Membedah Masyarakat Jahiliyah: Refleksi SPI Jakarta terhadap Keruntuhan Peradaban
“Jejaring kekuatan Islam akan terurai satu persatu jika ada generasi Islam yang tumbuh tanpa mengenal jahiliyah” (Umar bin Khattab).
Kutipan ucapan Umar bin Khattab tersebut disampaikan oleh Adi Zulfikar saat memulai perkuliahan Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta Angkatan 14 pada Rabu (2/10/2024) malam. Kala itu, kuliah yang diadakan di Aula Imam Al-Ghazali, Institute for the Study of the Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), tersebut membahas tentang Masyarakat Jahiliyah.
Adi Zulfikar mengungkapkan bahwa memahami konsep masyarakat jahiliyah penting untuk memahami perubahan. “Sebuah peradaban tidak runtuh sekaligus. Andalusia contohnya, yang mengalami kemunduran setelah khalifah Al-Hakam II sekitar tahun 900-an dan baru benar-benar runtuh tahun 1492 M. Butuh waktu 500 tahun hingga akhirnya runtuh. Hal ini karena jejaring kekuatan Islamnya terurai akibat kejahiliyahan,” tutur Adi.
Menurut Co-Founder Sirah Institute itu, jahiliyah meliputi kondisi manusia di seluruh dunia sebelum Islam turun, dan masa itu merupakan masa yang gelap karena di saat itu tidak ada risalah nabi. Masyarakat disebut jahiliyah bukan semata karena kebodohan, tetapi karena mereka memiliki gambaran akan sesuatu yang diketahui namun menyalahi kebenaran yang seharusnya. Masyarakat tersebut tidak berbasis pada ilmu atau petunjuk Allah dalam segala bidang kehidupan, sehingga disebut jahiliyah.
“Contoh masyarakat jahiliyah yang kita ketahui itu adalah kaum Quraisy. Apakah mereka bodoh? Tidak. Mereka suku yang kaya, karena mereka memiliki perdagangan yang kuat. Bagaimana mungkin mereka bisa punya perdagangan yang kuat kalau mereka bodoh? Mereka justru sangat cerdas dalam berdagang, tetapi mereka biasa berzina, berjudi, mengundi nasib, bahkan mengubur hidup-hidup bayi perempuannya tanpa merasa bersalah. Itu karena gambaran hidup yang mereka ketahui menyelisihi kebenaran. Mereka belum tersentuh Islam, sehingga tidak tahu mana yang benar. Itulah jahiliyah yang sebenarnya,” ucap Adi.
Selanjutnya, pegiat Sirah Community Indonesia itu pun menjelaskan bahwa kejahiliyahan juga terjadi pada peradaban lain sebelum Islam datang, semisal Romawi, Yahudi, Persia, dan India. Bahkan praktik jahiliyah juga masih terjadi sampai hari ini. Menurut Adi, setidaknya ada lima paradigma jahiliyah, yaitu watsaniyah (pemberhalaan), abaiyah (dependasi), ashabiyah (fanatisme golongan), kehormatan (riya, sumah, popularitas), dan al-mala (elite).
“Jadi, kalau kita menyaksikan di zaman ini ada yang menyembah uang, bertindak hanya karena tradisi atau kata leluhur tanpa pertimbangan atas baik buruknya tindakan itu, merasa kelompoknya benar sendiri yang lain salah, haus popularitas, dan terdapat golongan elite yang memelihara kebodohan masyarakat untuk mempertahankan kekuasaan kelompok mereka, ya berarti kita masih belum lepas dari kejahiliyahan itu,” pungkas alumni teknik industri UI tersebut.
Pembahasan mengenai materi masyarakat jahiliyah itu berlangsung dengan menarik. Sepanjang kelas berlangsung, semangat siswa SPI terlihat jelas. Banyak siswa yang terlihat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Adi Zulfikar saat membawakan materi.
Salah satu murid SPI Jakarta, Abdurrahman Hafiz, mengungkapkan betapa menariknya materi tersebut. “Materi ini sangat membuka wawasan tentang bagaimana keadaan masyarakat jahiliyah, kerusakan-kerusakan yang terjadi, dan faktor-faktor yang menyebabkan kondisi tersebut. Ternyata kejahiliyahan itu bukan hanya terjadi di masa lalu, tetapi bisa terjadi setiap saat, sehingga penting bagi kita merefleksikannya untuk mengatasi masalah tersebut,” ujarnya.