Mencari Obat di Gua Hira

Mencari Obat di Gua Hira
Mencari Obat di Gua Hira / Foto Istimewa

Gaung berita akan datangnya nabi dan rasul semakin melebar di kalangan bangsa Arab. Bukan saja karena waktu kedatangannya semakin dekat, tetapi juga sebelumnya para nabi terdahulu telah menginformasikan berita tentang kenabian itu. Misalnya Nabi Ibrahim as di dalam satu doanya yang diabadikan Al Qur'an: “Ya, Rabb kami, angkatlah seorang Rasul di tengah-tengah mereka sendiri” (QS 2:129).

Demikian juga berita kenabian yang dinyatakan Nabi Musa as dalam Taurat, serta Nabi Isa as dalam Injil. “Dan ingatlah ketika ia putra Maryam berkata, ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab Allah yang diturunkan sebelumku, yaitu Taurat, dan menyampaikan berita gembira akan datangnya seorang Rasul sesudahku, bernama Ahmad (Muhammad)’...” (QS 61:6).

Keterangan di atas menegaskan kebenaran Nubuwwah (kenabian) Muhammad saw. Berbagai macam bentuk informasi Nubuwwah terdahulu, ada yang cuma menginformasikan sifat dan ciri-ciri, ada pula yang menerangkan keistimewaan agama yang dibawanya.

Ashim bin Amr bin Qathadhah menyatakan, “Di dalam pemukiman Bani Abdul / syhal terdapat seorang Yahudi bernama Yusya. la berkata, ‘Kalian beruntung dengan akan munculnya seorang Nabi dari Baitullah, siapa yang mengalami kedatangannya, hendaklah ia mempercayainya’.

Di balik santernya berita kedatangan nabi dan rasul, banyak orang Arab memberi nama “Muhammad” kepada anaknya dengan harapan kelak anaknya akan menjadi nabi. Tetapi setelah berita itu menjadi kenyataan, mereka (bangsa Arab dan Yahudi) merasa iri dan dengki, karena yang menjadi nabi bukan anak mereka. Sikap mereka ini Allah singgung dalam Al Qur'an, “Bacakanlah kepada mereka berita tentang orang yang kami beri ayat....“ (QS 7:175).

Bersih Itu Indah
Membersihkan mentalitas para pelaksana negara semestinya mendahului program kebersihan kota. Seiring dengan itu, penghargaan kepada mereka yang bermental bersih itu selayaknya pula lebih tinggi dan monumental.

Di Gua Hira

Ketika hampir waktunya Muhammad saw diangkat menjadi Nabi dan Rasul, beliau gemar ber-khalwat (menyepi) di puncak Jabbal Nur, yaitu di Gua Hira. Suatu tempat di mana tidak ada suara orang bersilat lidah dan berbicara bathil. Di sana beliau bertafakur seorang diri, siang dan malam, dengan bekal yang ala kadarnya yang dibawa dari rumah. Di puncak Jabbal Nur itulah, beliau memutuskan hubungan dengan segala macam kehidupan duniawi, dan memusatkan pemikirannya dengan pencipta Alam semesta ini. Juga memikirkan gelombang kehidupan manusia di dunia yang penuh dengan malapetaka, kehancuran, permusuhan, serta kerusakan.

Ketika itu, Rasulullah berumur empat puluh tahun. Usia yang memenuhi syarat mencapai tingkat kesempurnaan berpikir dan kekuatan jasmani yang memadai, sebagai persiapan menebar misi Ilahi.

Di dalam gua yang jauh dari keramaian itu, beliau sujud mengasah hati, membersihkan roh dan jiwa, dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Sampailah beliau Muhammad saw kepada martabat tinggi yang memantulkan sinar rahasia gaib di atas lembaran terbuka. Sehingga, tak ada impian yang dilihatnya, kecuali sebagai pancaran cahaya yang muncul pada saat fajar menyingsing di pagi hari.

Untuk kesekian kalinya, pancaran api datang menemui orang yang sedang menyucikan diri di tempat yang sama. Pada saat itulah, Muhammad saw terperanjat dan gemetar mendengar suara Malaikat berkata, “Bacalah...

Beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca...

Malaikat Jibril terus mengulang-ulang perkataannya. Demikian pula Muhammad saw mengulangi jawabannya.

Mempertajam Keikhlasan
Setiap jundullah harus menjadikan ikhlas sebagai landasan perjuangannya. Jika sudah Ikhlas, pertajam keikhlasan itu. Hindarkan sikap riya’ . Baik riya’ ingin dilihat manusia maupun riya’ takut dilihat manusia.

Beberapa Ibroh

Berkhalwat yang dilakukan Rasulullah saw menjelang bi'tsah, memiliki makna yang dalam bagi kaum muslim pada umumnya dan para dai pada khususnya.

  1. Peristiwa tersebut menjelaskan bahwa seorang muslim tidak akan bisa mencapai taraf sesempurna mungkin dalam berislam, jika tidak dibarengi dengan muhasabah (koreksi) diri. Di dalam hal ini, kita mencoba merasakan pengawasan Allah Swt dan merenungi fenomena-fenomena alam yang menjadi bukti keagungan Allah.

Hikmah dari program ber-khalwat/uzlah ini ialah bahwa setiap manusia mempunyai penyakit hati (sombong, riya, dengki, hubbud dunya) yang tidak bisa diobati kecuali lewat uzlah dan mengadilinya dalam suasana hening, jauh dari keramaian. Demikian pula kita dapat merenungi ihwal manusia yang sedang berkiprah dengan metode jahiliyah di atas panggung dunia ini. Kemudian merenungi fenomena-fenomena keagungan Allah, hari akhir, pengadilan, besarnya Rahmat, dan pedihnya siksaan Allah. Perenungan yang berkali-kali akan menggugurkan penyakit hati tersebut, sehingga hati menjadi hidup dengan cahaya kesadaran, dan Allah pun terasa dekat dengan kita.

  1. Tarbiyah mahabbatullah (cinta kepada Allah) tidak akan tumbuh lewat tarbiyah aqliyah (pembinaan rasio) semata, tetapi harus dibarengi dengan penghayatan mendalam lewat uzlah untuk pembinaan rohani. Seandainya rasio memberi pengaruh besar dalam menambah keimanan, maka para orientalis menjadi pelopor orang-orang beriman kepada Allah Ta'ala.

Orang yang selalu melakukan tarbiyah ruhaniyah lewat jalur uzlah akan memberikan keberanian menghadapi dunia ini. Sebab, kebersihan hati akan mengecilkan dunia dan isinya, dan akan mengatakan hanya Allah yang Maha Besar.

Pertolongan Allah Itu Dekat
Perjuangan menegakkan Islam akan menemui banyak rintangan. Meski demikian, barangsiapa yang tulus ikhlas dan istiqomah di jalan perjuangan tersebut, niscaya akan ditolong oleh Allah yang Maha Kuasa.

Mencari sarana untuk mewujudkan dorongan-dorongan spiritual di hati merupakan suatu keharusan. Jumhur ulama menyebutnya dengan tasawuf, atau Ibnu Taimiyah menyebutnya ilmu suluk. Tetapi pemahaman tasawuf di sini tidak boleh dipahami sebagai pemahaman sebagian orang yang keliru dan menyimpang. Mereka memahaminya sebagai tindakan meninggalkan sama sekali pergaulan dengan manusia, hatta makan dan menikah pun ditinggalkan.

Tindakan ini sangat bertentangan dengan ajaran Rasulullah dan praktik para sahabat. Rasulullah ber-khalwat, bukan bertujuan untuk meninggalkan pergaulan manusia sama sekali, tetapi sebagai obat untuk memperbaiki keadaan.

Al Ghazali, tokoh tasawuf yang sering dijadikan standar dalam ber-tasawuf juga menganjurkan untuk tidak menghindar dari manusia lewat perkataannya yang diabadikan, “Aku serahkan jiwaku kepada Allah dan aku tinggalkan jasadku buat masyarakat.

Adakah kita demikian?

Wallahu a'lam bishawab.

Artikel ini disadur dari Majalah Sabili No. 06/Th. V 6-19 November 1992

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.