Kepercayaan publik adalah fondasi utama bagi lembaga filantropi Islam. Tanpa kepercayaan publik, zakat – yang merupakan instrumen sosial-ekonomi penting dalam Islam – tidak akan berfungsi optimal sebagai alat pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan umat.
Indonesia dikenal memiliki potensi zakat terbesar di dunia, dengan estimasi mencapai 327 triliun Rupiah per tahun. Namun, realisasi penghimpunan baru menyentuh sebagian kecil dari angka tersebut. Potensi besar itu pun belum berhasil dimaksimalkan karena masih ada titik lemah dalam tata kelola dan pelaporan lembaga zakat.
Data resmi menunjukkan, BAZNAS menargetkan penghimpunan ZIS nasional sebesar 41 triliun Rupiah pada tahun 2024–2025. Sebuah target yang ambisius namun belum konsisten tercapai. Di lapangan, sebagian umat memilih menyalurkan zakat secara langsung kepada mustahik daripada melalui lembaga resmi. Fenomena ini bukan sekadar perubahan preferensi, tetapi refleksi dari turunnya tingkat kepercayaan yang dipicu oleh kurangnya transparansi, ketidakteraturan pelaporan, dan minimnya akses informasi publik.
Evaluasi terhadap 32 Lembaga Amil Zakat (LAZ) berskala nasional menunjukkan adanya ketimpangan besar dalam keterbukaan informasi keuangan. Beberapa lembaga bahkan tidak memublikasikan laporan keuangan, sementara sebagian lainnya tidak memiliki situs web yang dapat diakses publik. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana masyarakat dapat meyakini pengelolaan dana umat jika data dasar seperti laporan audit dan distribusi zakat tidak tersedia?

Sedangkan dalam Islam, konsep akuntabilitas bersifat ganda: akuntabilitas transendental kepada Allah dan akuntabilitas horizontal kepada manusia, termasuk muzakki, regulator, dan mustahik. Prinsip “amanah” menjadi inti manajemen zakat, bukan hanya dalam aspek teknis, tetapi juga moral.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 telah menegaskan kewajiban lembaga zakat untuk dikelola secara profesional sesuai prinsip good governance. Namun, implementasinya masih perlu diperkuat.
Untuk memperbaiki ekosistem filantropi Islam dan membangun kembali jembatan kepercayaan, ada tiga langkah strategis yang harus ditempuh.
Pertama, lembaga zakat perlu menerapkan standar akuntansi syariah internasional secara wajib, khususnya standar AAOIFI terkait pelaporan zakat. Audit tahunan independen dan publikasi laporan keuangan harus menjadi tradisi baru dalam tata kelola zakat. Publik berhak mengetahui ke mana dana mereka disalurkan dan bagaimana dampaknya bagi kesejahteraan mustahik.
Kedua, digitalisasi harus menjadi motor utama modernisasi zakat. Teknologi semisal blockchain, sistem informasi zakat terintegrasi, dan pelaporan berbasis data real-time dapat meningkatkan transparansi sejak pengumpulan hingga distribusi. Digitalisasi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga mengurangi potensi penyalahgunaan dan memperkuat legitimasi lembaga zakat di mata publik.

Ketiga, fokus akuntabilitas harus bergeser ke arah penerima manfaat (beneficiary accountability). Dampak zakat seharusnya tidak diukur semata pada jumlah dana yang tersalurkan, tetapi pada transformasi mustahik menjadi muzakki. Lembaga zakat perlu rutin menerbitkan impact report yang menilai efektivitas program pemberdayaan, tingkat kemandirian mustahik, dan perubahan kondisi sosial-ekonomi mereka.
Transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas bukan hanya syarat administratif, melainkan refleksi nilai-nilai Islam yang menuntut kejujuran, keadilan, dan integritas. Jika lembaga zakat mampu menjalankan reformasi ini secara konsisten, maka kepercayaan publik dapat dipulihkan dan potensi zakat dapat benar-benar menjadi motor pembangunan umat.
Saat ini adalah momentum untuk memperkuat tata kelola zakat nasional dengan pendekatan modern, berbasis data, dan sesuai tuntunan syariah. Zakat bukan hanya dana, tetapi amanah besar yang harus dikelola secara bertanggung jawab, demi kesejahteraan ummah dan keberkahan bangsa.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!

