Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 14): Pertarungan Cicak vs Buaya

Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 14): Pertarungan Cicak vs Buaya
Ilustrasi Buaya dan Cicak oleh Ichsan / Sabili.id

Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri keempatbelas dari kisah beliau. Selamat menikmati.

Pertarungan Cicak – Buaya menjadi isu besar saat itu. Waktu itu, Polri melalui Kabareskrim, Komjen Susno Duadji, menyerang KPK dengan menjadikan dua orang komisioner KPK sebagai tersangka. Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, ditangkap Mabes Polri.

“Harap Bapak mempertahankan KPK agar tidak dibubarkan,” kata Novel yang masih kuingat.

“Mengapa?” tanyaku singkat.

“Kalau kami, tidak apa. Nothing to lose. Hanya saja, kami tidak mau jadi orang jahat lagi,” jawab Novel. Tegas!

Pemicu Korupsi

Donald R. Cressey mengatakan, korupsi disebabkan adanya niat dan kesempatan. Seseorang yang berniat korupsi tetapi tidak ada kesempatan, maka dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sebaliknya, orang yang tidak berniat korupsi tetapi kesempatan muncul setiap saat, maka dia bisa menjadi seorang koruptor.

Novel Baswedan mengatakan, jika KPK bubar, dia dan kawan-kawannya akan kembali ke instansi asalnya, Kepolisian. Namun, dia tidak mau menjadi orang jahat lagi. Sebab, sudah jadi rahasia umum, bagaimana mal-administrasi, penyalahgunaan jabatan dan wewenang, serta KKN di Kepolisian. Dimulai dari proses penerimaan anggota baru, penempatan, sampai dengan promosi. Belum lagi masalah pembuatan SIM, tilang, sampai dengan proses penahanan seseorang.

Novel dan kawan-kawannya, sewaktu di KPK, menemukan suasana yang berbeda dibandingkan tata-kelola organisasi Kepolisian. Bagaikan siang dan malam. Sebab, setiap insan KPK, mulai dari pimpinan, penasihat, pejabat struktural, sampai pegawai terbawah harus taat asas. Taat terhadap Peraturan Kepegawaian (PK), kode etik, dan SOP KPK. Kesalahan sekecil apa pun yang dilakukan, baik oleh komisioner, penasihat, pejabat struktural, maupun pegawai, tetap terkena sanksi. Ini karena budaya kerja KPK menganut asas “zero tolerance”.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 12): Koruptor dan Burung Nuri

Ada satu contoh sederhana. Pernah seorang penyidik, di internal e-mail KPK, menanggapi artikelku. Beliau dalam tanggapannya tersebut, menggunakan warna merah di beberapa perkataan. Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, langsung memerintahkan Pengawasan Internal (PI) memeriksa penyidik terkait. Beliau dinilai melanggar kode etik. Sebab, menggunakan tulisan berwarna merah mengekspresikan sikap jumawa. Apalagi hal serupa pernah terjadi di jajaran Pimpinan. Waktu itu tahun 2006, pertama kali dibentuk komite etik. Tugasnya, memeriksa salah seorang pimpinan KPK yang menulis dengan menggunakan tinta merah dalam memonya ke komisioner KPK lainnya.

Waktu itu saya ditugaskan pimpinan untuk menjadi Koordinator Komite Etik. Inilah Komite Etik pertama di KPK. Putusan Komite Etik saat itu, komisioner tersebut diberi sanksi teguran lisan. Proses dan sanksi yang sama dilakukan PI terhadap penyidik yang menggunakan huruf-huruf berwarna merah dalam tulisannya di internal e-mail KPK tersebut. Sanksinya, beliau diberi peringatan lisan oleh PI.

“Ah, cuma teguran lisan.” Mungkin begitu komentar Anda. Namun, perlu diketahui, budaya kerja KPK sangat beda dengan institusi lain. Sebab, bagi seseorang yang pernah diperiksa PI, hal itu merupakan gempa bumi, karena kinerjanya tahun itu otomatis melorot ke C sekalipun sebelumnya A. Konsekuensi logisnya, tunjangan kinerja yang diperoleh setiap bulan, hanya 5% dari gaji pokoknya. Jadi “take home pay” pegawai itu setiap bulan akan berkurang.

Pegawai terkait harus berdarah-darah untuk bisa memeroleh kembali kinerja B. Apalagi untuk mendapatkan nilai A. Pegawai itu perlu bekerja keras bertahun-tahun untuk meraih kembali kinerja seperti sediakala, baik nilai B maupun A.

Novel curhat (mencurahkan isi hati) ke saya seperti disebutkan di atas. Karena sadar, jika kembali ke Kepolisian dengan sistem lama, maka beliau akan kembali menjadi Anggota Polisi dengan berbagai masalahnya. Oleh karena itu, beliau mendorongku untuk terus berjuang memertahankan eksistensi KPK sewaktu terjadi kasus Cicak – Buaya jilid 1.

Asal Mula Kasus Cicak - Buaya

Seingatku, sekitar Juni 2009, aku diminta hadir dalam rapat di antara pimpinan, penasihat, deputi, dan beberapa direktur KPK. Sejatinya, pertemuan ini adalah gelar perkara yang juga melibatkan penasihat. Seorang Penyidik memperdengarkan rekaman hasil penyadapan KPK terhadap seorang calon tersangka dalam kasus Bank Century. Di dalam penyadapan itu, kedengaran “calon tersangka” ini sedang bicara dengan Kabareskrim Mabes Polri.

Penyadapan itulah yang oleh Susno Duadji dianalogikan bahwa posisi KPK dengan Polri seperti cicak dan buaya. Maksudnya, teknologi penyadapan KPK hanyalah sekelas cicak. Sedangkan yang dipunyai Polri sekelas buaya. Sejak itu, pers memviralkan istilah Cicak – Buaya. Ya, semacam pertarungan di antara KPK dan Polisi. Inilah yang dikhawatirkan Novel Baswedan.

Kriminalisasi Komisioner KPK

Kabareskrim POLRI, Susno Duadji, setelah mengetahui bahwa pembicaraannya via telepon disadap KPK, tanggal 11 September 2009 memerintahkan anak buahnya memeriksa empat pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Rianto (BSR), Chandra M Hamzah (CMH), M Jasin (MJ), dan Haryono Umar (HU). Akhirnya, 15 September 2009, Polisi menetapkan BSR dan CMH sebagai tersangka. Tuduhannya, BSR dan CMH menyalahgunakan wewenang dan memeras tersangka. Kelanjutannya, tanggal 16 September 2009, kepada BSR dan CMH dikenakan wajib lapor. Namun, tanggal 29 Oktober 2009, Bareskrim menahan BSR dan CMH.

KPK bereaksi cepat dengan menyelenggarakan Rapat Pimpinan (Rapim) di antara pimpinan dan penasihat. Di dalam Rapim tersebut, kuusulkan agar dibentuk lawyer team bagi BSR dan CMH. Alasanku, tuduhan yang dilontarkan Kepolisian kepada kedua komisioner KPK itu berkaitan dengan pelaksanaan tugas. Pimpinan kemudian memerintahkan Biro Hukum KPK untuk membentuk lawyer team buat BSR dan CMH.

Baca juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 13) : Kemenag, Haji dan Korupsi

Sebagai tindak lanjut dari putusan Rapim, tanggal 25 Oktober 2009, tim pengacara KPK melaporkan Komjen Pol Susno Duadji ke Presiden SBY dan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri. Susno dinilai melanggar etika profesi. Sebab, beliau menemui Anggoro Widjojo pada 10 Juli 2009 di Singapura. Padahal, Anggoro resmi ditetapkan sebagai buron oleh KPK sejak 7 Juli 2009.

Sejatinya, penetapan BSR dan CMH sebagai tersangka adalah proses kriminalisasi. Wajar jika berkas perkara yang dibuat Bareskrim tidak memenuhi syarat menurut KUHAP. Buktinya, berkas BSR dan CMH dikembalikan oleh Kejakgung ke Polri. Bahkan, tanggal 23 Oktober 2009, beredar transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK. Isinya percakapan orang yang diduga adik buron KPK, Anggodo Widjojo, dengan petinggi Aparat Penegak Hukum (APH).

Rekaman percakapan pada Juli-Agustus 2009 itu disebut-sebut sebagai rancangan kriminalisasi KPK. Faktanya, dua Wakil Ketua KPK, BSR dan CMH, ditahan oleh Bareskrim. Penahanan itu memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi, termasuk diriku. Kudatangi Rutan Brimob Kelapa Dua, Depok. Kujumpai Pak Bibit dan Pak Chandra. Kudengar langsung keterangan keduanya mengenai latar penahanan mereka.

Kesimpulanku, kedua komisioner KPK itu dikriminalisasi. Sebab, salah satu tuduhan Bareskrim adalah, kedua Komisioner KPK itu menerima sejumlah uang di kompleks Gelanggang Remaja, Kuningan, Jakarta. Ternyata, di tanggal yang disebut terjadinya peristiwa penyuapan tersebut, Pak BSR sedang berada di salah satu negara Amerika Latin. Hal tersebut dibuktikan dengan cap di paspor Pak BSR oleh imigrasi negara tersebut.

Akhirnya, dua pekan setelah BSR dan CMH ditahan polisi, Presiden SBY mengatakan, ada sejumlah permasalahan di Polri, Kejaksaan, dan KPK. "Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik, yang dapat ditempuh adalah pihak Kepolisian dan Kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan, dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan. Namun, perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK," demikian disampaikan SBY ketika memberikan pidato terkait Kasus Cicak – Buaya, 23 November 2009 di Istana Negara.


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.