Memperjelas Keberpihakan, Demi Satu Putaran?
Tak urung heboh juga, saat Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa presiden dan menteri boleh berpihak dan boleh berkampanye. Padahal, masyarakat sebenarnya telah cukup mahfum, ke mana hati Jokowi condong. Pernyataan, kehadiran, isyarat, dan bahkan gestur beliau, sesungguhnya telah menunjukkan betapa Presiden Jokowi ingin Paslon 02 menjadi penerusnya.
Namun, dugaan yang kerap dilontarkan oleh politisi, kalangan media, dan para pengamat politik itu kerap disanggah oleh Jokowi sendiri. Beliau juga yang beberapa kali menegaskaan dan mengimbau bahwa aparatur negara harus netral. “Tidak cawe-cawe” bahkan menjadi kosakata politik yang populer dalam beberapa bulan yang lalu. Tak lain karena Jokowi kerap mengungkapkannya di hadapan publik, sebagai penggambaran atas sikap netralnya sebagai presiden.
Lalu penegasan itu muncul: “Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh, tapi yang paling penting, waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh. Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh? Boleh. Menteri juga boleh.”
Pro dan kontra sontak muncul. Pakar hukum tata negara pun berdebat. Ada yang menyebut pernyataan Jokowi tidak salah, karena memang ada pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mendukung atau menjadi dalil dari pernyataan tersebut. Pasal dimaksud adalah pasal 299 ayat 1; “Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye”. Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra adalah termasuk ahli hukum tata negara dalam barisan ini.
Ahli hukum tata negara yang lain, seperti Bivitri Susanti dan Refly Harun, menilai Jokowi telah melakukan kekeliruan dengan pernyataannya tersebut. Menurut mereka, memahami UU harus utuh, tidak memenggal ayat per ayat. UU sebagai produk perundang-undangan memiliki landasan dasar dan konstruksi yang saling menunjang dalam kesatuan makna untuk suatu tujuan hukum dan keadilan tertentu.Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), melalui direkturnya, Khoirunnisa Agustyati, memberi pernyataan lebih keras lagi. Khoirunnisa menganggap pernyataan Jokowi sebagai dangkal. Perludem bahkan menuntut agar Jokowi menarik pernyataannya tersebut.
Baca juga: Nepotisme dan Politik Dinasti: Parasit Demokrasi yang Wajib Ditolak
Elektabilitas Mandeg
Soal salah/benarnya pernyataan presiden tersebut biarlah para ahli yang membahas. Aspek yang juga penting untuk dibahas adalah mengapa statemen itu pada akhirnya diungkapkan oleh Jokowi? Toh, selama ini keberpihakan dia yang bersifat simbolis, samar-samar dan terkesan glendam-glendem, tetap sampai juga pesannya. Artinya rakyat tahu, Jokowi mendukung sang anak.
Padahal dengan cara itu, Jokowi sebenarnya tetap banyak membantu Paslon 02, dengan risiko sekadar dirasani oleh para lawan politiknya sebagai berpihak. Tak ada serangan frontal, tidak memberi ruang bagi stasiun TV untuk “mengadili” sikapnya yang simbolis dan samar. Kini, dengan pernyataan keberpihakannya itu, ia memberi ruang luas kepada para lawan politiknya untuk menyerang.
Pihak-pihak yang kemarin ingin mem-PTUN-kan dan memakzulkannya sepertinya akan dapat celah yang lebih lebar untuk menambah daya dorong dan sekutu. Apakah ini kesembronoan atau sekadar test the water?
Atau sebuah kepanikan? Mengingat elektabilitas Paslon 02 yang mandeg di kisaran 45%-47%. Wajar juga kalau panik, elektabilitas Paslon 02 tak berbanding lurus dengan tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja Jokowi yang berdasarkan riset-riset mencapai 80%.
Keberanian Jokowi untuk main-main dengan Mahkamah Konstitusi demi sang anak, sudah barang tentu dengan memperhitungkan secara seksama potensi kepuasan rakyat pada kinerjanya. Keberpihakannya itu akan menggaransi Pilpres bakal berlangsung satu putaran. Tetapi hingga kurang dari 20 hari pencoblosan, hasil survei elektabilitas Paslon 02 tak cukup meyakinkan juga.
Baca juga: Ketua Umum MUI: “Pemilu Damai dan Bermartabat, Jalan Menuju Indonesia Adil dan Makmur”
Pilpres dua putaran sudah barang tentu tidak ada dalam skenario Jokowi. PDIP yang ia tinggalkan dengan cara tak bijaksana dan kubu 01 yang sebagian besar adalah oposannya bakal menyulitkan upaya pemenangan 02 dalam skenario Pilpres dua putaran. Ia sungguh menghindari ini. Pilihan untuk tetap satu putaran inilah yang nampaknya mendorong Jokowi mengetes ombak dengan pernyataannya tersebut.
Ada dua lagi yang mendukung dugaan bahwa Jokowi sedang panik. Pertama, pernyataan itu ia keluarkan tak berselang lama setelah Debat Calon Presiden putaran keempat usai. Blunder anak lanang di debat terakhirnya itu ternyata memanen sentimen negatif dari warganet. Tak tanggung-tanggung, sentimen negatifnya tembus 60 persen.
Ya, Gibran menjadi bulan-bulanan warganet. Dapat stempel bocil, songong, hingga nir adab. Bahkan gunjingan dengan nada meledek terus saja terjadi di obrolan warung kopi maupun di media sosial. Elektabilitas tak naik-naik, malah ada blunder pula!
Kedua, Jokowi membuat statemen kontroversial dan tidak konsisten dengan pandangan awalnya itu di sebelah Prabowo Subianto, Menhan aktif sekaligus Capres 02. Berpakaian Angkatan Udara, didampingi Panglima TNI, dengan latar prajurit TNI yang siap siaga. Apakah ia sedang menguatkan diri dengan citra dukungan TNI? Atau sedang mengancam: siapa yang akan menyanggah titahku?