Perjuangan bangsa Indonesia belum selesai setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Perjuangan selanjutnya adalah mendapatkan pengakuan dari negara-negara lain di dunia atas kedaulatan negara Republik Indonesia. Selain Belanda yang saat itu tak ingin mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, negara-negara lain juga belum mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto maupun de jure. Sehingga, ketika itu para founding fathers memutuskan, Indonesia harus melakukan upaya diplomasi di dunia internasional untuk membuat negara-negara global secara resmi mengakui kemerdekaan Republik Indonesia dan mengurangi pengaruh Belanda terhadap Indonesia.
Rangkaian perundingan dengan Belanda juga digelar. Setelah berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949), perundingan diadakan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag, Belanda, 23 Agustus hingga 2 November 1949. Hasilnya, Belanda mengakui dan bersedia menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Artinya, ketika itu Indonesia harus menerima untuk menjadi negara serikat.
Berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) membuat Indonesia ketika itu menjadi negara federal yang terbagi menjadi tujuh negara bagian dan sembilan wilayah otonom. Dan di masa menjadi RIS, wilayah negara Republik Indonesia hanya sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera.
Tentu hasil ini menuai kekecewaan. Kendati telah mengantungi pengakuan kedaulatan, namun fakta bahwa Indonesia harus menjadi negara federal adalah hal yang berat untuk diterima. Rakyat dari berbagai pelosok negeri pun menyatakan ingin kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keinginan itu mulai bergeser ke munculnya pergolakan di berbagai daerah.
Baca Juga : KH Wahid Hasyim, Kontributor Penting Perumusan Dasar Negara
Di Parlemen Sementara RIS, perdebatan juga terus terjadi, sebagai bagian aspirasi dari masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil KMB. Banyak yang menolak hasil itu. Mohammad Natsir yang waktu itu menjabat Menteri Penerangan dan Haji Agus Salim yang menjabat Menteri Luar Negeri termasuk yang menolak hasil KMB. Natsir pun meninggalkan jabatan Menteri Penerangan dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan Menteri Penerangan adalah karena tak setuju Irian Barat tidak dimasukkan ke dalam RIS.
Krisis terjadi di berbagai daerah. Di tengah kondisi itu, Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta, menugaskan Mohammad Natsir dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk melakukan lobi guna menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman berkeliling daerah dan aktivitas berunding dengan para pemimpin fraksi lain di Parlemen RIS, antara lain IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Fraksi Partai Kristen, membuat Natsir menyimpulkan, negara-negara bagian itu ingin membubarkan diri dan kembali bersatu dengan RI, asal jangan disuruh bubar sendiri.
Menyatukan Indonesia
Setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dengan pemimpin fraksi lain di Parlemen, sekaligus menjalani lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah, Mohammad Natsir menyarankan seluruh negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Maka, sebagai Pemimpin Fraksi Partai Masyumi di Parlemen RIS, tanggal 3 April 1950 Mohammad Natsir mengajukan gagasan penting, yaitu Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan ini kemudian dikenal sebagai Mosi Integral setelah Parlemen memutuskan sistem pemerintahan Indonesia bersatu kembali dalam sebuah kesatuan yang digagas Natsir.
Mohammad Natsir menyatakan, Mosi Integral adalah kesadaran bersama seluruh rakyat Indonesia di wilayah federasi untuk bersama-sama bersatu dan kompak menanggung segala akibatnya sebagai satu kesatuan utuh. Parlemen RIS menerima mosi dari Natsir dan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah untuk membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah juga menerima dengan baik Mosi Integral Natsir. Mohammad Hatta yang menjabat sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri Indonesia pada waktu itu mengatakan, pemerintah sangat merasa terbantu dengan adanya mosi itu, dan mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib setelah itu. PM Mohammad Hatta bahkan menegaskan akan menggunakan Mosi Integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan. Kala itu, Mohammad Hatta menyebut Mosi Integral Natsir sebagai “Proklamasi Kedua”.
Presiden Soekarno lantas membubarkan RIS, dan pada 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali diproklamasikan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, melalui Mosi Integral, Mohammad Natsir berjasa besar menyatukan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan yang utuh.
Tokoh Pergerakan Nasional
Mohammad Natsir lahir pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Orang tuanya adalah Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Natsir punya tiga saudara kandung, yaitu Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Ayahnya ketika itu bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya adalah seorang ulama.
Baca Juga : The Grand Old Man Haji Agus Salim
Sebelum bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Padang, Natsir sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau. Setelah beberapa bulan bersekolah di sana, Natsir pindah ke Solok, dititipkan di rumah seorang saudagar bernama Haji Musa. Di Solok, siang hari Natsir belajar di HIS dan malam harinya belajar pengetahuan agama Islam di Madrasah Diniyah. Beliau bersama-sama kakaknya kemudian pindah ke HIS di Padang.
Tahun 1923, beliau meneruskan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Natsir pun bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda semisal Pandu Nationale Islamietische Padvinderij dan Jong Islamieten Bond (JIB). Lulus dari MULO, Natsir pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School(AMS) sampai tamat di tahun 1930.
Pada 1928 hingga 1932, Mohammad Natsir menjadi Ketua JIB Bandung. Di kurun waktu itu Natsir juga memperdalam pengetahuan agama di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al Qur’an, hukum Islam, serta dialektika. Setelah menerima pelatihan sebagai guru selama dua tahun di perguruan tinggi, Natsir pun menjadi pengajar. Natsir mendirikan Pendidikan Islam di Bandung. Di tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam, Persatuan Islam. Di Bandung pula, Natsir menikah dengan Nurnahar pada 20 Oktober 1934. Enam anak lahir dari pernikahan mereka.
Hingga pertengahan tahun 1930-an, Mohammad Natsir kerap bergaul dengan banyak pemikir Islam semisal Haji Agus Salim. Mohammad Natsir sering berdiskusi dengan Agus Salim berkaitan dengan Islam dan negara. Natsir juga diketahui menguasai banyak bahasa asing, antara lain Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Arab, dan Spanyol.
Gerakan sosial di bidang pendidikan yang dilakukan Natsir juga penuh tantangan. Bahkan, Natsir harus berulang kali menggadaikan harta benda sang istri untuk membiayai sekolah Pendidikan Islam yang ia dirikan.
Natsir juga piawai bermain musik. Beiau pandai memainkan biola. Hobi bermain musik ini membuat Natsir berkawan dekat dengan Douwes Dekker, karena Dekker juga hobi bermusik, dan pintar bermain gitar. Natsir kerap bicara dengan Dekker menggunakan Bahasa Belanda. Selain tentang politik, mereka juga kerap mengulas musik yang dimainkan Ludwig van Beethoven. Atau mendiskusikan novel karya Boris Leonidovich Pasternak. Kedekatan Natsir dengan Dekker membuat Dekker ingin masuk Masyumi.
Di tahun 1938, Natsir bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan tahun 1940 hingga 1942 menjadi pimpinan cabang Bandung. Setelah itu, Natsir bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (yang di kemudian hari menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi). Sejak 1945, Natsir menjadi Ketua Masyumi hingga tahun 1960 saat Masyumi (bersama Partai Sosialis Indonesia) dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Natsir menjadi Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Setelah mengajukan Mosi Integral dalam sidang pleno parlemen, Natsir diangkat sebagai Perdana Menteri pada 17 Agustus 1950.
Pahlawan Nasional dan Bapak Bangsa
Mohammad Natsir dikenal sebagai sosok yang konsisten, sederhana, jujur, dan teguh pada pendirian. Ketika menjabat sebagai Perdana Menteri, Natsir kerap mengritik Presiden Soekarno karena kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat di luar Pulau Jawa. Natsir memang melihat kesenjangan yang terjadi di masyarakat Indonesia ketika itu. Puncak kritik-kritiknya kepada Soekarno adalah Mohammad Natsir mengundurkan diri dari jabatan sebagai Perdana Menteri tanggal 26 April 1951 karena tidak menemukan kecocokan dengan Soekarno.
Setelah mengundurkan diri dari posisi Perdana Menteri pada, Ia tidak pernah berhenti bekerja untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Natsir tak gentar berpendapat berbeda dengan pemerintah Indonesia waktu itu. Baik ketika dipimpin Presiden Soekarno maupun Soeharto. Perbedaan pendapat tersebut membuat Mohammad Natsir dianggap sebagai pemberontak dan pembangkang, hingga membuat beliau dimasukkan penjara. Ketika itu, pemerintah Orde Lama di bawah sistem demokrasi terpimpin yang dikomandoi Presiden Soekarno, memenjarakan Natsir karena dinilai melakukan pemberontakan bersama PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Natsir setuju dengan PRRI yang menuntut otonomi daerah yang lebih luas, namun hal itu disalahtafsirkan oleh Soekarno dan dianggap sebagai pemberontakan.
Oleh pemerintah Orde Baru, di tahun 1967 Natsir dibebaskan dari penjara. Pada 1967 pula, Natsir mendapat gelar doktor kehormatan dalam bidang politik Islam dari Kampus Islam Libanon. Oleh negara-negara lain di dunia, Natsir memang benar-benar dihormati dan dihargai. Penghargaan yang dianugerahkan kepada Natsir pun amat banyak. Dunia Islam Internasional mengakui Mohammad Natsir sebagai pahlawan lintas negara. Natsir juga dianggap politisi yang paling menonjol dalam membantu pembaruan Islam. Penghargaan internasional yang diterima Natsir antara lain bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey, tahun 1957, atas jasanya menolong perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara; dan Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah dari Raja Fahd (Arab Saudi) pada 1980.
Mohammad Natsir tetap tidak berhenti dan terus terlibat dalam gerakan sosial kemasyarakatan. Antara lain, Natsir mendirikan Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) untuk mengokohkan gerakan sosial. Bersama DDII, Natsir mengubah haluan gerakan, dari gerakan politik ke gerakan dakwah. Tahun 1991, Natsir memperoleh dua gelar kehormatan, yaitu Gelar Kehormatan di bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia serta dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia.
Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta. Di masa pemerintahan B. J. Habibie, “Bapak Bangsa” itu mendapatkan penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Tanggal 10 November 2008, Mohammad Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Selama hidup, Mohammad Natsir dikenal sebagai sangat sederhana. Beliau diketahui tidak memiliki pakaian bagus. Pahlawan nasonal, bapak bangsa Indonesia, dan tokoh penting dalam sejarah bangsa Indonesia itu juga dikenal sebagai negarawan dan tokoh pergerakan Islam saat sebelum dan sesudah Indonesia Merdeka. Dan satu hal yang paling menonjol, Mohammad Natsir dikenal sebagai tokoh Indonesia yang paling sederhana sepanjang masa. Semoga dapat menginspirasi dan memberi banyak pelajaran berharga bagi kita semua.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!