DR. Neezar Abdul Kader Mohammed Rayyan (6 Maret 1959 – 1 Januari 2009), atau biasa orang mengenalnya dengan nama Neezar Rayyan rahimahallah adalah seorang akademisi yang menjadi salah satu komandan militer senior Hamas yang tewas Bersama dengan anggota keluarganya saat agresi militer Israel 2009.
Malam itu saya bermalam sedang air mata di wajah ini tak henti-hentinya mengalir. Sungguh musibah ini telah mencekik saya. Di sebelah saya ada istri dan dua anak saya, dan untuk pertama kalinya anak saya, Ibrahim melihat ayahnya menangis. Tangisan yang mungkin dilihatnya bukan seperti tangisan biasa!
Ibrahim kecil seperti sedang bingung, dengan tanpa beban ia bertanya,
"Kenapa ayah masih belum tidur?"
Saya pun menjawab dengan polos,
"Semua keluarga ayah meninggal."
Keesokan harinya, istri saya, Walaa, berkata,
"Jangan sampai saat nanti keluargamu dikuburkan sedang aku tidak hadir untuk memberi do'a perpisahan."
Tapi orang-orang berkata,
"Kamu tidak harus mendengarkan apa yang ia katakan. Tidak baik ia melihat keluargamu dikubur."
Akan tetapi saya memilih apa yang dikatakan oleh istri saya. Saya anggap keputusan telah selesai saya pilih, dan tidak ada langkah mundur!
Baca Juga : Mengenang Keluarga Syuhada Dr. Neezar Rayyan (Bagian 2)
Maka saya berjanji kepada istri saya, dan saya akan tepati janji saya.
Akhirnya, saya bukakan untuknya pintu kamar mayat. Di hadapanya ada 16 jasad manusia yang mana mereka semua adalah orang-orang yang paling dicintainya, paling dekat di hatinya, Ayahanda, ibunda, lima saudara laki-laki dan enam saudara perempuan, semuanya lebih muda darinya. Mereka telah meninggalkannya seorang diri padahal sebelumnya ia adalah anak perempuan terbesarnya! Lalu ada lagi 3 orang bibi, dan mereka adalah ibunda kami juga!
Saya ingat betul saat saya mencoba memberitahu istri saya tentang siapa saja jasad yang dihadapannya, ternyata dia juga mengenali mereka!
Saya berkata kepadanya,
"Walaa, ini ibunda, dan ini Abud… Coba kamu lihat As'ad, ia seperti sedang tidur. Dan itu Aayah (anak perempuan DR. Nezar). Lihatlah ia sudah seperti remaja, saya melihatnya seperti pengantin!"
Tidaklah saya mendengar ia mengucapkan kata-kata yang Allah tidak rida, akan tetapi ia hanya berkata,
"Aku tidak akan mengatakan kecuali seperti yang telah ibunda ajarkan kepadaku,"
"Alhamdulillah, ya Allah berikanlah kami kesabaran.."
Kemudian kami pun keluar dari kamar mayat sedang istri saya bersandar ke badan saya. Sementara orang-orang di sekitar melihat kami dalam kondisi seperti itu, ada yang bilang,
"Semoga Allah memberikanmu kesabaran saudariku…" Ada juga yang tidak tahu harus bilang apa?”
Segalanya menjadi kecil di mata ini. Tidaklah saya melihat kecuali Walaa, bahkan saya seperti hanya melihat dua matanya. Di balik cadarnya sudah terlihat memerah oleh tangisan!
Demi Allah, saya melihat matanya seakan lebih besar melebihi apapun di dunia ini. Bahkan lebih besar dari dunia itu sendiri. Sungguh saya tidak melihat selain matanya..!
Selang satu jam, semua jenazah sudah siap untuk dishalatkan. Di halaman masjid yang telah hancur nampak orang-orang sudah berkumpul. Saya melihat Abu Mush'ab berkhutbah dari atas mobil meskipun saat itu situasi masih berbahaya. Saya melihat kesedihan di matanya dan juga ada kemarahan di wajahnya. Saya tidak mendengar apa yang ia sampaikan..kecuali satu hal yang saya ingat yaitu dia mengatakan,
"Sesungguhnya Syeikh Nezar Rayyan adalah orang yang menyalakan api Intifadhah pertama!"
Baca Juga : Mengenang Keluarga Syuhada Dr. Neezar Rayyan (Bagian 1)
Saat itu hari Jum'at, dan yang bertindak sebagai khathib adalah Syeikh Abul Baraa. Saya tak bisa mencerna dengan baik apa yang beliau khutbahkan, hanya saja saat beliau bercerita tentang ayah ia berkata,
"Dahulu, Syeikh kita ini……"
Kata-kata beliau "dahulu syeikh kita ini" itulah yang membuat saya tersadar. Dalam hati saya berucap terima kasih kepada beliau karena telah berkata "syeikh kita". Padahal saya tahu betul bahwa beliau adalah teman dekat ayah, dan suatu hari ayah pernah mengatakan kepada saya bahwa Abul Baraa adalah orang yang lebih mulia dari pada kita semua!
Tiba-tiba dunia kembali terasa kecil. Saat saya melihat ke depan, saya tidak melihat apapun kecuali jenazah keluarga saya.
Sebelah kanan saya jenazah ibunda sedang sebelah kiri jenazah ayahanda. Di depan saya adalah jenazah Abud, di dekatnya ada jenazah Ghassan, lalu di sekitarnya ada jenazah Halimah dan Riim, sedang paling ujung ada jenazah Aayah dan Maryam.
Setelah selesai shalat jenazah saya pun berbicara di hadapan orang-orang tentang mereka semua sebagaimana biasa dilakukan oleh orang Arab. Di antara yang saya sampaikan adalah,
"Ini adalah Abud. Demi Allah ia sangat santun. Ia juga sangat penurut.”
Dan ini Halimah. Usianya baru 5 tahun. Demi Allah anaknya manja dan masih takut. Tahukah kalian bahwa ia takut rudal!
Dan ini Riim, sedikit lebih muda dari Halimah, tapi ia pintar dan terampil. Ia sudah bisa mengerti seperti seorang gadis!
Akhirnya saya tidak kuat lagi dan bersandar ke tubuh kakek saya, Abu Mahir dan ia berkata,
"Sudahlah Baraa, kami mengenal mereka semua…"
Saat itu saya masih berdiri dari satu jenazah berpindah ke jenazah yang lain. Saya masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ciumanku adalah kali terakhir buat mereka!
Saya pun memeluk jenazah ayah. Saya cium tangan beliau. Saya tumpahkan wajah ini ke tangannya sedang air mata telah membuatnya basah. Akhirnya orang-orang pun mengangkat saya dari tangan ayah!
Tangan beliau telah dingin dan kering, namun karena tumpahan air mata ia seakan kembali lembut dan hangat!
Telah tiga tahun kejadian itu berlalu…(Kisah ini ditulis oleh Bara Neezar, anak Dr. Neezar di akun facebooknya tahun 2012, tepat tiga tahun sejak kejadian pemboman biadab Zionis Israel atas rumah ayahnya tanggal 1 Januari 2009 silam)
Namun saat saya menyendiri dan memutar kembali kenangan tersebut saya tidak melihat kecuali ibu yang terus memandangiku saat saya berjalan menuju rumah, dan tangan ayah yang hangat meski sudah tak ada nyawa!
Lalu dahi Usamah yang berdarah akibat luka, jilbab Aayah, wajah ibundanya, baju panjang ibu saya, saat Bilal memelukku, kata-kata Walaa, juga tangisan Muhammad dan kepiluan nenek saya, Ummu Ziyad…
Ya, sudah tiga tahun kejadian itu berlalu…
Namun ada sesuatu dalam diri ini yang tidak dapat hilang selama tiga tahun itu, bahkan sedetik pun tidak bisa, baik pada saat saya membaca, menulis, mendengar, berceramah, belajar, mengajar, saat saya bergembira dan bersedih, saat tertawa dan menangis, saat saya lemah, saat saya bangkit, saat saya puasa, shalat, saat sedang bercanda atau sedang bekerja, saat ada waktu luang, saat menemani seseorang ataupun sendirian…setiap saat, selalu ada sesuatu yang membangkitkanku, seakan ada yang menyeru dari dalam jiwa,
"Apapun yang kamu lakukan, kemanapun kamu pergi, dan sepanjang apa hidupmu, tidaklah dirimu kecuali dirimu saat ini, seseorang yang dirundung kesedihan karena kematian..!!"
Diterjemahkan dari akun Facebook Baraa Neezar Rayyan
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!