendidikan menengahnya (SMP). Bahkan mayoritas kombatannya pun tidak mengenyam pendidikan formal serta tidak mampu baca tulis.
Milisi ini pada mulanya adalah milisi lokal Darfur yang dibentuk oleh kabilah setempat guna mengamankan jalur perdagangan hewan ternak mereka ke Libya dan Chad. Mayoritas anggotanya dari kabilah "Ruzaiqot", salah satu kabilah arab terbesar di Sudan yang tersebar di Darfur, Kurdufan, bahkan di negara tetangga, Chad. Perlu dicatat bahwa kultur sosial di timur tengah adalah kultur kabilah, sehingga kabilah memiliki indpendensi yang cukup kuat dalam struktur sosial bermasyarakat.
Dalam menumpas pemberontakan di Darfur, milisi Janjaweed terkenal dengan kebengisannya. Mereka tak segan membumi hanguskan perkampungan penduduk yang disinyalir pro dengan pemberontak. Dalam konflik Darfur, isu semit ras Arab melawan ras Afrika berhembus sangat kencang, karena pemberontak Darfur mayoritasnya adalah dari ras Afrika. Meski sama-sama menggunakan bahasa arab sebagai bahasa resmi, tapi agitasi pihak asing membuat setiap ras merupakan rival bagi ras lainnya, terkhusus dalam masalah politik dan hak menentukan nasib.
Walhasil pemberontakan di Darfur berhasil diredam, di saat yang sama pemerintah pusat berhasil mencuci tangan atas pertumpahan darah yang terjadi. Janjaweed mendapat timbal baliknya. Rezim Basyir dengan percaya diri mengesahkan UU RSF pada Januari 2017 (2 tahun sebelum Basyir dikudeta), negara resmi mengakui keberadaan milisi RSF dan memasukkannya dalam nomenklatur militer Sudan. Pimpinannya, mendapat pangkat jendral bintang dua yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Hal ini tentu menjadi langkah yang sangat berbahaya, ini sama saja menciptakan matahari kembar di tubuh angkatan bersenjata Sudan. Apalagi milisi ini tidak melalui serangkaian pendidikan dan sekolah militer layaknya yang berlaku pada Tentara Nasional Sudan. Juga kecakapan minimal serta doktrin militer yang berlaku umum dalam militer Sudan. Kecemburuan sosial sudah barang tentu menjadi bom yang siap meledak kapan saja.
Mungkin Basyir menganggap bahwa RSF adalah juru selamatnya, jika suatu ketika militer akan mengkudetanya. RSF diharapkan menjadi loyalis sehidup sematinya Basyir. Tapi siapa sangka, hanya 2 tahun berselang, justru juru selamat inilah yang mengotaki kudeta kepada sang tuan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!