Nepotisme dan Politik Dinasti: Parasit Demokrasi yang Wajib Ditolak

Nepotisme dan Politik Dinasti: Parasit Demokrasi yang Wajib Ditolak
Komisi Pemilihan Umum menggelar Debat Keempat Calon Wakil Presiden Peserta Pemilu 2024 / Dok. KPU

Pemilu semakin dekat. Ada banyak hal yang wajib di waspadai oleh Masyarakat. Khususnya oleh umat Islam Indonesia sebagai pemegang saham terbesar kedaulatan rakyat Indonesia. Hal-hal yang wajib menjadi agenda kewaspadaan itu antara lain adalah kemungkinan munculnya kecurangan dalam Pemilu, pengaburan makna demokrasi untuk sekadar transaksi atau jual-beli suara, serta adanya pihak yang sekadar ingin berkuasa dan melanggengkan kekuasaan.

Beberapa minggu terakhir, banyak pula diwartakan tentang munculnya gerakan atau seruan mahasiswa di berbagai kota di Indonesia untuk menolak praktik politik dinasti. Dikabarkan, ada 700 perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang yang terlibat dalam gerakan ini.

Sudah barang tentu, gerakan moral para mahasiswa itu bukan tanpa alasan. Munculnya nama Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres 2024 dinilai banyak pihak sebagai kental bernuansa politik dinasti, atau setidaknya dicurigai tengah mengupayakan eksisnya politik dinasti.

Pasca Debat Cawapres putaran kedua, Ahad (21/1/2024), sejumlah aktivis ‘98 yang dahulu menjadi barisan terdepan dalam proses reformasi politik, berkumpul lagi dan menyuarakan hal yang sama: Tolak Dinasti Politik dan Selamatkan Demokrasi.  Salah satu aktivis ‘98 yang hadir dalam forum tersebut, Ray Rangkuti, bahkan lantang menyebut. “Alih-alih ada upaya dan semangat untuk menjaga kualitas demokrasi dan pelaksanaan pemilu, yang ada adalah langkah dan tindakan yang terus memperburuk kualitas demokrasi kita.”

Mengapa Ditolak?

Mengapa politik dinasti ditolak? Politik dinasti merujuk pada praktik keluarga atau kelompok tertentu yang secara sistematis mendominasi posisi politik dan pemerintahan. Di Indonesia, kita sering menyaksikan adanya keluarga-keluarga politik yang secara turun-temurun menduduki jabatan-jabatan strategis di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Hal ini menciptakan konsentrasi kekuasaan yang tidak sehat dan merugikan prinsip dasar demokrasi, yaitu partisipasi yang adil dan merata dari seluruh lapisan masyarakat.

Baca juga: Menjaga Ketenteraman Pemilu 2024 dalam Perspektif Islam, Kesalehan Digital di Era Keterbukaan Informasi

Politik dinasti memiliki potensi besar untuk mengancam demokrasi. Dominasi keluarga atau kelompok tertentu dalam berbagai tingkatan pemerintahan dapat menghambat proses demokratisasi yang seharusnya memberikan ruang secara luas bagi partisipasi masyarakat. Adanya nepotisme yang seringkali terkait dengan politik dinasti dapat mempersempit peluang bagi individu-individu berkompeten yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan elit politik yang berkuasa.

Selain itu, munculnya monopoli kekuasaan dalam satu keluarga atau kelompok dapat merugikan representasi dan pluralisme dalam sistem politik. Hal ini mengakibatkan pembatasan ideologi dan pandangan politik, menyebabkan masyarakat kehilangan akses kepada pemimpin yang mencerminkan keragaman masyarakatnya.

Dekat dengan Praktik Nepotisme

Telah disinggung di atas, politik dinasti dekat dengan perilaku nepotis. Bukan sekadar dekat, namun politik dinasti butuh instrumen nepotisme. Politik dinasti akan semakin langgeng dengan dukungan budaya nepotisme.

Nepotisme merupakan praktik yang merujuk pada pengutamaan atau pemberian perlakuan istimewa kepada anggota keluarga, teman dekat, atau orang-orang terkait, dalam proses pengambilan keputusan, terutama di dalam lingkungan politik atau pekerjaan. Praktik ini seringkali dapat membahayakan demokrasi yang sehat. Sebab, praktik ini dapat mengorbankan keseimbangan, keadilan, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Nepotisme akan menjadi parasit yang menggerogoti kualitas demokrasi. Dari sikap nepotis ini, penyakit lain yang tak kalah berbahayanya akan segera menyusul, yaitu kolusi dan korupsi. Indonesia di bawah rezim Orde Baru mengalami keterpurukan kualitas demokrasi dan penegakan HAM karena kungkungan tiga politik jahat ini: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Maka, ketika gerakan reformasi ‘98 berhasil menurunkan Presiden Soeharto dari kedudukannya, dirumuskanlah 6 agenda reformasi. Salah satu dari enam agenda penting reformasi itu adalah: “Penghapusan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)”.

Baca juga: Siapa Malin Kundang di Hadapan Ibu Pertiwi?

Kini, menjelang 26 tahun usia reformasi, gejala nepotisme melalui politik dinasti tampak menunjukkan indikasi akan muncul kembali. Mumpung politik dinasti dan nepotisme belum menjadi parasit yang menguasai sekujur tubuh demokrasi kita, wajib diserukan kembali untuk menolak praktik politik dinasti yang pasti akan nepotis, korup, dan kolusif. Penting pula diupayakan untuk mengingatkan memori publik tentang bahaya KKN dan politik dinasti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tak cukup digaruk-garuk, politik dinasti dan nepotisme sebagai parasit demokrasi harus ditolak. Jangan pernah beri kesempatan untuk berkembang lebih jauh! Berpartisipasi aktif dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilu 2024 agar berlangsung adil tanpa kecurangan, adalah salah satu upaya serius yang dapat dilakukan untuk menjadi obat penolak bagi berkembang biaknya parasit demokrasi ini.


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.