Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 16): Mengejar Koruptor ke Kolombia
Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri keenambelas dari kisah beliau. Selamat menikmati.
“Siapa yang menyuruh saudara kabur ke luar negeri,?” tanyaku ke mantan anggota Komisi 3 DPR-RI, Muhammad Nazaruddin. “Bapak matikan dulu alat rekaman itu, baru saya jelaskan,” pintanya. Kutolak !!!.
Ada anggota Komite Etik (KE), waktu istirahat menyarankan agar rekaman dimatikan beberapa menit untuk mendengar pengakuan Nazaruddin. “Anak ini cerdas, licik. Jika rekaman dihentikan, khawatir ada di antara kita yang ‘keceplosan’ ke wartawan. Dia akan somasi KE karena mencemarkan nama baiknya. Kita tidak punya rekaman untuk menjadi alat bukti bahwa, dia pernah ‘ngomong’ seperti itu,” kataku.
Bermula dari Wisma Atlet.
Mantan anggota Komisi 3 DPR-RI, Muhammad Nazaruddin, 30 Juni 2011, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Beliau diduga menyuap pihak-pihak terkait guna memeroleh proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Beliau juga diduga menerima suap dalam bentuk cek senilai Rp 4,6 miliar dari Manager Marketing PT Duta Graha Indah, Muhammad El Idris.
Nazaruddin, anggota DPR (2009-2014) dari Partai Demokrat. Jabatannya, Bendahara Umum DPP. Beliau bersama isteriya (Neneng Sri Wahyuni) mengenalkan Rosa (Direktur Marketing PT Anak Negeri) ke Angelina Sondakh. Mantan putri Indonesia 2001 yang terkenal dengan panggilan Angie ini adalah anggota DPR-RI dari fraksi Partai Demokrat juga. PT Anak Negeri adalah Perusahaan milik Nazaruddin. Bendum partai Demokrat ini meminta Angie memfasilitasi Rosa mendapatkan proyek-proyek di DPR.
Baca juga: Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 15): Cicak vs Buaya Jilid 2
Nazaruddin juga mengenalkan Rosa ke Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, Wafid Muharam. Targetnya, perusahaan Nazaruddin bisa mendapat proyek wisma atlet. Dia juga meminta agar PT DGI, perusahaan Nazaruddin lainnya, mendapat proyek pembangunan wisma Atlet di Palembang tersebut. Uang Rp 4,6 miliar yang diberikan El Idris ke Nazaruddin adalah realisasi pemberian “fee” 13 persen yang telah disepakati sebelumnya mengenai Pembangunan wisma Atlet di Palembang.
Dari Senayan, Langsung ke Bandara.
Nazaruddin, 23 Mei 2011, mengikuti rapat Partai Demokrat di Cikeas. Setelah itu, dia mampir di Senayan, bertemu Ketua DPR-RI, Marzuki Alie.
Mantan Bendum Demokrat ini, dari Senayan, langsung ke bandara Soeta. Dia beli tiket di bandara saat itu juga. Nazaruddin terbang ke Singapura dengan menumpang pesawat Garuda, pukul 19.30. Ia lantas bisa lolos di bandara karena Dirjen Imigrasi belum terima Surat Pencekalan dari KPK.
Nazaruddin berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Mulai dari Singapura, Malaysia, Kamboja hingga ke Vanezuela. Bahkan, untuk menuju Vanezuela, Nazaruddin menggunakan privat jet dari Kamboja. "Di Venezuela masih sempat bisnis, baru kemudian ke Kolombia. Kami langsung kirim “red notice,” kemudian ditangkap di sana," ucap Giri anggota Tim KPK yang mengjemput Nazaruddin. Namun, menurut Polisi Nasional Kolombia, Nazaruddin tiba di negara itu dengan pesawat carter dari Wasington, AS.
Status DPO Internasional.
KPK, 4 Juli 2011 mengirim surat permintaan penerbitan “red notice” ke Mabes Polri atas nama Muhammad Nazaruddin. Mabes Polri langsung meneruskan surat KPK tersebut ke polisi internasional di negara anggota “International Criminal Police Organization” (ICPO) agar dapat menangkap Nazaruddin. ICPO kemudian menyebarluaskan “red notice” tersebut ke 188 negara anggota.
Baca juga: Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 14): Pertarungan Cicak vs Buaya
Kementerian Luar Negeri Singapura, 5 Juli 2011, menegaskan, Nazaruddin sudah tak ada di Singapura. Dua foto Nazaruddin yang tengah memakai baju safari coklat muda dipajang di situs www.interpol.int, 6 Juli 2011.
Jumat, 22 Juli 2011, Nazaruddin muncul di Metro TV. Dia, dalam rekaman itu sedang “ngobrol” dengan aktivis media sosial, Iwan Pilliang. Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok bilang, berdasarkan laporan polisi, Nazaruddin berada di Argentina ketika wawancara dengan Iwan Pilliang.
Tanggal, 4-5 Agustus 2011, Tim gabungan KPK, Menkum HAM, Mabes Polri, Interpol, mendapat laporan adanya dugaan paspor palsu dengan menggunakan foto mirip Nazaruddin di Kolombia. Tanggal 7 Agustus 2011, M. Syahruddin, nama samaran Nazarddin dengan paspor palsu, ditangkap Interpol saat meninggalkan Kota Cartagena, Kolombia. Dubes RI di Bogota terbang ke Cartagena untuk mengecek langsung. Dubes berkoordinasi dengan Kemlu di Jakarta.
Drama Penangkapan Nazaruddin.
Polisi Nasional Kolombia dalam websitenya, menulis, Nazaruddin memasuki Kolombia dengan menumpang pesawat carter dari Washington, AS. Nazaruddin ditangkap di Rafael Nunez International Airport, Kota Cartagena, 7 Agustus 2011, dinihari. Nazaruddin saat itu hendak terbang ke Bogota. Dia ingin menonton salah satu pertandingan sepakbola FIFA U-20.
Tersiar berita, Nazaruddin akan dibawa ke Jakarta dengan menumpang pesawat komersil. Namun, Tim KPK, secara senyap menghubungi perusahan penerbangan swasta milik Amerika Serikat.
Baca juga: Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 13): Kemenag, Haji dan Korupsi
Salah seorang anggota Tim KPK mengisahkan, mereka sewa pesawat khusus itu sebagai salah satu langkah antisipasi rencana Nazaruddin untuk kabur. Sebab, pesawat komersil akan transit di Kuala Lumpur. Penumpang akan turun di bandara KLIA selama beberapa jam. Di sinilah diperkirakan skenario Nazaruddin akan kabur.
Giri Suprapdiono, salah seorang anggota Tim KPK mengatakan, butuh proses cepat untuk memulangkan M Nazaruddin dari Kolombia. Sebab, Nazaruddin sudah menggunakan jasa Pengacara yang dibayar mahal untuk mendapatkan suaka di Kolombia. Bahkan, Nazaruddin bisa lepas jika Tim menggunakan pesawat komersil. Ini karena, dia akan segera memeroleh suaka politik dari pemerintah Kolombia. Saat itu, Tim hanya punya waktu semalam jika Nazaruddin tidak segera dibawa.
Giri dan Tim bergerak cepat. Mereka menyewa jet pribadi dari AS. Namun, Tim harus menghubungi pemerintah di Jakarta untuk menyiapkan anggaran penyewaan jet pribadi, Rp 4,8 miliar. Dirjen Anggaran Kemenkeu koperatif, Dalam semalam, Rp 4,8 miliar disediakan.
Persoalan lain, pesawat jet yang disewa di AS tersebut, perlu waktu 3,5 jam untuk sampai Kolombia. Namun, pemilik jet pribadi bilang, ketika sampai di Kolombia, pesawat tidak bisa langsung melanjutkan penerbangan. Sebab, pilot harus tidur 8 jam sebelum terbang.
Giri meyakinkan pemilik pesawat bahwa, jika tidak segera terbang, buronan bakal bebas. Sebab, otoritas sudah menyiapkan suaka. Setelah 3,5 jam menunggu, jet pribadi itu pun mendarat. Pemilik jet yang ikut, mengizinkan Tim untuk melanjutkan perjalanan ke Indonesia.
Baca juga: Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 12): Koruptor dan Burung Nuri
Giri menambahkan, sewaktu melintasi Kongo, jet yang ditumpangi dipaksa turun. Pilotnya terpaksa mendarat. Sebab, pesawatnya akan ditembak jika tidak mendarat. Di bandara, banyak pasukan bersenjata yang siaga. Tidak berapa lama kemudian, pesawat yang ditumpangi Giri dan kawan-kawan dibenarkan melanjutkan perjalanan dari Kongo ke Indonesia. Pesawat yang diperkirakan sampai di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta siang hari itu, baru mendarat pukul 19.00 malam.
Nazaruddin protes karena tidak dibawa dengan pesawat komersil. Rencananya untuk kabur di KL, gagal. Penerbangan selama 42 jam tersebut langsung menghantarkan Nazaruddin ke kantor KPK. Kasus Nazaruddin kemudian membongkar pelbagai pihak yang terlibat, baik Menteri, anggota DPR-RI, maupun pejabat eksekutif dan swasta (Depok, 9 September 2023).