Perbincangan soal relasi agama – dalam hal ini Islam (din) – dengan negara (daulah) atau politik (siyasah) tampaknya menjadi isu perenial di kalangan ulama, pemikir muslim, dan bahkan gerakan Islam. Bisa dipastikan diskursus dan perdebatan tentang tema ini bakal terus berlanjut di masa depan, seperti halnya tema pengajian madrasah ilmu (digawangi oleh DDII Kabupaten Bekasi) yang menarasikan tentang sosok “M.Natsir dan Cita-Cita Kemerdekaan”.
Di dalam masa modern – kontemporer – posisi dan relasi antara Islam dan negara setidaknya terdiri dari tiga bentuk. Pertama, pemisahan antara agama dan politik yang bahkan disertai dengan ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan agama (religiously unfriendly secularism), seperti Turki. Kedua, pemisahan yang disertai ideologi bersahabat dengan agama (religiously friendly ideology), seperti Indonesia. Ketiga, penyatuan agama dengan negara, seperti Arab Saudi, yang bisa disebut sebagai teokrasi.
Pandangan Natsir tentang hubungan Islam dan negara adalah bahwa agama bukanlah semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari semisal shalat atau puasa, akan tetapi agama juga meliputi semua kaidah, batas-batas dalam muamalah dan hubungan sosial kemasyarakatan. Oleh karenanya, untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara. Hal itu sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah saw kepada kaum muslim, bahwa sesungguhnya Allah-lah pemegang kekuasaan penguasa.
Tampaknya Mohammad Natsir Ingin menegaskan bahwa Islam dan Negara itu berhubungan secara integral. Bahkan simbiosis, yaitu saling berhubungan erat secara resiprokal dan saling memerlukan. Di dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan relasi agama dengan negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral.
Hal ini karena dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap. Ajaran Islam tidak mengandung aspek lain semisal bidang hukum tentang kenegaraan, maka pendirian sebuah negara adalah suatu kemestian, sebagaimana pendapat H.A.R. Gibb.
Bagi Natsir, Islam itu bukan sekadar agama, tetapi juga merupakan peradaban yang komplet. Di dalam Islam, tidak relevan memisahkan agama dari negara, karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!